Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ini Penjelasan Mengapa Muncul Sindrom I Hate Monday

28 Maret 2022   21:37 Diperbarui: 5 April 2022   22:29 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Solusi termudah menurut Gardner, buat janji dengan kolega, sesegera mungkin pada Senin pagi. Kontak pertama itu kelak akan menjadi alasan terbaik yang bisa membantu menghadapi hari kerja hingga Jumat.

Mengusir Sindrom I Hate Monday

Membayangkan pekerjaan setelah hari-hari malas akhir pekan, bisa menimbulkan rasa khawatir dan malas. Istilah populer yang juga berkaitan dengan I don’t like Monday adalah Sunday Scaries, ketakutan yang tiba-tiba muncul di hari Minggu.

Apalagi sebabnya jika bukan karena;

Tekanan Pekerjaan; Hari Minggu menjadi hari transisi memasuki hari kerja. Secara psikologis, ini bisa terjadi sebagai respon terhadap ancaman, berupa jadwal padat kerjaan. 

Lantas muncul  rasa burnout ketika menghadapi pekerjaan. Pekerjaan terlalu banyak, hilangnya waktu santai dan waktu luang, tekanan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Kesempatan bersantai berkurang. Tak ada keseimbangan santai dan kerja.

Jadwal Refreshing Terganggu; Ada kalanya kita merencanakan banyak rencana liburan, dari bangun pagi, jogging, sarapan di tempat langganan di kafe. Ketika jadwalnya berubah karena kita menambah jumlah jam tidur dan bangun kesiangan, semua jadwal molor. 

Waktu akhirnya hanya habis untuk pekerjaan rangkap cleaning service. Jadwal jalan-jalan hilang, sehingga kita kekurangan waktu tambahan untuk santai. Hanya memiliki satu hari untuk bersantai ini terkadang tidak cukup dan menimbulkan sindrom I hate Monday.

Masalah Pekerjaan Tersembunyi; Disadari atau tidak meskipun kita telah bekerja bertahun-tahun di bidang yang sama dan setiap hari kita geluti. Ada kalanya itu disebabkan oleh adanya masalah serius yang selama ini kita anggap sebagai sebuah simtom biasa.

Dalam dunia medis dikenal istilah Simtoma, gejala, simptom atau simtom ialah pengindikasian keberadaan sesuatu penyakit atau gangguan kesehatan yang tidak diinginkan. 

Namun dalam kasus pekerjaan adalah, rasa kewalahan menghadapi kehidupan pekerjaan, berada di jalur karir yang salah dan sudah di puncak masalah, rasa stres yang mendominasi. Bahkan waktu untuk merawat diri hilang. Lebih fatal lagi, jika kita sebenarnya membenci pekerjaan kita, atau lingkungan pekerjaan cenderung toxic.

Jangan anggap remeh karena harus ada pilihan solusinya

Cukup waktu Tidur

Jangan angap sepele, karena kita akan merasa cranky, jika tidur tak cukup selama libur akhir pekan. Ini mengapa sebagian orang menggunakan kesempatan untuk tidur dalam perjalanan, atau mempercepat jadwal aktifitas, agar tersisa waktu luang untuk sekedar istirahat di sisa hari liburnya. 

Waktu libur tak cukup jika sepenuhnya hanya dijadikan alasan balas dendam untuk membalas begadang selama kerja seminggu. Karena secara psikologis juga punya dampak buruk. Kekurangan waktu tidur selama begadang ketika bekerja artinya, juga mengabaikan asupan kalori, energi tidak tersalur maksimal, pengaruh pada berat badan meningkat, perubahan negatif pada cara tubuh menyerap insulin. 

Tak kalah penting, kurang tidur juga merupakan pemicu terjadinya perubahan mood, kecemasan berlebih, dan depresi. 

Apakah ini akan bisa optimal di balas hanya dengan menambah jumlah jam tidur saat weekend?. Atau kita justru harus mengatur siklus tidur teratur dan pastikan sleep hygiene terpenuhi demi kualitas tidur cukup.

Pola Keseimbangan

Idealnya membawa pekerjaan ke rumah, sama dengan membawa penyakit. Karena itu artinya, kita tak bisa membedakan kapan saatnya harus bekerja dan beristirahat. Sekalipun terpaksa harus bekerja, tidak dalam tekanan deadline. 

Termasuk dalam urusan emosi. Marah dengan bos, diluapkan kepada anak-istri, begitu juga sebaliknya, marah sama anak-istri diluapkan kemarahan pada bos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun