Bicara tentang privilege gara-gara konvoi mobil mewah memang terlalu dipaksakan. Jelas-jelas perilaku itu, meski diatasnamakan privilege, tidak pada porsi yang  tepat. Konvoi itu adalah pertunjukkan status dan pamer kekuatan ekonomi.
Dari sudut pandang sosiologi, privilege itu hak istimewa sosial atau privilese sosial yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tapi tidak dimiliki oleh yang lainnya. Keberadaan hak ini karena hasil stratifikasi sosial, berkat adanya beda akses untuk memperoleh barang dan layanan yang sama.
Persoalannya adalah, stratifikasi sosial seperti apa?. Fenomena itu sensitif karena berurusan dengan perbedaan kelas sosial.Â
Akal sehat kita akan meragukan, ketika seseorang atau sekelompok orang bisa lolos dari jerat hukum, karena hanya bersikap sopan berlalu lintas dan kooperatif. Ada fakta lain yang tersembunyi yang tidak semua orang bisa tahu. Tapi jelas, perilaku ini preseden buruk bagi banyak kepentingan publik yang luas.
Misalnya, ketika kepolisian "abai" atau "segan" dengan pemilik kekuasaan di balik mobil-mobil mewah itu.Â
Atau ketika Electronic Traffic Law Enforcement milik Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, "dicuekin", padahal fungsinya sebagai implementasi teknologi yang konon digunakan untuk mencatat pelanggaran - pelanggaran dalam berlalu lintas secara elektronik untuk mendukung keamanan, ketertiban, keselamatan dan ketertiban dalam berlalu lintas.
Dan, bisa jadi karena soal jalan raya itu sendiri. Meskipun bayaran pajak mereka bisa lebih besar, tapi tidak bisa juga mengabaikan kepentingan publik pengguna jalan raya lainnya.Â
Apalagi jika ada yang menyangkut-pautkan dengan kondisi ekonomi, kondisi pandemi, kemiskinan, gap kaya miskin yang terasa jomplang selama pandemi. Rumit jadinya!.
Sebenarnya fenomena "pamer" seperti konvoi mobil mewah, itu sesuatu yang tidak asing, bahkan "penyakit pamer" itu awalnya dipicu dari media sosial. Unggahan pencapaian pribadi yang populer dengan istilah"flexing".
Mengapa medsos menjadi ruang menarik untuk flexing, karena medsos bisa membuat orang tampil tanpa identitas diri alias anonimitas, jadi bebas menilai orang lain tanpa urusan tanggung jawab.
Selanjutnya penyakit ini menjadi kronis dan akut hingga menjangkiti pola pikir dan perilaku seperti kejadian konvoi mobil mewah itu.
Kata flex atau flexing awalnya banyak digunakan dalam dunia musik rap dan hip hop. Para penyanyi rap dan hip hop sudah sejak lama menggunakan kata flex atau flexing dalam liriknya.
Namun, kata flexing makin populer setelah grup-duo Rae Sremmurd merilis lagu berjudul "No Flex Zone" pada tahun 2015. Lirik lagunya menggambarkan tentang makna flexing yang berarti pamer!.
Berikutnya, "penyakit" ini berkembang pengertiannya menjadi "memamerkan segala sesuatu yang berkaitan dengan uang", seperti tentang berapa banyak uang yang mereka miliki, barang-barang mewah, hingga pakaian-pakaian mahal buatan para desainer terkenal.
Bahkan secara ekonomi saja, penyakit pamer ini punya pemahaman sendiri, semacam kecenderungan pamer kekuatan status. Jadi flexing mirip dengan istilah conspicuous consumption atau menggunakan uang untuk membeli barang dan jasa-jasa yang mewah dengan tujuan menunjukkan status atau kekuatan ekonomi.
Meskipun  istilah itu seperti asing dalam pemahaman kita, Conspicuous consumption ini, bukan hal baru dan sudah dikenal lama sejak Thorstein Veblen, menulis buku "The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions"(1899). Semacam studi terhadap kelas "Borju" dalam strata masyarakat tertentu.
Nah, fenomena pamer mobil dengan konvoi itu, kurang lebih implementasi dari flexing dan conspicuous consumption itu. Salah satu tujuannya adalah menarik perhatian orang.Â
Meskipun flexing, bukan hanya pada materi-materi konkrit, tapi dapat juga terjadi mengenai status sosial, jumlah teman, pengalaman traveling, kecerdasan, dan kesuksesan seseorang, konvoi itu salah satunya.
Mungkin tak ada yang  protes dengan konvoi itu, jika momentumnya tepat. Bahkan jika pelaku konvoi meng-asumsikan sekedar memberi hiburan di tengah situasi sulit karena pandemi, pameran ini jelas mencederai rasa sosial, rasa empati dan kepekaan terhadap krisis.Â
Sehingga para pakat sosiologi ada yang menyebut fenomena ini sebagai "penyakit sosial".
Mengapa flexing menjadi masalah layaknya penyakit?. Menurut psikoterapis, Lisa Brateman, perilaku pamer justru membuat pelaku flexing salah membaca (pikiran) orang lain.
Akibatnya, bukan simpati, justru membuat pihak lain menjadi antipati. Bahkan yang terburuk dapat menimbulkan kerusakan pada hubungan profesional sekaligus personal.
Semacam gap, kaya-miskin yang melebar, menjadi kesenjangan horizontal. Bukan tidak mungkin, kebencian itu berubah menjadi aksi anarkis, karena kecemburuan sosial yang "diciptakan" melalui fenomena konvoi yang tidak ber-empati dan salah waktu.
Fexing yang Baik dan Benar
Tapi apa iya, para pemilik mobil mewah yang konvoi di jalanan utama Jakarta itu tidak paham, bagaimana seharusnya menggunakan jalan raya dengan baik dan benar?.Â
Memangnya ada cara pamer yang baik dan benar?.  Peggy Klaus,  dalam buku "Brag!: How to Toot Your Own Horn Without Blowing It", menjelaskan, karena flexing juga  lahir dari medsos dan menjadi akut ketika menjadi kebiasaan, maka sekedar bersikap kritis, bijak dan pengertian saja cukup menjadi solusinya.Â
Tapi sayangnya, para pelaku konvoi, abai terhadap kepekaan  sosial. Patut di sayangkan karena fenomena ini menjadi preseden yang tidak perlu terjadi hanya karena sebuah euforia. Â
Kontrol publik yang menyoroti fenomena ini secara kritis, cukup menjadi "cambuk" yang menyadarkan empati mereka tentang kepedulian, tentang kondisi sosial yang sedang tidak  "normal".
Barangkali para pemilik mobil mewah harus menyadari, bahwa ada sejenis penyakit sosial yang tengah menghinggapi mereka, akibat gejala hedonis, kalau bukan flexing, pastilah conspicuous consumption itu penyakitnya.
Penyakit itu menyebabkan gangguan pada hilangnya naluri sensitif pada sesama, merasa hak privilage bisa mengabaikan kepentingan orang lain, dan berkurangnya akal sehat tentang kesadaran sosial. Jadi lekaslah "mengobati" diri sendiri dengan ber-flexing atau ber-conspicuous consumption dengan baik dan benar!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H