Mahasiswa yang saat ini duduk di kampus, kelak bisa saja akan masuk dalam gelanggang politik. Kita biarkan saja, siapapun para militan di kampus yang berkeingain untuk berpolitik praktis melakukannya di luar zona netral kampus. Mereka harus dapat membedakan dan memposisikan diri, kapan menjadi mahasiswa kampus dan kapan menjadi bagian dari sebuah afiliasi politik.
Menarik dukungan, sebatas wajar barangkali masih dapat dipertimbangkan. Di tingkat nasional saja, terdapat dua cara pandang berbeda antara KPU dan Bawaslu. Ketua Komisi Penyelenggaraan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan aktivitas berkampanye politik di kampus tidak dilarang sejauh tidak menggunakan fasilitas kampus. Meski, Bawaslu memandangnya dengan berbeda bahwa kampanye politik tidak boleh dilakukan di kampus.
Sekali lagi, mentalitas kita dalam berdemokrasi dan berpolitik masih belum matang. Masih mudah terkontaminasi dan tersulut konflik horizontal antar mahasiswa, antara kelompok mahasiswa, antar fakultas atau antar kampus. Bayangkan jika afiliasi antar fakultas berbeda, maka dalam kampus akan beradu bendera dan beradu kampanye mewakili masing-masing partai peserta konstestasi pemilu.
Rasanya membayangkan situasi dan kondisi politik yang tidak mudah bersatu dan didamaikan jika berbeda ideologi, akan membuat kampus semakin kompleks karena ditambahi persoalan baru, selain urusan akademis.
Siapa akan mengontrol kampus jika terjadi pertentangan ideologi?. Apakah nantinya akan ada Bawaslu atau KPU versi kampus.
Demokrasi Prosedural
Demokrasi Prosedural adalah demokrasi pemerintah yang menekankan pada prosedur pelaksanaan demokrasi seperti bagaimana cara memilih pemerintah dengan cara-cara demokratis seperti musyawarah mufakat atau voting. Cara-cara prosedural ini menjadi cara yang ideal, agar demokrasi berjalan damai.
Kampanye politik seperti pilpres, di kampus jika dilakukan menurut prosedur yang baik, akan menjadi wahana pendidikan politik yang baru bagi masyarakat maupun kontestan. Mahasiswa dapat melihat langsung, apakah sebuah institusi politik dan tokohnya telah menjalankan prinsip dan prosedur politik yang sesuai aturan UU.
Ketika tokoh dari sebuah institusi politik masuk ke kampus juga akan dinilai, dan diuji visi misi atau bahkan jadi ajang uji nyali bagi paslon menghadapi kekritisan mahasiswa.Â
Dalam sebuah sesi kunjungan seorang delegasi dari sebuah partai poltik kekampus, kebetulan penulis hadir, mahasiswa sampai pada pertanyaan, "apa rencana kongkrit yang akan dilakukan jika terpilih dan memulai kerja sebagai seorang anggota legislatif?."
Seorang anggota legislatif yang kebetulan diundang justru meminta masukan dengan mengatakan, karena selama ini  lebih banyak berkecimpung di luar dunia poltik, tolong dibantu, apa yang seharusnya saya harus lakukan?. Permintaan itu awalnya sempat menimbulkan polemik.Â
Bagaimana seorang senator yang telah masuk ke dalam gedung dewan, namun tak punya visi dan misi dalam menjalankan kerja-kerja membantu masyarakat.
Mestinya sejak awal ia telah memiliki konsep dan gagasan, ketika mencalonkan diri menjadi seorang anggota dewan yang terhormat. Namun disatu sisi hal itu juga menarik, karena dengan masukan-masukan yang diterima, dan kemudian di kompilasi serta dimodifikasi berdasarkan skala prioritas akan mudah dikontrol oleh para mahasiwa, tingkat implementasi dan capaian programnya.