Ini menjadi buku kedua karya Novelis Arumi Ekowati yang diadaptasi dari novel menjadi wujud tontonan layar lebar. Judul filmnya pun persis sama dengan judul novelnya; "Merindu Cahaya de Amstel".Â
Sebelumnya, film berjudul, "Aku Tahu Kapan Kamu Mati" yang bergenre misteri juga berasal dari karya Arumi, dan menjadi tontonan yang ditunggu penggemar sineas Indonesia.
Isu Sensitif Phobia Agama
Skenario asli dari adaptasi novel, mengisahkan perjalanan spiritual gadis Belanda yang memeluk agama Islam. Di tengah isu phobia agama yang menyeruak di Eropa, isu yang diangkat, sebenarnya cukup sensitif dan sempat menjadi polemik Timur-Barat yang intens.
Film bergenre religi romantis ini, selain menawarkan nilai-nilai kehidupan yang tinggi, juga diselingi balutan komedi satir, sehingga keseriusan isu kekerasan terhadap kelompok Muslim yang pernah marak, diredam menjadi tontonan yang asyik tapi bermuatan penting.
Film ini menjadi semacam "jembatan" pemahaman, tentang perbedaan yang semestinya justru menjadi keberagaman.
Di tahun 2020, mahasiswa Muslim yang tengah studi di Eropa mengalami masalah karena persoalan kesalahpahaman tentang Islam dan penganut yang melakukan aksi-aksi teror, dengan mengatasnamakan agama.
Pemicu lainya, diantaranya, gelombang migrasi pengungsi dari kawasan konflik yang bergejolak di Timur Tengah dan Balkan ke negara-negara di Eropa, sehingga memicu gejolak sosial-politik, utamanya gesekan soal terorisme.
Dunia yang tidak lagi sama
Menurut Munira Ali, mahasiswi Afrika yang kuliah kedokteran di Eropa Tengah mengakui beberapa kesulitannya menjadi Muslim, di tengah gejolak konflik itu.
Menurutnya, hal itu memang terjadi di masa-masa sekarang, bahkan, mungkin akan lebih banyak juga di tahun mendatang. Masalah baru memang kerap bermunculan, dengan agama sebagai sebabnya.
Hans Kung dosen Ecumenical Theology di Universitas Tubingen, Jerman, yang juga menjabat Presiden Stiftung Weltethos, Â jelas tidak sedang berkhayal atau berilusi ketika menyatakan, agama sebagai faktor mendasar-fundamental dalam berbagai kasus kekerasan lokal, regional, nasional, dan internasional.
Namun bersebalikan dengan pendapat Hans Kung, Karen Armstrong, justru berargumen, banyak kekerasan, dan tragedi kemanusiaan mengerikan dalam kisah sejarah umat manusia yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar agama.
Politik kekuasaan, rasisme, etnosentrisme, kolonialisme, sekularisme, ateisme, komunisme, dan kapitalisme adalah pemicu lainnya.
Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan, bahwa agama memang menjadi elemen signifikan dalam berbagai kasus kekerasan domestik, terorisme global, dan kerusuhan kolektif di berbagai belahan dunia dewasa ini.
Sinopsis, Membangun Jembatan Kesepahaman
Wacana di atas menjadi salah satu substansi film "Merindu Cahaya de Amstel", namun di kemas sesuai khalayak milenial yang sekian lama di kungkung pandemi dan membutuhkan tontonan yang kritis, namun menghibur. Kita mendapati tak hanya soal-soal krisis ekonomi, yang mengisi waktu-waktu belakangan ini, tapi juga konflik dan krisis politik soal keberagamaan.
Film ini dibangun dari rona puing-puing "konflik" kesalahpahaman itu. Alur ceritanya diadaptasi dari kisah nyata, mengenai perjalanan seorang gadis Belanda yang lancar berbahasa Indonesia dan menjadi mualaf. Kisah romansanya memang sulit dijalani, antara seorang mualaf bernama  Khadija Veenhoven, (Amanda Rawles), dan Nico (Bryan Domani) yang merupakan non muslim.
Kisah cinta ini kian rumit, karena teman Khadija yang bernama Kamala (Rachel Amanda), membuat percikan cinta segitiga di antara hubungan Khadija dan Nico.
Film ini juga mengisahkan sisi romansa cerita perjuangan Khadija sebelum menemukan agama Islam, yang penuh glamour dunia kekinian.
Serta hubungan Nico dan Khadijah yang memiliki hati yang sama, namun terhalang oleh kisah pahit masa lalu dan perbedaan keyakinan di antara keduanya.
Film Merindu Cahaya de Amstel merupakan film produksi Unlimited Production dan disutradarai oleh Hadrah Daeng Ratu, yang menjadi film dengan genre drama romansa-religi yang patut direkomendasi sebagai tontonan menarik.
Scene dan setting yang dilakukan di Belanda memberikan nuansa Eropa yang kental dan enak dipandang mata di tengah musim angin yang dingin.
Film ini menggandeng aktor dan aktris berbakat lain seperti Rachel Amanda, pemeran senior seperti Oki Setiana Dewi, Maudy Koesnaedi, hingga Dewi Irawan. Film ini juga dibintangi oleh pemeran asli Belanda bernama Floris Bosma.
Semua pemeran mengikut scene seperti aslinya dalam versi novel, tokoh dari karakter Khadija Veenhoven, Amanda Rawles harus mendalami perannya sebagai mualaf dan harus belajar sebagai Indo-Belanda, bule Belanda yang baru pertama kali mengenal bahasa Indonesia.
Tentu saja sisi positifnya, film ini diharapkan dapat menjadi "penjernih" kesalahpahaman soal agama. Sesuatu yang sensitif isunya, karena hingga saat ini, ketika terorisme selalu dikaitkan dengan religiusitas Islam yang dianggap sebagai musabab lahirnya para "teroris", yang mengatasnamakan agama dalam aksi-aksinya.
Padahal sejatinya, seperti diungkap Munira Ali, "mereka (masyarakat di Eropa) juga harus mengerti bahwa kami datang dengan damai. Islam memiliki lebih dari satu miliar orang yang mengamalkan agamanya dan berkembang setiap hari. Mereka adalah orang-orang baik yang berkomitmen untuk perdamaian dan kemakmuran dunia, dan kebahagiaan umat manusia."
Jadi tak usah kuatir, meski genrenya drama romansa-religi, tetap asyik untuk di tonton bersama keluarga di awal tahun. Hari ini tanggal 20 Januari 2022, menjadi hari  tayang perdana. Akhirnya kita bisa menikmati filmnya, setelah lama menunggu di tahun 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H