Coba lihat di segala jenis media yang kita punya, bahkan dalam gadget di gengaman kita, berapa banyak kasus korupsi, tindak kejahatan kerah putih, ketidakadilan sosial, dan perilaku elite dan pilitikus yang tidak pernah menggunakan Pancasila sebagai pedoman, apalagi menjadikan agama sebagai "tameng" moralnya. Semuanya keblablasan, semua moralnya rusak.
Akibatnya banyak kelompok-kelompok dari kalangan penganut agama, aliran yang kemudian menjadikan realitas itu sebagai alasan pembenaran, bahwa Pancasila bukan pedoman yang tepat, lantas merujuk agama sebagai pilihan lain tanpa alternatif.Â
Wujudnya, "pemaksaan" keyakinan dan kepercayaan agama menjadi doktrin pengganti doktrin lain yang dianggap salah dan tidak ampuh. Maka lahirnya sikap dan aksi radikalisme dengan mengatasnamakan agama yang diyakininya.
Agama pemicu radikalisme?
Padahal agama saja sebenarnya juga berada dalam dilema yang sama. Meskipun setiap agama Samawi (langit) maupun Ardi (bumi), ketika muncul menjadi bagian dari keyakinan, membawa nilai-nilai universal tentang kehidupan.Â
Keyakinan Tuhan sebagai kekuatan yang menyatukan kebaikan, kedamaian, hubungan antar sesama manusia, bahkan hingga aturan sederhana tentang menjaga semut sebagai sesama mahluk Tuhan. Tapi di tangan para penganutnya, agama menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik, karena beda aliran dan kepercayaan.
Meskipun sebenarnya pemicu konflik, perang maupun radikalisme, juga bukan cuma soal agama, masalah sosial, ekonomi  dan lain-lain yang sangat kompleks. Hans Kung dosen Ecumenical Theology di Universitas Tubingen, Jerman, yang juga menjabat Presiden Stiftung Weltethos,  jelas tidak sedang berkhayal atau berilusi ketika menyatakan, agama sebagai faktor mendasar-fundamental dalam berbagai kasus kekerasan lokal, regional, nasional, dan internasional.
Namun bersebalikan dengan pendapat Hans Kung, Karen Armstrong, justru berargumen, banyak kekerasan, dan tragedi kemanusiaan mengerikan dalam kisah sejarah umat manusia yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar agama. Politik kekuasaan, rasisme, etnosentrisme, kolonialisme, sekularisme, ateisme, komunisme, dan kapitalisme adalah pemicu lainnya.
Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan, bahwa agama memang menjadi elemen signifikan dalam berbagai kasus kekerasan domestik, terorisme global, dan kerusuhan kolektif di berbagai belahan dunia dewasa ini. Tapi sekali lagi, agama bukan alasan satu-satunya sebagai pembenaran kemunculan radikalisme.
Coba saja jika isme-isme selain agama berjalan beriringan dengan nilai-nilai agama, minimal jika dijalankan secara baik, bisa jadi keributan tentang konflik sosial, ekonomi, bahkan radikalisme bisa diredam atau bahkan tidak ada sama sekali.Â
Maaf, kita terpaksa menafikan soal pembahasan "hawa nafsu", karena bisa jadi konteksnya berkaitan tapi berjauhan, meskipun dari sudut pandang agama, keberadaan "benda" dalam diri manusia itu karunia  dari Tuhan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!