Dulu, ketika Nicholas Negroponte menulis Being Digital, ia menyebut dalam tagline-nya, menyiasati hidup dalam "cengkeraman" sistem komputer. Kini komputer bahkan telah bermutasi hingga berwujud "metaverse", merubah realitas maya, menjadi begitu nyata.Â
Nicholas Negroponte pernah bilang, melalui The new York Times ia bisa menikmati tulisan  John Markoff, wartawan bisnis komputer dan komunikasi. Tapi digitalisasi membuatnya artikel Markoff, kini ada dalam database pribadinya. Nicholas, bahkan bertanya, apakah dunia digital itu nyata?. Ya, jika antarmuka antara orang dan komputer mencapai kualitas tertentu sehingga berbicara kepada komputer akan semudah berbicara kepada sesama manusia. Ketika itu komputer baru ada, tapi sekarang semua terbukti!.
Pembaca  yang tidak sabaran
Apakah digitalisasi yang serba cepat dan "tidak sabaran" masih membutuhkan "Jurnalisme sastrawi" (literary journalism). Sebuah genre dalam dunia penulisan yang memadukan liputan/reportase dan penulisan dengan gaya sastrawi.Â
Atau justru telah lama ditinggalkan?. Orang akan lebih memburu informasi, tidak lagi butuh kedalaman reportase, tapi kecepatan. Seolah, konten dan akurasi bisa "diedit' belakangan. Isu-isu strategis bisa bermunculan secepat gerakan pikiran dan jari. Langsung dari sumber berita. Seorang awak jurnalis, dulu disebut "kuli tinta", menuliskan beritanya seperti reportase pandangan mata, tapi dalam wujud narasi dan langsung terpublikasi dalam detik yang sama ketika ia memencet klik!-"send", enter atau publish!.
Ketika jurnalisme sastrawi masih menjadi magnet jurnalistik, Saya mengenal Chik Rini, salah seorang penulis jurnalisme sastrawi tentang konflik Aceh. Saya bisa merasakan dinamika liputannya soal konflik. Tahun 1999, saya juga berada dalam episentrum konflik Aceh. Hampir setiap malam ketika berita akan terbit, akan dikonfrontir para pihak yang konflik. Kesalahan dalam komunikasi akan membawa petaka.
Sejak dari rapat redaksi, hingga memutuskan tokoh yang akan menjadi sumber reportase, tak hanya memikirkan tentang apa saja hasil reposrtasenya.Â
Tapi bagaimana cara menemukan narasumber, berkomunikasi, menjumpai, hingga wawancaranya. Beberapa kali mendapat tugas reportase, harus menyamar, bekerja layaknya intel, dan bergerak dalam senyap. Hasilnya, reportase mendalam dan eksklusif.
Apakah dalam situasi digital sekarang alur reportasenya masih mengikuti pola yang sama?. Namun yang pasti, substansi paling berbeda, adalah soal komunikasi yang makin cepat dan ringkas. Narasumber rahasia, jika sudah mendapat akses, hanya tinggal memencet tombol dan komunikasi berlangsung.
Bagaimana dengan hasil liputannya?. Dalam jaman disrupsi digital, para pembaca, adalah mereka yang merasa super sibuk. Dalam jutaan data yang berseliweran di jagat digital, para pembaca seolah hanya punya waktu beberapa detik melihat dan menganalisis berita dan memilihnya.Â
Jika tidak berkenan, segera mengganti layar dengan men-scroll, untuk menemukan sumber bacaan lain. Sehingga para jurnalis menjadi seperti kehilangan ruhnya sebagai pemburu berita. Keluwesan dan keindahan artikel, sangat tergantung pada kemampuan jurnalisnya, bukan pada proses lamanya waktu menyiapkan sebuah berita.
Jurnalisme sastrawi yang sangat rigid tentang detail, menjadi seperti artikel tabloid yang terbit mingguan. Sementara artikel dan berita cepat, seperti berita harian.
Bahkan demi kepuasan jurnalisme bergenre sastrawi, The New Yorker yang terbit sejak 1925 memiliki jabatan fact checker dalam mekanisme kerja mereka yang khusus bertugas mengecek mengenai kebenaran fakta yang dimuat dalam sebuah tulisan mulai dari ejaan nama-nama, angka, warna, buku, argumentasi, kutipan, dan sebagainya guna memastikan keakuratan fakta yang sampai di hadapan para pembacanya.
Tantangan Hari Pers Nasional 2022
Menjaga marwah jurnalisme berkualitas-berbobot menjadi tantangan tersendiri. Namun dalam ruang-ruang media digital, media mainstream seperti Kompas, juga melakukan hybridasi, dengan menyediakan dua versi penyajian beritanya. Versi lawas media cetak dan  versi digital, seperti Virtual Interaktif Kompas (VIK).
Inisiatif-inisiatif baru dalam jurnalisme bermunculan baik dalam bentuk media baru, maupun sebagai inovasi produk dan organisasi di institusi mapan. Inisiatif ini, agar bisa sustainable dalam dunia yang bergerak luwes tapi super cepat.Â
Tapi apakah sustainable hanya dimaknai sebagai kesintasan, agar media tetap eksis dan para jurnalis terpenuhi kesejahteraannya?.
Media besar Deutch Welle Akademie menyusun sebuah model "jurnalisme berkelanjutan." Mereka mengistilahkannya "Media Viability", tetapi secara konsep adalah keberlanjutan yang lebih daripada soal uang. Dalam model itu, keberlanjutan media dilihat dari lima dimensi dan mencakup tiga level; organisasi, jaringan dan lingkungan. Bagaimana bertahan, bagaimana jaringan menjadi kekuatan untuk bertahan dalam persaingan dan bagaimana mengakomodir, "apa maunya" pembaca.
Setidaknya setelah 30 tahun jurnalisme memasuki era digital, soal "keberlanjutan media" adalah tantangan yang super berat. Media konvensional berguguran dimakan digitalisasi. Kegagalan digital selalu difokuskan pada mengupayakan keberlanjutan jurnalisme dari sisi proses kerja dengan wartawan sebagai buruhnya.Â
Meski tren baru penggunaan teknologi digital dalam jurnalisme berkembang, seperti; data journalism, computational journalism, sensor journalism, VR journalism, secara umum teknologi--jika dieksplorasi--lebih banyak bisa digunakan untuk menghemat ongkos. Pertanyaan pentingnya, apakah digitalisasi bisa membuat jurnalisme berkelanjutan?.
Seiring perkembangan, dengan keterbatasan dan gaji murah, media digital diminta mengejar untung. Model bisnis yang terbayang awalnya iklan--sama dengan cetak--dan iklan ditentukan oleh klik. Tulisan pendek dan judul bombastis berkembang pesat.Â
Lantas dimana pusat pertarungan sesungguhnya?. Korporasi media jadi bermuka dua. Punya produk jurnalisme berkualitas di publikasi cetak sekaligus konten pendek dan bombastis di versi daring. Bahkan media kecil yang ligat dan bergerak dinamis, bisa menjadi pembunuh media raksasa yang terlalu protokoler, dengan juknis yang rumit. Dengan kata lain, seolah para pemimpin redaksi hanya bertindak menjadi "admin", menyortir berita dengan cepat dan meloloskannya ke pusat pemberitaan digital dan cetak, sebelum didahului mdia lain.Â
Ini problem krusial yang sangat merusak kualitas. Kita saja yang berada di ruang Kompasiana, dapat merasakan, setiap artikel yang terpublikasi secara cepat dan nyaris instant, masih harus berurusan dengan editum, untuk perbaikan. Entah judul, narasi, apalagi substansi.Â
Jelas ini bukan kerja mudah, dalam konteks media berbasis bisnis. Sekali lagi, meski teknologi digital memungkinkan komunikasi jarak jauh lewat aplikasi percakapan serta pengiriman dan penyuntingan konten yang lebih mudah lewat content management system, tetap saja, masalah konten sangat krusial. Sekalipun bersaing dengan media kroco.
Jadi jurnalis para penganut model jurnalisme sastrawi, berada dalam situasi dilematis. Tak habis pikir, memahami rendahnya kualitas para jurnalis media daring, tapi juga berada dalam posisi serba salah jika hanya bisa "terheran-heran" tapi informasi must go on, tak bisa menunggu fakta-fakta harus di-cheking dulu. Mesin kini bisa bekerja robotic, memastikan sekedar plagiarsm.
Pemanfaatan teknologi di media digital cuma salah satu gambaran praktik media digital yang tak berkelanjutan. Persaingan menjadi begitu sempurna, tak ada lagi monopoli media mainstream seperti dulu.Â
Dan urusan bertahan hidup menjadi sangat, sepele. Sesederhana menggunakan media digital untuk membuat berita yang cepat, agar segera tersebar dan menuai respon yang dapat di artikan sebagai "monetisasi" yang artinya fulus atau cuan.
Apakah kita masih mendebat soal jurnalisme berkualitas?. Ukuran-ukurannya telah berubah, parameter obyektif, akurasi, tidak bias kepentingan politik atau modal, dan mampu melayani mereka yang terpinggirkan, makin terabaikan.
Era user experience, telah digantikan dengan subjective quality atau quality of experience. Kualitas di lawan oleh isi, kemasan dan ini menentukan apakah pembaca akan memberi dukungan. Berpanjang-panjang akan menjadi kerjaan para copywriting, tapi simple dan lugas, menjadi urusan para jagoan, copy writer. Makin lugas, cepat dan to the point, makin lekas dibaca dan lainnya ditinggalkan karena telah ada sebuah berita yang mewakili curiosity si pembaca.
Sangat naif bila masih menganggap bahwa dengan readers-led strategy, jurnalis menjadi satu-satunya penentu apa yang harus ditulis dan apa yang berkualitas. Faktanya, isu dan kualitas merupakan hasil dialog antara jurnalis, perusahaan media, pembaca, dan banyak pihak.Â
Tapi sebagai raja, pembaca lebih "memaksakan" kehendak. Jadi, Siapa cepat ia dapat!, semua karena digital, telah merasuk dalam ruang privacy yang sulit digoyahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H