liputan6.com
Mengapa frasa itu begitu menarik?.
Sedikit intermezo, sebenarnya istilah itu punya sisi gelap. dipopularkan Brenda Ann Spencer. pelajar asal San Diego, Amerika Serikat, yang mendalangi penembakan di sekolah pada 29 Januari 1979.
Brenda yang dikenal introvert, ternyata bisa memutuskan sebuah tindakan brutal. Setiap kali ditanya, apa motifnya, ia hanya menjawab singkat , "I hate Monday."
Ia rupanya terinspirasi lagu "I Don't Like Mondays" yang populer dibesut The Boomtown Rats. Atas tindak kriminalnya, akhirnya ia dihukum penjara 14 tahun. Mungkin ia akan habiskan seluruh waktunya membaca, buku karena ia seorang kutu buku!.
Sisi Ilmiah Sindrom I Hate Monday
Ternyata I hate monday bukan sekedar tagline kosong. Seperti dilansir dari BBC, kondisi ini muncul karena adanya perbandingan langsung dengan hari sebelumnya.
Jika kita punya pengalaman berkaitan dengan akhir pekan yang spesial dan menyebabkan timbulnya perubahan emosional, akan menjadi semacam perbandingan secara kondisional. Antara kerja berat dan santai. Kerja di kejar deadline dengan rebahan di pantai. Atau kita baru merayakan sebuah pesta bersama teman-teman lama, yang membuat kita enggan melupakannya.
Analogi itu memberi sedikit gambaran perbedaan antara libur dan tidak libur. Antara Minggu versus Senin. Tetapi dalam skala yang jauh lebih besar dan diulang setiap pekan, baik tingkat stress maupun tekanannya akan menyebabkan perubahan emosional. Transisi perubahan yang berulang, itulah yang disebut psikolog sebagai perubahan emosional.
Pergeseran instant itulah pemicu masalahnya, sekalipun rutinitasnya sama, namun mood-nya beda. Bukankah di hari libur kita juga mandi. Kalau perlu berendam di bathtub berlama-lama, tapi tidak di hari Senin kan, ini bedanya. Di hari normal, tak ada aktifitas yang bisa diabaikan begitu saja.
Jam waktu tidur yang ekstra di Sabtu-Minggu, setelah deadline yang melelahkan, ternyata juga berdampak negatif pada "jam tubuh" kita.
Bahkan kita sudah mulai memikirkan pekerjaan, ketika masa menjelang Sabtu-Minggu berakhir. Terbayang depresi akibat pekerjaan lima hari ke depan setelah liburan dua hari itu. Apakah ini juga berkaitan dengan kondusifitas tempat dan suasana kerja?. Bisa jadi.
Seperti pernah disampaikan seorang teman, jika kita seorang fotografer fashion, mendapat tugas penting meliput sebuah pembukaan pusat mode baru dari para desainer terkenal, maka itu bukan kerja namanya, tapi pleasure-plesire dalam bahasa Belanda.
Pastilah tak ada alasan akan terkena I hate monday. Seperti ditegaskan psikolog klinis Profesor Alex Gardner, dengan santai, "kerja bisa menjadi tempat terbaik untuk Anda pada hari Senin, karena kami pada dasarnya adalah manusia gua dengan setelan kota. Kami ingin merasa menjadi bagian dari kelompok, jadi kami pergi minum teh untuk mengejar ketinggalan dan kemudian bekerja".
Solusi termudah menurut Gardner, buat janji dengan kolega, sesegera mungkin pada Senin pagi. Kontak pertama itu kelak akan menjadi alasan terbaik yang bisa membantu menghadapi hari kerja hingga Jumat.
Mengusir Sindrom I Hate Monday
Membayangkan pekerjaan setelah hari-hari malas akhir pekan, bisa menimbulkan rasa khawatir dan malas. Istilah populer yang juga berkaitan dengan I don’t like Monday adalah Sunday Scaries, ketakutan yang tiba-tiba muncul di hari Minggu.
Apalagi sebabnya jika bukan karena;
Tekanan Pekerjaan; Hari Minggu menjadi hari transisi memasuki hari kerja. Secara psikologis, ini bisa terjadi sebagai respon terhadap ancaman, berupa jadwal padat kerjaan.
Lantas muncul rasa burnout ketika menghadapi pekerjaan. Pekerjaan terlalu banyak, hilangnya waktu santai dan waktu luang, tekanan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Kesempatan bersantai berkurang. Tak ada keseimbangan santai dan kerja.
Jadwal Refreshing Terganggu; Ada kalanya kita merencanakan banyak rencana liburan, dari bangun pagi, jogging, sarapan di tempat langganan di kafe. Ketika jadwalnya berubah karena kita menambah jumlah jam tidur dan bangun kesiangan, semua jadwal molor.
Waktu akhirnya hanya habis untuk pekerjaan rangkap cleaning service. Jadwal jalan-jalan hilang, sehingga kita kekurangan waktu tambahan untuk santai. Hanya memiliki satu hari untuk bersantai ini terkadang tidak cukup dan menimbulkan sindrom I hate Monday.
Masalah Pekerjaan Tersembunyi; Disadari atau tidak meskipun kita telah bekerja bertahun-tahun di bidang yang sama dan setiap hari kita geluti. Ada kalanya itu disebabkan oleh adanya masalah serius yang selama ini kita anggap sebagai sebuah simtom biasa.
Dalam dunia medis dikenal istilah Simtoma, gejala, simptom atau simtom ialah pengindikasian keberadaan sesuatu penyakit atau gangguan kesehatan yang tidak diinginkan.
Namun dalam kasus pekerjaan adalah, rasa kewalahan menghadapi kehidupan pekerjaan, berada di jalur karir yang salah dan sudah di puncak masalah, rasa stres yang mendominasi. Bahkan waktu untuk merawat diri hilang. Lebih fatal lagi, jika kita sebenarnya membenci pekerjaan kita, atau lingkungan pekerjaan cenderung toxic.
Jangan anggap remeh karena harus ada pilihan solusinya
Cukup waktu Tidur
Jangan angap sepele, karena kita akan merasa cranky, jika tidur tak cukup selama libur akhir pekan. Ini mengapa sebagian orang menggunakan kesempatan untuk tidur dalam perjalanan, atau mempercepat jadwal aktifitas, agar tersisa waktu luang untuk sekedar istirahat di sisa hari liburnya.
Waktu libur tak cukup jika sepenuhnya hanya dijadikan alasan balas dendam untuk membalas begadang selama kerja seminggu. Karena secara psikologis juga punya dampak buruk. Kekurangan waktu tidur selama begadang ketika bekerja artinya, juga mengabaikan asupan kalori, energi tidak tersalur maksimal, pengaruh pada berat badan meningkat, perubahan negatif pada cara tubuh menyerap insulin.
Tak kalah penting, kurang tidur juga merupakan pemicu terjadinya perubahan mood, kecemasan berlebih, dan depresi.
Apakah ini akan bisa optimal di balas hanya dengan menambah jumlah jam tidur saat weekend?. Atau kita justru harus mengatur siklus tidur teratur dan pastikan sleep hygiene terpenuhi demi kualitas tidur cukup.
Pola Keseimbangan
Idealnya membawa pekerjaan ke rumah, sama dengan membawa penyakit. Karena itu artinya, kita tak bisa membedakan kapan saatnya harus bekerja dan beristirahat. Sekalipun terpaksa harus bekerja, tidak dalam tekanan deadline.
Termasuk dalam urusan emosi. Marah dengan bos, diluapkan kepada anak-istri, begitu juga sebaliknya, marah sama anak-istri diluapkan kemarahan pada bos.
Cara paling efektif adalah menggunakan ritme rutinitas kerja secara efektif. Sibuk di kantor demi rileks di rumah, bukan sebaliknya. Apalagi bagi yang harus work frome home, perlu ada batasan jelas kapan harus bekerja dan kapan berada di “rumah”.
Fokus Akhir Pekan
Seperti kita fokus pada deadline pekerjaan yang ketat, kita juga menerapkan aturan yang sama terhadap waktu libur kita. Alihkan fokus pada kehidupan di rumah, apapun itu bentuknya.
Mungkin dengan family time, merawat diri sendiri, menjalani hobi, atau menikmati waktu di luar ruangan.
Jika perlu, notifikasi surat elektronik atau grup chat kantor sebaiknya diabaikan saat akhir pekan tiba.
Ciptakan Lingkungan Kerja Positif
Kantor bisa menjadi lingkungan toxic. Persaingan pekerjaan, jabatan, jadi pilihan rekan kerja yang tepat adalah sebuah solusi yang bisa berdampak positif.
Pilih Aktifitas Relaksasi
Bersepeda, jogging, membaca buku, mengunjungi toko buku favorit, berkebun, bahkan jalan santai ke tempat kuliner langganan juga bagian dari rileksasi. Pilih aktifitas yang bisa mengalihkan perhatian dari urusan kantor. Akan sia-sia relaksasi ketika pikiran masih terganggu pekerjaan.
Tidak menumpuk urusan rumah
Meskipun libur artinya juga bisa membersihkan rumah, akan jauh lebih baik apabila kita mencicil pekerjaan rumah setiap harinya. Atau kita bisa sesekali menggunakan rumus, "abaikan" untuk dua hari ini, jika hal itu tak menganggu secara substansi. Termasuk sesekali membiarkan kamar sedikit kusut, saat kita memanjakan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H