Sisi paling menarik dari rencana kepindahan IKN dari Jakarta ke "tengah" Indonesia, di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, adalah perpindahan proporsi-keseimbangan fokus pembangunan kita ke wilayah Indonesia Timur. Ini adalah sebuah gagasan yang sangat menggembirakan dan ditunggu sejak lama.
Meskipun sebenarnya kita tak perlu menunggu harus pindah IKN, baru memberikan perhatian yang lebih intensif bagi pembangunan wilayah Indonesia Bagian timur.
Pemerintah Indonesia selama lebih dari 20 tahun telah mencoba mendorong pembangunan di wilayah Timur Indonesia dengan berbagai kebijakan. Kebijakan itu juga disertai transfer fiskal untuk berbagai program pengembangan wilayah. Namun sayangnya sejak tahun 2000 hingga kini kesenjangan ekonomi antara Wilayah Timur dan Barat Indonesia hampir tidak mengalami perbaikan yang signifikan.
Kebijakan Salfok;Kebijakan yang salah fokus, seperti diutarakan ekonom pemenang Nobel Paul Krugman, pendekatan pengembangan ekonomi wilayah yang hanya fokus pada sisi strategis, namun mengabaikan pasar potensial, juga menjadi penanda titik lemah. Karena pasar harus menjadi orientasi utama, sekalipun kita memiliki titik strategis pembangunan.
Ini juga menjadi salah satu faktor, mengapa selama ini wilayah Indonesia Timur selalu seperti di anak tirikan dalam pemerataan pembangunan, dalam banyak debat dan wacana yang muncul ke permukaan, faktor salfok harus menjadi perhatian yang intens.
Salah satunya kelemahan ketika mendorong pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dan pembentukan Kawasan Andalan sebagai kawasan budi daya strategis nasional.Â
Kini jumlahnya kurang lebih 13 Kawasan Ekonomi Khusus, di kota Palu, Sulawesi Tengah, kota Morotai, Maluku Utara, dan kota Sorong, Papua Barat, sebagai implementasi pengembangan otonomi daerah dan pemerintah. Â
Dukungan pemerintah berupa penyediaan infrastruktur, fasilitas, dan insentif serta kemudahan berinvestasi di kawasan-kawasan tersebut. Namun belum berimplikasi signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi kelas menengah bawah.
Faktor luasnya geografi menjadi alasan substansial lainnya, ketika kita bicara tentang pemerataan. Faktanya, pembangunan memang cenderung  Jakarta-sentris, karena memang pusat pemerintahan disana, sehingga jangkauan perspektif pembangunannya juga di "sekitaran" itu.
Tokoh-tokoh penting yang menjadi trensetter juga dominan dari wilayah tersebut. Sedikit yang dapat menjadi penyeimbang, salah satunya kehadiran seperti tokoh B.J. Habibie, Jusuf Kalla yang "mewakili" kehadiran Indonesia Timur secara nasional.Â
Sedangkan tokoh-tokoh sekaliber mereka lainnya, juga eksis di perpolitikan nasional, namun pemikirannya belum menjadi penyumbang tren secara nasional. Sehingga bargaining powernya juga masih terasa kurang dalam mempengaruhi kebijakan di tingkat nasional.