Atau, seperti kebiasaan pemain Lenong yang mencoba berinteraksi dengan penonton, dengan teriakan, "Eh Penonton!", yang akan segera dibalas dengan sahutan.Â
Cara bertutur dalam ceramahnya yang sistematis, membuat penikmat ceramahnya, akan duduk tenang, sejak ia memulai salam hingga ceramah berakhir.
Selipan banyolannya menjadi seni hiburan yang tidak merusak materi ceramahnya tentang agama, justru menjadi medium memudahkan interaksi dengan penonton secara langsung.
Substansi ceramahnya memang tidak cukup hanya dipahami sebagai  Performance art semata, sebab visi edukasi muncul dalam semua muatan ceramahnya. Dengan cermin muatan pendidikan yang ditemukannya di dalam intisari Al-Qur'an.Â
Ceramahnya yang tidak monoton, cenderung bergaya dramatik, selalu dipenuhi bumbu kritik yang satir, menjadi daya tarik yang luar biasa. Coba saja kita hayati dalam setiap orasi ceramahnya, apa bentuk kritik sosial yang selalu dilontarkan. Menyentil telinga, tapi tak membuat orang yang dikritisi merasa sakit. Dalam tertawa, orang menyadari kebenaran pesan-pesan baiknya.
Kritikya jauh menyeberang hingga ke ranah politis-kenegaraan; pelaksanaan agenda reformasi, penyelenggaraan negara, penyalahgunaan jabatan oleh aparatur negara, pentingnya keutuhan negara, hingga urusan korupsi, kolusi dan nepotisme, semua "dihajar" dalam ceramahnya.
Sang dai menggunakan pendekatan kearifan lokal (lokal wisdom) dalam membicarakan isu sensitif seperti pluralitas.
Daya Tarik Kharismatik
Salah satu keberuntungan Dai sejuta umat ini, karena ia besar di Jakarta, episentrum dari segala pusat keramaian. Ketika trend dibentuk oleh fanatisme massa, terhadap sosok idola, maka segala bentuk iklan, reklame digerakkan sendiri oleh penggemar fanatiknya.
Apalagi di Ibukota. Ketika itu kaset pita seluloid masih seharga Rp. 6.000,- bisa berisi kumpulan ceramah sang dai hingga durasi dua jam. Berbagai versi ceramahnya di segala kota, terekam dalam kaset-kaset yang populer, kata lain dari sebutan "viral" saat ini.Â
Radio-radio berjaya jika bisa menayangkan langsung ceramahnya. Masjid-masjid di sore hari, ketika menunggu saat shalat Maghrib sudah menjadi rutinitas memutar ceramahnya, sebagai pengganti bacaan qira'ah atau bacaan Qur'an.
Orang-orang menikmati suaranya diamanapun, di kedai kopi, di pasar, di mobil. Bahkan ketika banyolannya, yang sudah seperti "dihafal' oleh para penggemarnya, akan menimbulkan keriangan dan kegembiraan, dari senyum, tertawa setiap kali celetukan sang dai terdengar.
Ketika era radio masih berjaya, sang dai sejuta umat makin melambung namanya. Isu-isu tentang Islam dibawakannya dengan "renyah" dan dibawa dengan nuansa humor yang menyentuh semua kalangan hingga kelas bawah, bahkan di ibukota yang sangat plural dalam urusan agama.
Ketika kemudian mulai dikenal media digital, ketenarannya masih bisa dirasakan jejaknya. Terutama kesantunannya dalam mengangkat isu yang bisa diterima, bahkan oleh kalangan non Muslim
Sosoknya menjadi kharisma tersendiri di jamannya. Mewakili karakter orang Betawi, yang menghargai pluralitas, kebudayaan yang luhur dan kuat memegang ajaran agama.
Namun ketika ia mulai melibatkan diri dalam kancah bisnis, dan politik, apalagi bukan sekedar partisan kelas bawah, tapi tokoh papan atas politik, membawa perubahan secara sosial-politik dengan publik.Â
Awalnya bergabung di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai wujud otokritik, ia kemudian membangun Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPPR). Lantas maju sebagai Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR),barisan penggemarnya sudah mulai terbelah.Â