Hal sama dengan para kades, sebagaimana aturan yang mengikat masa jabatan para kades juga diatur dalam Pasal 39 UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Ternyata niat dan maksudnya juga setali tiga uang-sama saja.
Bagaimana keluar dari jerat UU tersebut, meskipun harus melalui jalan berliku, kali ini peran para kades menjadi sangat strategis bagi perpolitikan elite di atasnya.
Ibarat kata, jika kades dulu gratis, kini berbayar. Tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi dalam politik. Paling minimal politik timbang rasa, tepo seliro, TST-Tahu Sama Tahu.
Jika telah sampai pada titik disetujuinya tuntutan itu oleh Presiden dengan beberapa alasan, seperti;
Pertama, meminta dikembalikannya kewenangan mengurus dana desa dan yang menjadi hak preogratif kepala desa.
Selama ini para kades merasa terkekang karena tidak leluasa menjalankan tugas dan fungsi karena terganjal aturan-aturan yang tidak membebaskan mengurusi wilayahnya sendiri.
Kedua, Membutuhkan tambahan masa jabatan, dari 6 tahun ditambah 3 tahun menjadi 9 tahun tanpa periodesasi. Pertimbangan periodisasi itu, bukan semata arogansi kepala desa, tapi untuk meminimalisir ketegangan pasca-Pilkades.
Termasuk menjaga kondusifitas hubungan antar warga di desa selama pasca-Pilkades hingga menjelang Pilkades berikutnya, agar tak berkonflik.
Selama ini pemilihan kades menciptakan polarisasi-persaingan politik di tingkat desa berkepanjangan sehingga menganggu pembangunan desa gara-gara konflik politik tingkat desa tersebut.
Dengan fakta itu, mestinya para kades justru harus semakin memahami , bahwa dengan masa jabatan yang lima tahun saja masih menyisakan residu-residu politik dalam masyarakat, risikonya akan bertambah parah, jika sampai ditambah menjadi sembilan tahun.