Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dai Sejuta Subscriber, Berdakwah Di Mimbar Digital

8 April 2022   18:00 Diperbarui: 9 April 2022   05:01 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iringan truk-truk fuso berukuran besar dan kecil memasuki lapangan alun-alun kota berisi ribuan penumpang perempuan, laki-laki, tua muda, berhamburan begitu pintu bak belakang di buka. Begitu juga dengan ribuan sepeda motor, dan gelombang manusia yang berjalan kaki berkumpul semua di lapangan.

Mereka tidak sedang ikut aksi demo. Mereka bagian dari jutaan penggemar dai kondang yang akrab dijuluki "dai sejuta umat".

Barangkali, kalau sejak awal sudah masuk jaman YouTube, Ustad KH Zainuddin MZ, pasti dapat julukan baru, "Dai sejuta subscriber!."

merdeka.com
merdeka.com

Kyai Haji Zainuddin MZ,dikenal sebagai dai paling populer. Suara bariton Betawinya khas sekali, karena memang belia asli dari keluarga Betawi. Inisial huruf M dan Z pada nama belakangnya diambil dari nama ayahnya Turmudzi, bukan inisial nama panjang yang disingkat. 

Popularitasnya dibuktikan, setiap kali berkunjung untuk dakwah-tabligh akbar, ratusan ribu orang memenuhi lapangan, ruang acara, masjid. Tanpa perlu undangan khusus. Panitia cukup memasang spanduk di tengah kota, maka ribuan orang akan datang seperti anai-anai yang mengerumuni lampu dengan sukarela.

Awalnya Justru Bukan Dai

Selain bakat, ustad Zainuddin belajar otodidak untuk menjadi dai. Bahkan belajar dari isi pidato Buya Hamka tentang sesuatu yang bisa selaras hati nurani sendiri. Lantas belajar kelihaian berorasinya Presiden Soekarno, membangkitkan emosi positif. Dan belajar, tentang pentingnya logika beretorika dari Kiai Idham Chalid.

Sebelum akhirnya mengidolakan Kyai Haji Syukron Ma’mun, yang terkenal begitu bernas ketika berceramah dan memikat atensi hadirin, dan menjadikannya dai terkenal.

Padahal sejak kegagalannya kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, ia belum memantapkan hati untuk menjadi dai. Meskipun ia telah belajar dasar-dasarnya ketika bersekolah di sekolah menengah dan di pesantren.

Namanya makin melejit, ketika masa pemilihan umum (pemilu) 1977.  Ia di undang kampanye kemana-mana sebagai "magnet" para pendukung parpol.

Daya pikat orasinya memang luar biasa. Menggunakan intonasi suara yang berubah-ubah, seperti orang monolog, dalam pertunjukkan teater. Ia sering mengambil hikmah dari kisah-kisah nubuah-kenabian, termasuk kisah para sahabat dan tokoh yang dianggap penting dalam kehidupan Nabi.

Ceramahnya runut dan sistematis, tapi tidak membosankan. Anak-anak yang hobi ceramah, begitu mengidolakan sang ustad, hingga dari urutan prolog ceramah, intonasi, gaya berpakaiannya di tiru dimana-mana, dengan ciri khas syalnya. 

Dimana ada lomba ceramah, hampir dipastikan akan ada "ustad Zainuddin" tiruan. 

Ketika manggung, sesekali di sela ceramahnya, ia akan memancing audiens-penonton dengan banyolan yang tidak berlebihan, tapi sangat menarik. 

Atau, seperti kebiasaan pemain Lenong yang mencoba berinteraksi dengan penonton, dengan teriakan, "Eh Penonton!", yang akan segera dibalas dengan sahutan. 

Cara bertutur dalam ceramahnya yang sistematis, membuat penikmat ceramahnya, akan duduk tenang, sejak ia memulai salam hingga ceramah berakhir.

Selipan banyolannya menjadi seni hiburan yang tidak merusak materi ceramahnya tentang agama, justru menjadi medium memudahkan interaksi dengan penonton secara langsung.

Substansi ceramahnya memang tidak cukup hanya dipahami sebagai  Performance art semata, sebab visi edukasi muncul dalam semua muatan ceramahnya. Dengan cermin muatan pendidikan yang ditemukannya di dalam intisari Al-Qur'an. 

Ceramahnya yang tidak monoton, cenderung bergaya dramatik, selalu dipenuhi bumbu kritik yang satir, menjadi daya tarik yang luar biasa. Coba saja kita hayati dalam setiap orasi ceramahnya, apa bentuk kritik sosial yang selalu dilontarkan. Menyentil telinga, tapi tak membuat orang yang dikritisi merasa sakit. Dalam tertawa, orang menyadari kebenaran pesan-pesan baiknya.

Kritikya jauh menyeberang hingga ke ranah politis-kenegaraan; pelaksanaan agenda reformasi, penyelenggaraan negara, penyalahgunaan jabatan oleh aparatur negara, pentingnya keutuhan negara, hingga urusan korupsi, kolusi dan nepotisme, semua "dihajar" dalam ceramahnya.

Sang dai menggunakan pendekatan kearifan lokal (lokal wisdom) dalam membicarakan isu sensitif seperti pluralitas.

Daya Tarik Kharismatik

Salah satu keberuntungan Dai sejuta umat ini, karena ia besar di Jakarta, episentrum dari segala pusat keramaian. Ketika trend dibentuk oleh fanatisme massa, terhadap sosok idola, maka segala bentuk iklan, reklame digerakkan sendiri oleh penggemar fanatiknya.

Apalagi di Ibukota. Ketika itu kaset pita seluloid masih seharga Rp. 6.000,- bisa berisi kumpulan ceramah sang dai hingga durasi dua jam. Berbagai versi ceramahnya di segala kota, terekam dalam kaset-kaset yang populer, kata lain dari sebutan "viral" saat ini. 

Radio-radio berjaya jika bisa menayangkan langsung ceramahnya. Masjid-masjid di sore hari, ketika menunggu saat shalat Maghrib sudah menjadi rutinitas memutar ceramahnya, sebagai pengganti bacaan qira'ah atau bacaan Qur'an.

Orang-orang menikmati suaranya diamanapun, di kedai kopi, di pasar, di mobil. Bahkan ketika banyolannya, yang sudah seperti "dihafal' oleh para penggemarnya, akan menimbulkan keriangan dan kegembiraan, dari senyum, tertawa setiap kali celetukan sang dai terdengar.

Ketika era radio masih berjaya, sang dai sejuta umat makin melambung namanya. Isu-isu tentang Islam dibawakannya dengan "renyah" dan dibawa dengan nuansa humor yang menyentuh semua kalangan hingga kelas bawah, bahkan di ibukota yang sangat plural dalam urusan agama.

Ketika kemudian mulai dikenal media digital, ketenarannya masih bisa dirasakan jejaknya. Terutama kesantunannya dalam mengangkat isu yang bisa diterima, bahkan oleh kalangan non Muslim

Sosoknya menjadi kharisma tersendiri di jamannya. Mewakili karakter orang Betawi, yang menghargai pluralitas, kebudayaan yang luhur dan kuat memegang ajaran agama.

Namun ketika ia mulai melibatkan diri dalam kancah bisnis, dan politik, apalagi bukan sekedar partisan kelas bawah, tapi tokoh papan atas politik, membawa perubahan secara sosial-politik dengan publik. 

Awalnya bergabung di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai wujud otokritik, ia kemudian membangun Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPPR). Lantas maju sebagai Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR),barisan penggemarnya sudah mulai terbelah. 

Bagaimanapun halusnya politik tetap memiliki pengaruh dalam relasi sosialnya. Politik, berarti sebuah pilihan, jika berbeda "perahu" maka pasti akan punya tujuan berlainan. 

Ketika menyadari kotornya politik, beliau mundur, termasuk dalam urusan politik praktis.

Melihat Sisi Lain Sang Dai

Namun jika kita melihat sepak terjang sang dai, dalam orasi, pendekatan sosial dalam ceramahnya, dari sisi kajian hermeneutika atau analisis kebahasaan dengan tujuan melihat keseluruhan dari inti bahasa itu sendiri, karena bahasa mewakili cara orang berpikir, maka kita bisa melihat bagaimana pemikiran sang dai dari konteks budaya, maupun sosial-politiknya.

Kita bisa terus mencermati, apa muatan orasi yang pernah disampaikan, sekalipun kini beliau telah tidak ada lagi (2011). Pemikirannya masih sangat kontekstual dan relevan dengan kehidupan kita saat ini.

Ceramahnya membawa pesan Islami, lokalitas-budaya lokal, pluralitas, tiga hal sebagai tema khas. Ia menerjemahkan Al Qur'an kedalam nilai sehari-hari, langsung menyentuh contoh paling realistis, selayaknya kita menjadikan agama sebagai pedoman hidup.

Sekarangpun jejak itu masih bisa kita nikmati, tak cuma soal performance art-nya tapi pesan-pesan dakwahnya. 

Bahkan ketika digitalisasi media yang begitu memudahkan seseorang populer, kapasitas, gaya ceramah dan karismatiknya telah membawanya namanya menjadi begitu besar dan popular. 

Jika tidak, mengapa publik se Indonesia, menjulukinya "dai Sejuta Umat"?. 

Julukan itu adalah wujud representasi keberpihakan publik pada kebenaran,pemikirannya, apa yang menjadi muatan ceramah, cara berceramah, konsep dialogisnya. Dan kita masih meng-amini pesan-pesannya hingga saat ini. Karena begitulah realitas sebenarnya yang kita anggap absurd dan harus dikritisi, dan telah disuarakan-diwakili melalui kritik sang dai untuk kita semua. 

Semoga berkah Allah, selalu berlimpah untuknya. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun