main-main.id
Seorang kaisar Tiongkok, dalam sebuah pertempuran besar selama berbulan-bulan, kehabisan stok pasukan, sementara perang belum juga ada tanda-tanda berakhir. Kemudian ia meminta panglima perangnya mencari tambahan jumlah pasukan.
Sang panglima mengusulkan menggunakan seluruh kekuatan baru dari para perempuan, tidak peduli dari kalangan apapun. Kaisar tidak setuju, karena butuh waktu melatih para perempuan berlatih teknik perang.
Setelah diyakinkan si panglima, Kisar menyetujui usulan itu. Maka seluruh pasukan baru yang terdiri dari para perempuan dibariskan. Beberapa perempuan merasa canggung, dan merasa aneh. Beberapa perempuan bahkan tertawa setiap kali melihat penampilan mereka saat berlatih.Â
Untuk membangun disiplin, pasukan baru lantas dilengkapi seragam perang. Seketika sikap mereka berubah. Apalagi ketika aturan sebagai seorang prajurit juga semakin ketat, terutama soal disiplin.
Hasilnya dalam waktu singkat para perempuan itu menjadi pasukan siap tempur, berkat aturan dan seragam perangnya.
Pentingnya Seragam
Catatan tentang seragam, sebagai identitas dan cara membangun  kesiplinan adalah salah satu poin penting. Seragam juga menjadi penanda hirarki karena berdasarkan kepangkatan, atau warna bajunya.
Seragam juga bisa menjadi cara membangun disiplin secara cepat dan instan, karena keharusan memakai pakaian khusus itu selama bertugas.
Di negara-negara Asia ada kecenderungan seragam menjadi seperti kebutuhan, dalam konteks seragam untuk bersekolah. Berbeda dengan negara-negara di Eropa yang tidak begitu ketat soal seragam. Kecuali untuk institusi khusus seperti kepolisian, kemiliteran dan instansi dinas tertentu.
Di Jepang, seragam sekolah Jepang bahkan dirancang khusus, berdasarkan seragam angkatan laut bergaya Eropa. Pertama kali digunakan di Jepang pada akhir abad ke-19, menggantikan Kimono. Idenya dicetuskan oleh Elizabeth Lee, kepada sekolah Fukuoka Jo Gakuin. Sekarang, seragam sekolah tersebut umum dipakai di berbagai sistem publik dan sekolah swasta di Jepang. Kata Jepang untuk jenis seragam ini adalah seifuku.
Kalau di Indonesia, seragam sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Penjajah yang memang terkenal disiplin ini mewajibkan para pelajar untuk mengenakan seragam meskipun pada saat itu belum ditetapkan warna masing-masing tingkatannya.
Nah, warna seragam yang berbeda di masing-masing tingkatan pendidikan ini mulai diberlakukan sejak zaman pemerintahan Soeharto, tepatnya pada tahun 1982. Melalui Surat Keputusan Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982, pemerintah resmi menetapkan penggunaan seragam sekolah, termasuk warna yang digunakan.
Orang yang berada di balik penetapan ini adalah Idik Sulaeman yang menjabat sebagai Direktur Pembinaan Kesiswaan di Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah pada masa periode 1979-1983. Ternyata beliau juga merupakan sosok di balik lambang OSIS dan Paskibraka lho. Â Warna seragam rancangan beliau menjadi ikonik hingga sekarang.
Faktor substansial nya, mengurangi gap atau kesenjangan antar individu dan kelompok dalam sebuah institusi atau klaster seperti halnya sekolah. jadi kalau ada beda nasib secara sosial, akan disembunyikan oleh seragam.
Sehingga keberadaan seragam di sekolah, membuat orang bisa lebih fokus belajar, tidak diganggu persoalan perbedaan sosial-ekonomi yang jomplang. Seragam menjadi "sense of egality".
Seragam dan Disiplin Semu
Mengapa di Eropa, seragam tidak menjadi prioritas di sekolah?. Apakah karena mereka cenderung mengabaikan perbedaan sosial atau ada pertimbangan lain?.
Sebuah jawaban di Quora menyebut, alasannya karena faktor perbedaan sosial-kemiskinan, namun karena menimbulkan persoalan, kemudian didorong untuk berseragam. Alasan yang sama juga juga berlaku dibanyak negara.
Persoalan substansi lainnya, juga berkaitan dengan faktor kedisiplinan. Cara membangun kedisiplinan dengan cepat dan instan, adalah dengan menggunakan seragam.
Hanya saja dalam pelaksanaan aturan, juga harus diikuti oleh pembiasaan, sehingga menjadi habit, bukan sekedar formalitas.
Internalisasi nilai yang diharapkan adalah, kebiasaan memakai seragam agar berdampak pada kebiasaan lain dalam keseharian. Manajemen waktu, seperti disiplin menggunakan jam sekolah.
Mengatur ritme, seperti kebiasaan mengenakan seragam sesuai hari belajar. Termasuk dalam mengatur jadwal dan pola belajar.
Hanya saja, yang terbangun justru kedisiplinan semu, semacam formalitas belaka. Kedisiplinan tidak pernah sampai pada internalisasi yang menjangkau semua aspek dalam kehidupan kita.
Kita ambil sisi baiknya saja, minimal membantu mengurangi sakit kepala, daripada meributkan kesenjangan sosial!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H