Sehingga para pakat sosiologi ada yang menyebut fenomena ini sebagai "penyakit sosial".
Mengapa flexing menjadi masalah layaknya penyakit?. Menurut psikoterapis, Lisa Brateman, perilaku pamer justru membuat pelaku flexing salah membaca (pikiran) orang lain.
Akibatnya, bukan simpati, justru membuat pihak lain menjadi antipati. Bahkan yang terburuk dapat menimbulkan kerusakan pada hubungan profesional sekaligus personal.
Semacam gap, kaya-miskin yang melebar, menjadi kesenjangan horizontal. Bukan tidak mungkin, kebencian itu berubah menjadi aksi anarkis, karena kecemburuan sosial yang "diciptakan" melalui fenomena konvoi yang tidak ber-empati dan salah waktu.
Fexing yang Baik dan Benar
Tapi apa iya, para pemilik mobil mewah yang konvoi di jalanan utama Jakarta itu tidak paham, bagaimana seharusnya menggunakan jalan raya dengan baik dan benar?.Â
Memangnya ada cara pamer yang baik dan benar?.  Peggy Klaus,  dalam buku "Brag!: How to Toot Your Own Horn Without Blowing It", menjelaskan, karena flexing juga  lahir dari medsos dan menjadi akut ketika menjadi kebiasaan, maka sekedar bersikap kritis, bijak dan pengertian saja cukup menjadi solusinya.Â
Tapi sayangnya, para pelaku konvoi, abai terhadap kepekaan  sosial. Patut di sayangkan karena fenomena ini menjadi preseden yang tidak perlu terjadi hanya karena sebuah euforia. Â
Kontrol publik yang menyoroti fenomena ini secara kritis, cukup menjadi "cambuk" yang menyadarkan empati mereka tentang kepedulian, tentang kondisi sosial yang sedang tidak  "normal".
Barangkali para pemilik mobil mewah harus menyadari, bahwa ada sejenis penyakit sosial yang tengah menghinggapi mereka, akibat gejala hedonis, kalau bukan flexing, pastilah conspicuous consumption itu penyakitnya.