RRI
Bermaksud menegaskan agar tidak jadi "bangsa tempe", semata agar tidak "dijajah" bangsa lain, sayangnya, narasi pidato Bung Karno, kini justru menjadi sebuah kenyataan.
Mungkin kata lain dari "ketergantungan akut" pada impor kedelai kurang lebih, bisa bermakna "terjajah". Ironis jadinya, jika awalnya dimaksudkan agar tidak terjajah, justru ketergantungan impor, makin menegasi bahwa kita bangsa "penghasil tempe" yang "terjajah" oleh bahan baku tempe itu sendiri.
Namun ada analisis berbeda yang menarik dalam memahami frasa "bangsa tempe". Karena "bangsa tempe" sebenarnya hendak dikonotasikan sebagai bangsa yang tidak membutuhkan bantuan siapapun.Â
Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Sebagian besar kedelai terserap untuk kebutuhan produksi tahu dan tempe. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,24 triliun (kurs Rp 14.200). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS).
Di tanah air kita sendiri, kebun-kebun kedelai, produktivitasnya berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.Â
Sehingga kekurangan itu harus ditutup impor, mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain.Â
Mengapa Kita Impor Kedelai?
Berapa banyak sebenarnya  rata-rata kebutuhan kedelai kita?. Ternyata tidak kurang dari 2,8 juta ton per tahun. Kisah Indonesia pernah menjadi swasembada kini hanya tinggal kenangan, karena menyebut kata "pernah swasembada" seperti mengungkit romantisme sejarah yang tidak lagi terbukti. Menyakitkan!
Faktanya, produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800.000 ton per tahun dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton. Sangat jauh panggang dari api. Uniknya lagi, meski kita paham begitu, kekurangan, dalam nota keuangan tahun anggaran 2021, pemerintah baru bisa menargetkan produksi kedelai 420.000 ton.
Mengapa bangsa kita disebut "bangsa tempe", karena begitu merakyatnya kedua makanan ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Rata-rata setiap penduduk Indonesia mengonsumsi 0,152 kg tahu dalam sepekan.Â
Sedangkan tempe sebanyak 0,139 kg. Menurut Statista, konsumsi kedelai per kapita Indonesia sebesar 2,09 kg pada 2019. Angka ini memang turun 5,85% dibandingkan 2018 yang sebesar 2,22 kg.Â