eramuslim
Isu ini bikin sakit kepala, seperti kita juga mikir korupsi yang kian lama kian menggurita. Sebeanrnya radikalisme bisa di bahasakan sebagai, keinginan untuk mengubah bentuk dan dasar negara, dari negara republik berdasarkan Pancasila menjadi negara dalam bentuk lain.Â
Bentuk lain itu bisa saja berbasis agama, baik yang bersifat lokal yang masih membawa identitas atau nama Indonesia maupun yang sifatnya transnasional, yaitu negara yang melampaui sekat-sekat kebangsaan, seperti yang dipromosikan oleh para penganjur khilafah.
Keinginan model itu sudah ada sejak dulu, dan terus terpelihara. Sejak awal berdirinya negara ini sudah ada pihak-pihak yang menginginkan negara Indonesia dalam format negara Islam. Meski akhirnya format yang disepakati adalah negara dalam format seperti sekarang, keinginan atas negara Islam itu tidak pernah mati. Keinginan itu juga tidak statis. Ia menguat dan melemah tergantung pada sejumlah faktor.
Nah, salah satu faktor yang berpengaruh adalah tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah. Kalau pemerintah sekarang memuaskan dan dianggap baik, keinginan untuk mengubah negara dalam format lain itu akan berkurang. Sebaliknya, kalau orang menganggap kinerja pemerintah ini buruk, keinginan untuk mengubah negara akan menguat. Nah, salah satu parameternya adalah korupsi. Extra ordinary yang bikin rakyat melarat se-Indonesia, bukan lingkup kecil saja. Ini menjadi salah satu "bara" dalam sekam yang berbahaya karena mudah terbakar.
Dualisme Solusi
Tapi pelaku radikalisme tak seberuntung para koruptor.Buat para pelaku tindak radikalisme, mau sembunyi di lubang semut-pun, dengan cepat akan ditemukan!. Coba saja kalau kasusnya koruptor, yang jamaknya dilakukan para elite parpol dan pemerintahan, dengan  julukan keren-White collar crime-kejahatan extra ordinary. Satu yang korupsi, tapi se-Indonesia yang sakit hati. Banyak kasus korupsi mangkrak, para koruptor melenggang asyoi di pelosok dunia.
Dalam rentang waktu belakangan, isu radikalisme dan penanaman nilai-nilai pancasila seolah menjadi arus baru yang dihidupkan kembali. Tapi dibalik fenomena itu, apa yang telah dilakukan para elite terhadap Pancasila?. Seharusnya sikap kritis terhadap radikalisme juga harus diikuti dengan sikap kritis mereka terhadap perilaku Pancasilais, semacam introspeksi internal.Â
Cek faktanya, begitu pentolan tindak radikalisme tertangkap, dalam waktu kurang dari 2 kali 24 jam, seluruh jaringan terdeteksi dan beberapa anggota jaringan tertangkap, padahal mereka sembunyi di perumahan yang padat penduduk, lainnya sembunyi di rumah terpencil di kampung yang tak dikenal.Â
Kedua kasus bisa saja dianggap biasa saja, meski keduanya berurusan dengan tindak kejahatan. Tapi ada dualisme dalam cara kita menangani kedua masalah beda!. Korupsi berkaitan dengan kejahatan moral yang merugikan publik yang luas. Pelaku radikalisme disikat habis, tapi pelaku koruptor-kejahatan para elite, diperlakukan dengan banyak privilege.
Mengapa, bisa jadi karena faktor "kekerabatan politik", atau sederhananya, jika kali ini mereka yang ditangkap, bisa jadi besok saya, jadi bersikaplah "bijak" terhadap sesama jenis mahluk se-ekosistem.Â
Akibatnya bisa di lihat, koruptor tertawa ketika digelandang KPK, seperti artis mau launching film. Di tahanan di wawancara, seperti sedang acara "unboxing" rumah pribadi. Dan setelah keluar dari lapas, dijepret kamera dari semua sisi seperti selebriti.
Beruntung para koruptor tidak hidup di China, yang langsung di hukum mati, daripada bikin penuh penjara. Di  Jepang saja, begitu ketahuan korupsi dan terbukti, maka ia akan menunduk, menutup wajah dan memutuskan tak akan lagi berada di ruang publik sebagai publik figur, karena sudah mencederai yang namanya "moralitas".Â
Di Indonesia, moralitas seperti istilah komoditas, bisa di jual beli, dikondisikan, di atur, diolah, semua cara bisa. Karena begitu mudahnya "diperdagangkan", maka ia juga bisa mengenal inflasi dan fluktuasi.
Padahal lihatlah dampak dari tindak koruptor, anak-anak sekolah di kampung, di gunung, masih bergelantungan di kawat baja, di atas sungai di ketinggian sepuluh sampai lima belas meter, bukan dalam rangka My Trip My Adventure, tapi cuma mau kesekolah. Kenapa?. Jatah bangun jembatan berubah jadi rumah mewah, istri baru, kendaraan baru dan jabatan baru. Sekolah-sekolah dengan atap bolong, dinding tepas, kayu keropos, mengapa?. Jatah bangun sekolah di korupsi satu orang untuk membangun istana baru. Anak-anak di Indonesia Timur prevalensi stunting dan wasting (penurunan berat badan yang drastis) tinggi. Mengapa?. Jatah nutrisi bagi anak-anak, jatah perawatan Posyandu dikorupsi.Â
Pemerintah lalai dengan pembangunan di Indonesia lain dan melupakan sisi lainnya. Dampak korupsi itu bisa seluas Indonesia, seperti kasus KTP elektronik, ekspor-impor daging sapi, tapi bisa juga cuma se-departemen, se-kabupaten, bahkan satu dusun, tergantung siapa pelakunya.
Apa dampaknya?, masalah sosial, kesenjangan ekonomi, pembangunan tidak optimal, kerusuhan dan ketidakpuasan masyarakat  pada pemerintah yang justru abai  dengan semua masalah itu. Para elite yang menjadi pelaksana tugas, eksekutif, legislatif, yudikatif, seolah asyik dengan kepentingan sendiri-terutama soal politik, yang dianggap lebih menguntungkan.Â
Pancasila yang dianggap sebagai dasar negara, dengan nilai-nilai dalam 5 sila, dimulai dari Ketuhanan yang Maha Esa tapi cuma slogan dan nilai-nilai dalam teks atau buku. Pancasila ternyata dianggap tidak dapat menyelamatkan negara dari para koruptor yang tidak lain adalah para elite yang mestinya harus menjadi contoh. Jika para elite xxx berdiri, maka rakyat akan xxx berlari!.
Internalisasi nilai yang dibangun dengan Indoktrinasi dari penataran P4, PMP, PPKN, hingga sekolah muda Pancasila, dari elite hingga SD, dan menjadikan pancasila sebagai dasar 'wajib" partai, ternyata sama sekali belum bisa membuktikan bahwa Pancasila adalah pedoman moral yang tepat.
Problem utamanya adalah, orang-orang yang tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila dengan benar. Lebih fatal lagi, pemerintah juga seperti berada di belakang mereka menjadi pendukungnya.Â
Coba lihat di segala jenis media yang kita punya, bahkan dalam gadget di gengaman kita, berapa banyak kasus korupsi, tindak kejahatan kerah putih, ketidakadilan sosial, dan perilaku elite dan pilitikus yang tidak pernah menggunakan Pancasila sebagai pedoman, apalagi menjadikan agama sebagai "tameng" moralnya. Semuanya keblablasan, semua moralnya rusak.
Akibatnya banyak kelompok-kelompok dari kalangan penganut agama, aliran yang kemudian menjadikan realitas itu sebagai alasan pembenaran, bahwa Pancasila bukan pedoman yang tepat, lantas merujuk agama sebagai pilihan lain tanpa alternatif.Â
Wujudnya, "pemaksaan" keyakinan dan kepercayaan agama menjadi doktrin pengganti doktrin lain yang dianggap salah dan tidak ampuh. Maka lahirnya sikap dan aksi radikalisme dengan mengatasnamakan agama yang diyakininya.
Agama pemicu radikalisme?
Padahal agama saja sebenarnya juga berada dalam dilema yang sama. Meskipun setiap agama Samawi (langit) maupun Ardi (bumi), ketika muncul menjadi bagian dari keyakinan, membawa nilai-nilai universal tentang kehidupan.Â
Keyakinan Tuhan sebagai kekuatan yang menyatukan kebaikan, kedamaian, hubungan antar sesama manusia, bahkan hingga aturan sederhana tentang menjaga semut sebagai sesama mahluk Tuhan. Tapi di tangan para penganutnya, agama menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik, karena beda aliran dan kepercayaan.
Meskipun sebenarnya pemicu konflik, perang maupun radikalisme, juga bukan cuma soal agama, masalah sosial, ekonomi  dan lain-lain yang sangat kompleks. Hans Kung dosen Ecumenical Theology di Universitas Tubingen, Jerman, yang juga menjabat Presiden Stiftung Weltethos,  jelas tidak sedang berkhayal atau berilusi ketika menyatakan, agama sebagai faktor mendasar-fundamental dalam berbagai kasus kekerasan lokal, regional, nasional, dan internasional.
Namun bersebalikan dengan pendapat Hans Kung, Karen Armstrong, justru berargumen, banyak kekerasan, dan tragedi kemanusiaan mengerikan dalam kisah sejarah umat manusia yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar agama. Politik kekuasaan, rasisme, etnosentrisme, kolonialisme, sekularisme, ateisme, komunisme, dan kapitalisme adalah pemicu lainnya.
Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan, bahwa agama memang menjadi elemen signifikan dalam berbagai kasus kekerasan domestik, terorisme global, dan kerusuhan kolektif di berbagai belahan dunia dewasa ini. Tapi sekali lagi, agama bukan alasan satu-satunya sebagai pembenaran kemunculan radikalisme.
Coba saja jika isme-isme selain agama berjalan beriringan dengan nilai-nilai agama, minimal jika dijalankan secara baik, bisa jadi keributan tentang konflik sosial, ekonomi, bahkan radikalisme bisa diredam atau bahkan tidak ada sama sekali.Â
Maaf, kita terpaksa menafikan soal pembahasan "hawa nafsu", karena bisa jadi konteksnya berkaitan tapi berjauhan, meskipun dari sudut pandang agama, keberadaan "benda" dalam diri manusia itu karunia  dari Tuhan.
Meluruskan Salah PahamÂ
Sebenarnya sejak lama Muhammad Hatta mengkuatirkan tentang pengamalan nilai-nilai pancasila. Â Pertikaian politik atas nama demokrasi justru mejadi pemicu kekuatiran itu. Kecenderungan otoritarian dalam budaya politik di Indonesia malah menjadi "penyakit" yang mengganggu masa depan Pancasila itu sendiri.Â
Padahal betapa susahnya perjuangan menjadikan Pancasila sebagai sebuah dasar negara. Sebuah ideologi yang frasa-nya diperdebatkan dari forum BPUPKI, Majelis Konstituante hingga berakhir pada 2 Juni 1959, dan pada 5 Juli 1959, dibubarkan Presiden Sukarno dengan dekrit kembali ke UUD 1945. Beragam argumentasi tentang Pancasila menjadi sebuah peristiwa debat sejarah yang menarik.
Pancasila versi Soekarno lebih bercorak sosiologis, dan dalam bentuk aslinya sila kebangsaan Indonesia merupakan sila pertama. Bahkan kemudian kelima sila dapat dikerucutkan menjadi eka sila, yaitu gotong royong.Â
Sedangkan bagi Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain. Seperti juga pernah disampaikan Mohammad Natsir dalam pidatonya, di forum The Pakistan Institute of World Affairs pada tahun 1952;
"tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena penduduknya dan karena pilihan, sebab ia menyatakan Islam sebagai agama negara. Begitu juga dengan Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tiak tegas dinyatakan sebagai agama negara. Namun, Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan pada tempat teratas dari Pancasila-Lima Prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral, dan spiritual negara dan bangsa".
 Hatta juga berargumen bahwa Ketuhanan Yang Masa Esa, merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Dan sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonsia",  menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila.
Dengan luasnya perbedaan sudut pandang yang mewakili prinsip kelompok, aliran dan azas partai politik di Indonesia, kehadiran Pancasila saat ini bukan mudah dan sederhana, Â dan bisa menjadi pemancing pertikaian vertikal maupun horizontal-antar kelompok beda pandangan atau dengan pemerintah sendiri, apalagi dengan kelompok yang menentang.
Inilah yang terjadi, ketika akumulasinya masalah di "bumbui" dengan ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat yang diperlihatkan para elite.
Pancasila dengan nilai-nilainya, sejatinya tidak pernah berseberangan apalagi menentang agama. Â , Seperti ditegaskan M. Yamin dan Hatta, filosofi nilai-nilai Pancasila berasal dari kemurnian nilai-nilai agama. Masih ada yang membantah, soal Ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Mufakat, Keadilan?.
Justru yang paling mengkuatirkan kita adalah, para elite yang terlalu banyak bicara soal "idealisme", keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, Pancasila sebagai pandangan hidup, sebagai pilar bangsa, tapi kelakuan dan pribadinya berbanding 180 derajat dengan Pancasila dan nilai-nilainya. Mulai sekarang hingga 2024 nanti, perhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, siapa yang katanya Pancasilais tapi ternyata hipokrit sejati!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H