Ini problem krusial yang sangat merusak kualitas. Kita saja yang berada di ruang Kompasiana, dapat merasakan, setiap artikel yang terpublikasi secara cepat dan nyaris instant, masih harus berurusan dengan editum, untuk perbaikan. Entah judul, narasi, apalagi substansi.Â
Jelas ini bukan kerja mudah, dalam konteks media berbasis bisnis. Sekali lagi, meski teknologi digital memungkinkan komunikasi jarak jauh lewat aplikasi percakapan serta pengiriman dan penyuntingan konten yang lebih mudah lewat content management system, tetap saja, masalah konten sangat krusial. Sekalipun bersaing dengan media kroco.
Jadi jurnalis para penganut model jurnalisme sastrawi, berada dalam situasi dilematis. Tak habis pikir, memahami rendahnya kualitas para jurnalis media daring, tapi juga berada dalam posisi serba salah jika hanya bisa "terheran-heran" tapi informasi must go on, tak bisa menunggu fakta-fakta harus di-cheking dulu. Mesin kini bisa bekerja robotic, memastikan sekedar plagiarsm.
Pemanfaatan teknologi di media digital cuma salah satu gambaran praktik media digital yang tak berkelanjutan. Persaingan menjadi begitu sempurna, tak ada lagi monopoli media mainstream seperti dulu.Â
Dan urusan bertahan hidup menjadi sangat, sepele. Sesederhana menggunakan media digital untuk membuat berita yang cepat, agar segera tersebar dan menuai respon yang dapat di artikan sebagai "monetisasi" yang artinya fulus atau cuan.
Apakah kita masih mendebat soal jurnalisme berkualitas?. Ukuran-ukurannya telah berubah, parameter obyektif, akurasi, tidak bias kepentingan politik atau modal, dan mampu melayani mereka yang terpinggirkan, makin terabaikan.
Era user experience, telah digantikan dengan subjective quality atau quality of experience. Kualitas di lawan oleh isi, kemasan dan ini menentukan apakah pembaca akan memberi dukungan. Berpanjang-panjang akan menjadi kerjaan para copywriting, tapi simple dan lugas, menjadi urusan para jagoan, copy writer. Makin lugas, cepat dan to the point, makin lekas dibaca dan lainnya ditinggalkan karena telah ada sebuah berita yang mewakili curiosity si pembaca.
Sangat naif bila masih menganggap bahwa dengan readers-led strategy, jurnalis menjadi satu-satunya penentu apa yang harus ditulis dan apa yang berkualitas. Faktanya, isu dan kualitas merupakan hasil dialog antara jurnalis, perusahaan media, pembaca, dan banyak pihak.Â
Tapi sebagai raja, pembaca lebih "memaksakan" kehendak. Jadi, Siapa cepat ia dapat!, semua karena digital, telah merasuk dalam ruang privacy yang sulit digoyahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI