Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Kekinian, Butuh Setengah Elon, Setengah Kiichiro, Melawan Disrupsi

22 Februari 2022   10:30 Diperbarui: 13 Maret 2022   07:26 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

arthanugraha.com

Sebenarnya ini hanya sebuah pemikiran sederhana. Ketika mencoba mengadopsi pertarungan dan gaya tarung dua raksasa industri otomotif yang sedang digdya saat ini. Toyota versus Tesla. Kedua mengusung dua jargon, versi Toyota Way-Kiichiro Toyoda, yang telah teruji zaman, dan Tesla Way-Elon Musk, debutan yang melompat dan melejit dengan inovasi "penuh ketidaksabarannya".

Menarik juga jika wacana yang kita bangun bisa mengadopsi dua model petarung dunia industri otomotif, tapi menjadi sebuah wawasan yang lain tentang, membangun personality dalam disrupsi yang makin menggila.

Apakah cara Toyota Way atau justru Tesla Way yang harus kita jadikan rujukan agar bisa berdinamika dengan perubahan. Atau ada jalan tengah?.

sumber dari youtube/ Dr. Indrawan Nugroho
sumber dari youtube/ Dr. Indrawan Nugroho
Sebagai pemaham awam, secara teori, Tesla Way menggunakan lompatan-lompatan serba cepat sebagai ciri khas gaya sillicon valley yang serba tidak sabaran dan cenderung eksperimental dalam berinovasi produk. Sedangkan Toyota Way, seperti biasa mengingatkan kita tentang kebijakan Timur, yang menekankan pada perencanaan matang, ketepatan eksekusi dan perbaikan terus-menerus, dengan pendekatan manusia.

Memang jika rujukannya adalah era 4.0 yang serba cepat, instan, Tesla Way menjadi metode standar, konsep inovasi dengan prinsip bertindak terlebih dahulu, baru kemudian melakukan perbaikan. Dengan pilihan-pilihan itu, banyak kejadian atau kesalahan dan gejolak harus diredam dengan kerja keras. tapi semuanya sebanding dengan capaiannya.

Jika Toyota butuh berpuluh tahun menghasilkan sebuah inovasi, Tesla hanya butuh berbilang tahun untuk bisa mengantar moda transportasi ke Mars. Hanya saja dibutuhkan mental baja melawan kritikan.

Jika seseorang berbisnis, banyak produk penjualan di return, pertanda itu alamat buruk. Hanya saja karena Tesla bermain dalam industri inovasi otomotif yang serba baru, semua orang maklum adanya. dari tak ada mobil berbaterai lithium, kini telah diproduksi, dan ketika baterainya ngadat, maka publik berpikir, tinggal tunggu saja keluaran baterai terbaru. Semuanya juga barang inovasi canggih dan baru.

Dua sisi Berlawanan

Dengan dua perbedaan yang bertolak belakang, para praktisi lean, kaizen dan six sigma punya sikap apatis terhadap tesla way. Mereka menggunakan kegagalan Tesla menjadi best practice manufacturing, karena bagaimanapun, perbaikan terus-menerus dapat mempengaruhi kredibilitas perusahaan.

Tapi, daya tarik lompatan Tesla membuat para pakar geleng-geleng kepala. Di tahun 2020 saja, fakta bahwa Tesla telah melampaui Toyota sebagai perusahaan produsen mobil dengan nilai valuasi pasar paling tinggi di dunia, menjadi kejutan luar biasa.

Para investor sepertinya percaya bahwa cara Tesla itu, justru akan jadi masa depan dari industri. Dan cara-cara Toyota terpaksa harus dipertimbangkan kembali dengan segala konsekuensinya. 

Bagaimanapun pendekatan manusia masih relevan hingga saat ini, ditengah deru robotik. Jadi memaksakan sistem robotik sepenuhnya sebagai cara inovasi dan efisiensi belum sepenuhnya dijadikan pilihan.


Toyota sangat mementingkan perencanaan matang ketika mereka berinvestasi waktu, tenaga, pikiran, dan dana di awal, untuk memastikan mereka mempunyai desain produk terbaik dan sempurna. 

Sebelum kemudian mulai menjalankan proses produksinya dan ketika produksi sudah dimulai tak boleh ada kesalahan.


Prinsipnya "Do It Right the First Time", lakukan segala sesuatunya secara sempurna sejak awal, untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Semacam sifat perfeksiosis manusia yang jamak.


Kebalikannya, jargon yang sangat populer di lini produksi Tesla, justru bergerak ala Sillicon valley ketika mengembangkan software,

"Move Fast, break things"--"Fail fast, earn faster"--"Launch early iterate later"

Jargon itu mendikte sumber daya manusia, karyawan, proses produksi, dampaknya muncul masalah paska produksi. 

Bandingkan saja dengan Toyota way, Toyota bisa memproduksi 10 juta kendaraan setahun tanpa ada masalah. Tesla yang memproduksi cuma 25 ribu kendaraan di tahun 2017 punya segudang masalah.

Meskipun banyak pembelajaran dari kesalahan, namun pelajaran terbaik adalah, tidak punya masalah sama sekali, apalagi sifanyanya sangat subtil. 

Tapi dengan keras kepalanya, seperti biasa Elon Musk punya pandangan yang berbeda, dia tidak melihat masalah dengan cara yang sama seperti orang lain. Ketika Elon Musk gagal menunjukkan kekuatan jendela kaca cyber truck pada saat event demonstrasi, padahal dalam sebuah industri otomotif, itu menjadi bahan "lawakan" terbesar.

Bayangkan saja, setelah kaca pecah di palu pertama, di palu berikutnya apa lagi, tapi Elon cuma nyengir dan katanya bak seorang pelawak, "namanya juga uji coba, ini cuma untuk memastikan bahwa buatan kami nanti akan lebih baik dari kaca murahan ini", sesederhana itu. 

Bagaimana jika terjadi dengan Toyota way?. Barangkali tidak usah dibayangkan, karena kejadian itu hampir tak akan pernah terjadi. 

Tes aerodinamika, hingga ketahanan material sudah dilakukan sejak awal, jadi tak perlu kuatir akan terjadi blunder. 

Kecuali untuk hal tehnis berkaitan dengan mekanisasi yang bisa saja terjadi masalah, ketika bereaksi dalam proses dengan sistem lain.

Para pengamat dan media massa mengolok-olok tesla. Dimata mereka itu adalah sebuah aib besar ,tetapi Elon santai saja dan bagi dia kejadian itu enggak lebih dari sebuah feedback agar dia bisa membuat jendela mobil yang lebih kuat lagi. 

Terlalu percaya sepenuhnya pada robot dan mesin juga menjadi titik lemah. Di dalam menjalankan pabriknya Tesla fokus pada menghasilkan kecerdasan buatan dan mesin otomatis yang akan mampu menghilangkan kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam produksi. Tesla memprediksi bahwa kapasitas produksinya akan meningkat dari level ribuan menjadi jutaan dalam waktu yang sangat singkat ketika ia sudah memiliki sistem produksi yang ideal.

Dengan mesin yang memungkinkan produksi bebas kesalahan dan tanpa perlu pelatihan tenaga kerja yang menyebabkan pemborosan waktu. 

Berbeda dengan tesla yang melihat proses produksi dengan sangat mekanistik, Toyota justru memberi penekanan pada peran manusia dalam proses produksinya. Para karyawan yang ada di lini produksi diharapkan berperan sebagai sumber pembelajaran dan perbaikan. 

Super Hero yang One Man Show

Meskipun budaya bisnis Amerika menyukai tokoh heroik seperti yang dimainkan dengan sempurna oleh Elon Musk, tapi, sebagian besar perusahaan Lean yang unggul berkembang karena mereka dipimpin oleh individu rendah hati tetap menggunakan manusia sebagai penjaga kestabilan dan meningkatkan elemen inti bisnis yaitu orang, proses dan tujuan.

Memang gaya Elon Mask, itu sangat one man show, bahkan ia rela tidur di pabrik demi mengejar tenggat produk keluaran baru atau berkejaran dengan produksi massalnya. Tapi itu juga bukan sekedar pencitraan, sebagai workaholik sejati, ia memang sungguh gila kerja!.

Di lain sisi, Gaya kepemimpinan dan sistem produksi Tesla yang baru berusia belasan tahun itu belum teruji dan masih banyak celahnya. 

Berbeda sekali dengan Toyota production System yang sejarahnya dimulai sejak 80 tahun yang lalu dan telah terbukti menjadikan Toyota sebagai The largest automobile manufacturer in the world.

Kita dan Dua raksasa

Dalam posisi sebagai sebuah personality, era 4.0, disrupsi, memaksa kita bisa berkelebat seperti filosofi ninja. Dengan seluruh potensi kita harus bisa bergerak, menjalankan tugas dan mencapai tujuan.

Tapi proses kemahiran personality itu butuh tempaan, latihan dan skill yang prosesnya panjang, karena kita manusia, bukan robot. 

Proses itu dimulai dari sejak kita dilahirkan, sekolah dirumah, sekolah kedua di institusi formal, hingga berkarir di institusi dunia kerja.

Keseluruhan proses dalam cara pandang Toyota Way, adalah sebuah keharusan, karena Toyota berprinsip, tak bisa matang buah dalam sehari, walaupun dikarbit, tetap saja ada kelemahanannya.

Dengan filosofi itu, membangun sebuah kapasitas, menjadi kebutuhan utama agar punya daya saing. Tapi bagaiamana, jika keharusan itu tidak menyediakan waktu panjang dalam prosesinya?. 

Teknologi ada dan telah diciptakan untuk bisa membantu mengubah situasi dan kondisi, seperti kisah Sangkuring Membuat Istana dalam semalam.

Dari sudut Tesla Way, semua itu bukan hambatan karena ketersediaan teknologi yang memudahkan dan bukan memperbudak, justru teknologi harus tunduk pada pembuatnya. Meskipun cara-cara itu seringkali menafikan keberadaan peran manusia.

Tapi sebagai manusia, sekalipun dihadapkan pada dua pilihan menggunakan manusia sebagai cara pandang, maupun teknologi sebagai pendukung, kita ternyata masih tetap beruntung jika dalam membangun personality, Kita bisa berada diantaranya. 

Memanfaatkan manusia sebagai percepatan pencapaian tujuan dan menggunakan teknologi sebagai perantara percepatan itu.

Ketika era berubah, kita juga tak sepenuhnya bisa memposisikan berada dalam situasi "zona nyaman" terus menerus. 

Mengadopsi teknologi bisa menjadi kekuatan daya saing, menggunakan akal dan pikiran dan proses menjadi pribadi baik juga mendukung daya saing jadi keduanya mesti dibangun menjadi sebuah "ekuilibrium"- keseimbangan. Jadi adakah "Tesla-Toyota (Testoy) Way untuk melejitkan diri?.

referensi; 1,2,3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun