Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Merindu Cahaya de Amstel" (2022), Sebuah Cara Romantis Melawan Phobia

20 Januari 2022   20:04 Diperbarui: 23 Januari 2022   21:46 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia yang tidak lagi sama

Menurut Munira Ali, mahasiswi Afrika yang kuliah kedokteran di Eropa Tengah mengakui beberapa kesulitannya menjadi Muslim, di tengah gejolak konflik itu.

Menurutnya, hal itu memang terjadi di masa-masa sekarang, bahkan, mungkin akan lebih banyak juga di tahun mendatang. Masalah baru memang kerap bermunculan, dengan agama sebagai sebabnya.

Hans Kung dosen Ecumenical Theology di Universitas Tubingen, Jerman, yang juga menjabat Presiden Stiftung Weltethos,  jelas tidak sedang berkhayal atau berilusi ketika menyatakan, agama sebagai faktor mendasar-fundamental dalam berbagai kasus kekerasan lokal, regional, nasional, dan internasional.

Namun bersebalikan dengan pendapat Hans Kung, Karen Armstrong, justru berargumen, banyak kekerasan, dan tragedi kemanusiaan mengerikan dalam kisah sejarah umat manusia yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar agama.

Politik kekuasaan, rasisme, etnosentrisme, kolonialisme, sekularisme, ateisme, komunisme, dan kapitalisme adalah pemicu lainnya.

Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan, bahwa agama memang menjadi elemen signifikan dalam berbagai kasus kekerasan domestik, terorisme global, dan kerusuhan kolektif di berbagai belahan dunia dewasa ini.

Sinopsis, Membangun Jembatan Kesepahaman

Wacana di atas menjadi salah satu substansi film "Merindu Cahaya de Amstel", namun di kemas sesuai khalayak milenial yang sekian lama di kungkung pandemi dan membutuhkan tontonan yang kritis, namun menghibur. Kita mendapati tak hanya soal-soal krisis ekonomi, yang mengisi waktu-waktu belakangan ini, tapi juga konflik dan krisis politik soal keberagamaan.

Film ini dibangun dari rona puing-puing "konflik" kesalahpahaman itu. Alur ceritanya diadaptasi dari kisah nyata, mengenai perjalanan seorang gadis Belanda yang lancar berbahasa Indonesia dan menjadi mualaf. Kisah romansanya memang sulit dijalani, antara seorang mualaf bernama  Khadija Veenhoven, (Amanda Rawles), dan Nico (Bryan Domani) yang merupakan non muslim.

Kisah cinta ini kian rumit, karena teman Khadija yang bernama Kamala (Rachel Amanda), membuat percikan cinta segitiga di antara hubungan Khadija dan Nico.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun