Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumitnya Gaslighting, Ambivalensi Benci Tapi Rindu

13 Februari 2022   01:09 Diperbarui: 15 Februari 2022   10:23 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyakit lain dari pengidap toksik adalah sulitnya meminta maaf, selalu ada celah untuk memutarbalik fakta, bahwa keputusannya untuk meminta maaf-pun dasarnya karena ada pemicu yang membuatnya "bersalah", sehingga maaf itu menjadi formalitas untuk menunjukkan bahwa pihak yang diberi permintaan maafnya, juga sebagai pihak yang bersalah. Rumit sekali pola pikirnya.

Dengan pola pikir itu, maka mereka akan memastikan kita juga andil ikut bersalah yang membuatnya harus meminta maaf. Seolah-olah ia yang memutuskan siapa yang salah dan siapa yang harus diangap benar.

Pernah dengar istilah, "senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang", meskipun bisa di identikan dengan sifat iri, sifat ini adalah ciri seorang berpenyakit toksik. Betapa sulitnya untuk peduli dan mendukung orang lain. 

Dukungan harus berkonsekuensi menguntungkan. Jika bicara fakta ini, kita seolah sedang berbicara tentang seseorang berprofesi-politikus. Faktanya, perilaku ini menjadi perilaku yang jamak dipertontonkan oleh kelompok ini.

Mungkin penganut Machiavelan adalah salah satu wujud para penderita toksik ini. 

Barangkali pertanda lain ini bisa menguatkan pemikiran kita tentang siapa orang yang paling sering berlaku sebagai seorang pengidap toksik. Ada kecenderungan orang yang toksik sering berbohong dengan terang-terangan. 

Mereka juga sering mengarang cerita menjadi sebuah kebenaran. Mereka dapat mengubah narasi dan opini mereka dalam sekejap jika hal itu dirasa pas untuk mereka. Mereka membuat opini tergantung pada apa yang mereka perlu capai dan apa yang mereka inginkan terjadi. Orang-orang toksik tidak pernah menganggap adanya kejujuran dalam kehidupan.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka mau dipahami, namun tidak mau memahami orang lain.

Kecenderungan utama adalah orang yang toksik akan selalu mencoba menarik perhatian orang lain dan berfokus pada dirinya sendiri. Perhatikan dalam debat-debat politik di televisi, banyak sekali para politikus yang berkarakter toksik, namun anehnya, merekalah yang berada di panggung politik dan menjadi bintangnya.

Apa Solusi terbaiknya?

Apakah  anggapan awam bahwa orang sukses dan petualang politik harus berkarakter toksik untuk bisa menjaga hegemoni kuasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun