Memang tidak ada salahnya jika para mahasiswa belajar berpolitik di kampus, kehadiran para tokoh politik menjadi ajang bertukar pikiran, bukan mencari dukungan. Mahasiswa belajar tentang demokrasi prosedural, agar mereka memahami bagaimana berperilaku politik sesuai prosedur.
Namun mentalitas politik kita belum matang untuk sampai pada keputusan menjadikan kampus bagian dari politik praktis.
Sejak lama kampus memposisikan diri sebagai mercusuar. Di kampus mahasiswa belajar tentang urusan keilmuan dan pembentukan karakter. Politik juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Buktinya kini kampus telah menerapkan miniatur negara dalam politik kampusnya.
Di kampus saat ini ada pemilihan presiden mahasiswa, mereka memiliki bidang setara kementerian yang membawahi banyak program. Model ini adalah bentuk miniatur praktek politik praktis yang sedang mereka pelajari sebagai bekal ketika terjun ke dalam dunia politik sesungguhnya.
Namun jika politik yang sebenarnya masuk kampus, meskipun didasari oleh gagasan demokrasi prosedural sekalipun, tetap saja model pendidikan politiknya akan berbeda. Dengan tingkat kematangan berpolitik praktis para mahasiswa, bukan tidak mungkin justru akan mencederai kesakralan dunia akademik.
Bukan tidak mungkin gara-gara beda bendera, maka kampus akan menjadi parsial, terkotak-kotak menurut warna bendera. Mejikuhibiniu-merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu menurut warna ideologi partai yang menggunakannya.
Dan bukan tidak mungkin akan ada intervensi yang lebih besar dari negara terhadap kampus. Kita tentu masih ingat dengan kasus radikalisme yang begitu menghantui kampus. Solusi yang diambil ketika itu adalah, kewenangan dalam pemilihan rektor selain ditentukan berdasarkan pemilihan di tingkat Senat, juga akan berlaku seleksi dari kementerian dan terakhir justru Presiden akan turun tangan ikut menentukan, apakah seseorang layak untuk direkomendasi menjadi pejabat rektor di sebuah kampus atau universitas.
Tentu saja intervensi model ini akan menjadi bahaya baru, karena bagaimanapun jabatan presiden adalah jabatan politis, sehingga akan berdampak pada netralitas kampus dketika terlibat dalam politik praktis. Seperti akan digiring pada satu pilihan.
Dan jika dianggap tidak berafiliasi dengan baik, akan ada konsekuensi lain yang akan ditanggung oleh kampus hanya gara-gara persoalan beda pilihan personal seorang rektor atas sebuah institusi atau partai politik.
Kampus Beda Warna dan Akibatnya
Apa jadinya jika kampanye pilpres masuk kampus, meskipun hanya sekedar kampanye, bukan tidak mungkin selanjutnya akan ada perkembangan pada deal-deal politik, dan komponen kampus akhirnya bisa terkontaminasi menjadi bagian atau afiliasi sebuah institusi politik. Selain kampus akan berwarna-warni dengan banyak kepentingan, juga akan ada tekanan politis dari para pihak yang merasa menang dan berkuasa, dengan kampus-kampus yang saat kontestasi menjadi sayap pendukungnya.
Bukankah konsekuensi-konsekuensi politis seperti itu harus sejak awal menjadi bahan pertimbangan kritis. Tentu saja kita tidak menafikan keinginan dan harapan, bahwa tokoh-tokoh mahasiswa dan akademisi dapat menjadi bagian dari politik besar Indonesia nantinya.
Mahasiswa yang saat ini duduk di kampus, kelak bisa saja akan masuk dalam gelanggang politik. Kita biarkan saja, siapapun para militan di kampus yang berkeingain untuk berpolitik praktis melakukannya di luar zona netral kampus. Mereka harus dapat membedakan dan memposisikan diri, kapan menjadi mahasiswa kampus dan kapan menjadi bagian dari sebuah afiliasi politik.
Menarik dukungan, sebatas wajar barangkali masih dapat dipertimbangkan. Di tingkat nasional saja, terdapat dua cara pandang berbeda antara KPU dan Bawaslu. Ketua Komisi Penyelenggaraan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan aktivitas berkampanye politik di kampus tidak dilarang sejauh tidak menggunakan fasilitas kampus. Meski, Bawaslu memandangnya dengan berbeda bahwa kampanye politik tidak boleh dilakukan di kampus.
Sekali lagi, mentalitas kita dalam berdemokrasi dan berpolitik masih belum matang. Masih mudah terkontaminasi dan tersulut konflik horizontal antar mahasiswa, antara kelompok mahasiswa, antar fakultas atau antar kampus. Bayangkan jika afiliasi antar fakultas berbeda, maka dalam kampus akan beradu bendera dan beradu kampanye mewakili masing-masing partai peserta konstestasi pemilu.
Rasanya membayangkan situasi dan kondisi politik yang tidak mudah bersatu dan didamaikan jika berbeda ideologi, akan membuat kampus semakin kompleks karena ditambahi persoalan baru, selain urusan akademis.
Siapa akan mengontrol kampus jika terjadi pertentangan ideologi?. Apakah nantinya akan ada Bawaslu atau KPU versi kampus.
Demokrasi Prosedural
Demokrasi Prosedural adalah demokrasi pemerintah yang menekankan pada prosedur pelaksanaan demokrasi seperti bagaimana cara memilih pemerintah dengan cara-cara demokratis seperti musyawarah mufakat atau voting. Cara-cara prosedural ini menjadi cara yang ideal, agar demokrasi berjalan damai.
Kampanye politik seperti pilpres, di kampus jika dilakukan menurut prosedur yang baik, akan menjadi wahana pendidikan politik yang baru bagi masyarakat maupun kontestan. Mahasiswa dapat melihat langsung, apakah sebuah institusi politik dan tokohnya telah menjalankan prinsip dan prosedur politik yang sesuai aturan UU.
Ketika tokoh dari sebuah institusi politik masuk ke kampus juga akan dinilai, dan diuji visi misi atau bahkan jadi ajang uji nyali bagi paslon menghadapi kekritisan mahasiswa.Â
Dalam sebuah sesi kunjungan seorang delegasi dari sebuah partai poltik kekampus, kebetulan penulis hadir, mahasiswa sampai pada pertanyaan, "apa rencana kongkrit yang akan dilakukan jika terpilih dan memulai kerja sebagai seorang anggota legislatif?."
Seorang anggota legislatif yang kebetulan diundang justru meminta masukan dengan mengatakan, karena selama ini  lebih banyak berkecimpung di luar dunia poltik, tolong dibantu, apa yang seharusnya saya harus lakukan?. Permintaan itu awalnya sempat menimbulkan polemik.Â
Bagaimana seorang senator yang telah masuk ke dalam gedung dewan, namun tak punya visi dan misi dalam menjalankan kerja-kerja membantu masyarakat.
Mestinya sejak awal ia telah memiliki konsep dan gagasan, ketika mencalonkan diri menjadi seorang anggota dewan yang terhormat. Namun disatu sisi hal itu juga menarik, karena dengan masukan-masukan yang diterima, dan kemudian di kompilasi serta dimodifikasi berdasarkan skala prioritas akan mudah dikontrol oleh para mahasiwa, tingkat implementasi dan capaian programnya.
Sikap kritis mahasiswa dapat menjadi kontrol politik bagi para paslon agar berjalan di track-nya. Namun jika wacana berkampanye di kampus atau debat politik di kampus sebagai zona netral poltik dilakukan, dibutuhkan sosialisasi agar wacana itu tidak menjerumuskan kampus pada persaingan politik yang tidak sehat.
Berbagai kejadian dan fenomena terkait politik praktis di Indonesia, sudah menunjukkan betapa bobroknya implementasi sistem perpolitikan kita. Kita masih kuatir dengan budaya politik yang masih serba gamang dan mentah. Bahkan kita juga mengkuatirkan mentalitas para politisi kita. Jadi biarkan saja politik berada di luar kampus, daripada nantinya akan membuat kampus semakin parsial dengan kampus lain karena beda ideologi politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H