Para pengamat dan media massa mengolok-olok tesla. Dimata mereka itu adalah sebuah aib besar ,tetapi Elon santai saja dan bagi dia kejadian itu enggak lebih dari sebuah feedback agar dia bisa membuat jendela mobil yang lebih kuat lagi.Â
Terlalu percaya sepenuhnya pada robot dan mesin juga menjadi titik lemah. Di dalam menjalankan pabriknya Tesla fokus pada menghasilkan kecerdasan buatan dan mesin otomatis yang akan mampu menghilangkan kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam produksi. Tesla memprediksi bahwa kapasitas produksinya akan meningkat dari level ribuan menjadi jutaan dalam waktu yang sangat singkat ketika ia sudah memiliki sistem produksi yang ideal.
Dengan mesin yang memungkinkan produksi bebas kesalahan dan tanpa perlu pelatihan tenaga kerja yang menyebabkan pemborosan waktu.Â
Berbeda dengan tesla yang melihat proses produksi dengan sangat mekanistik, Toyota justru memberi penekanan pada peran manusia dalam proses produksinya. Para karyawan yang ada di lini produksi diharapkan berperan sebagai sumber pembelajaran dan perbaikan.Â
Super Hero yang One Man Show
Meskipun budaya bisnis Amerika menyukai tokoh heroik seperti yang dimainkan dengan sempurna oleh Elon Musk, tapi, sebagian besar perusahaan Lean yang unggul berkembang karena mereka dipimpin oleh individu rendah hati tetap menggunakan manusia sebagai penjaga kestabilan dan meningkatkan elemen inti bisnis yaitu orang, proses dan tujuan.
Memang gaya Elon Mask, itu sangat one man show, bahkan ia rela tidur di pabrik demi mengejar tenggat produk keluaran baru atau berkejaran dengan produksi massalnya. Tapi itu juga bukan sekedar pencitraan, sebagai workaholik sejati, ia memang sungguh gila kerja!.
Di lain sisi, Gaya kepemimpinan dan sistem produksi Tesla yang baru berusia belasan tahun itu belum teruji dan masih banyak celahnya.Â
Berbeda sekali dengan Toyota production System yang sejarahnya dimulai sejak 80 tahun yang lalu dan telah terbukti menjadikan Toyota sebagai The largest automobile manufacturer in the world.
Kita dan Dua raksasa
Dalam posisi sebagai sebuah personality, era 4.0, disrupsi, memaksa kita bisa berkelebat seperti filosofi ninja. Dengan seluruh potensi kita harus bisa bergerak, menjalankan tugas dan mencapai tujuan.
Tapi proses kemahiran personality itu butuh tempaan, latihan dan skill yang prosesnya panjang, karena kita manusia, bukan robot.Â
Proses itu dimulai dari sejak kita dilahirkan, sekolah dirumah, sekolah kedua di institusi formal, hingga berkarir di institusi dunia kerja.