Bagaimana jika kita berada dalam sebuah hubungan, ketika pasangan memaksakan kehendak, menjadi  "episentrum" dalam semua hal?
Apa yang harus kita lakukan, seperti saran orang bijak, tak ada cara sembuh bagi penderita toksik, jadi sebaiknya ditinggal jauh. Lantas bagaimana jika itu pasangan hidup kita?. Sulit menjawabnya. Ada yang bisa?, apakah harus "melepaskan "layangannya?".
Perbincangan tentang kesehatan mental dan masalah relasi toksik (toxic relationship) mulai berkembang beberapa tahun belakangan ini. Namun dalam kenyataannya, masih terjadi kekerasan dalam relasi yang belum disadari oleh banyak pasangan. Jikalaupun mereka menyadari dirinya menjadi korban dalam relasi toksik, tidak semuanya dapat dengan mudah mengambil keputusan untuk keluar dari situ.Â
Beberapa rekomendasi bacaan mungkin bisa menjadi pelipur lara, sulitnya keluar dari "penjara" toxic relationship atau toxic habit. Cobalah untuk menelusuri referensi seperti; Toxic Relationsh*t, Diana Mayorita, membicarakan faktor apa saja yang melahirkan relasi toksik, jenis kekerasan dalam relasi dan polanya, tanda-tanda seseorang menjadi pelaku atau korban dalam relasi toksik, fenomena gaslighting, hubungan ambivalen, atau yang disebutnya sebagai love-hate relationship, sampai soal cinta obsesif. Atau referensi lain seperti; Life as Divorcee  oleh Virly, K.A; atau Woe-Man Relationship oleh Audian Laili.Â
Beberapa rekomendasi menarik, masih patut diperdebatkan, apalagi bagi para penganut hubungan ambivalen, love-hate-relationship. Biar disakiti, asalkan tetap bisa bersamanya tak mengapa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H