Bagaimana konten pornografi merusak kepribadian anak-anak. Dalam debat panjang kita tentang kasus ini, kita selalu menyalahkan mediumnya-internet. Kita memang selalu ketinggalan dari kecanggihan teknologi itu.Â
Kita menyiapkan solusinya seperti deret hitung (perlahan dan sistematis), namun teknologi internet bergerak seperti deret ukur, sangat cepat dan agresif. Tandanya adalah kehadiran disrupsi-perubahan yang sangat cepat dalam segala lini kehidupan.
Apa saja dilahap oleh teknologi itu, ekonomi dari tradisional menuju metaverse, pendidikan dari tatap muka (luring) menjadi daring, perbankan konvensional menjadi uang digital-krypto.
Perkembangan IT (internet) dan perangkat gadget  memungkinkan transfer dan transmisi materi pornografi secara cepat dan langsung dapat diakses anak-anak. Bahkan dalam banyak tampilan laman-laman media populer, para pengiklan memanfaatkannya secara masif.
Eksesnya kemudahan menjangkau situs pornografi melalui website pornografi tanpa berbayar, dengan tampilan yang menarik perhatian untuk dilihat, menimbulkan keingintahuan lebih lanjut. Selain itu dengan mudah disebarluaskan pada kelompok sebayanya.
Sisi lemah dari keberadaan situs pornografi adalah, para pengguna situs porno melalui internet atau handphone tidak akan dikenal, mereka dengan mudah dapat mengakses situs tersebut tanpa perlu diketahui orang lain.Â
Apalagi dengan medium gadget yang kini sudah menjadi barang sangat personal, lengkap dengan "kunci" yang memungkinkan akses terbatas hanya di miliki oleh pemilik gadgetnya.
Hasil Profil Pemetaan Pornografi Online di Indonesia yang dilakukan olehKementerian Pemberdayaan Perempuan dan PerlindunganAnak, tahun 2016 terdapat 209 website pornografi yang bisa diakses oleh siapa saja, termasuk anak dan remaja.Â
Kasus itu mengalami peningkatan selama masa pembelajaran daring, ketika akses anak-anak terhadap gadget meningkat, disertai sikap permisif orang tua dalam rangka belajar dan tidak ada kontrol yang ketat. Kini tingkat kecanduan terhadap gadget juga meningkat akibat "pembiasaan" yang tidak sengaja selama masa sekolah daring.
Ada Apa dengan syaraf PFC atau pre frontal cortex?
PFC merupakan bagian depan otak yang terletak di belakang dahi. Pre frontal korteks adalah suatu bagian otak yang spesial pada manusia, yang berfungsi untuk mengatur fungsi eksekutif, yaitu kemampuan merencanakan sesuatu, membuat keputusan, memecahkan masalah, mengontrol diri, mengingat instruksi, menimbang konsekuensi dan masih banyak lagi.
Hal paling mengkuatirkan dari kerusakan pre frontal korteks, karena ketika konten pornografi mendominasi fokus anak-anak dalam mengakses, maka dampak fatalnya adalah kerusakan akhlak anak di masa depan nanti.Â
Secara perlahan, seperti candu , PFC yang mengatur managemen kendali di dalam diri seseorang seperti terkait sopan santun, etika, pengaturan emosi, akan mengalami kerusakan yang semakin permanen.Â
Anak-anak dengan tingkat  kerusakan yang parah bertindak tidak lagi menggunakan logika ayng sehat. dalam banyak kasus yang terjadi, ketika stimulan mendorong mereka melakukan kejahatan, setiap ada kesempatan menjadi peluang mereka melakukan kejahatan, tanpa pandang bulu, bahkan trhadap keluarga sendiri. Seperti halnya kasus incest yang sering kita dengar.
Menurut Kastleman, (2007), bahwa kondisi otak anak belum berkembang, terutama dalam penalaran dan ketajaman berfikir (frontal lobes) dan respon emosi, kesenangan dan keberanian pada system limbic  (limbic system).Â
Sehingga ada kecenderungan anak dan remaja untuk bertindak tanpa berpikir "Act without thinkacting".
Inilah Mengapa dalam banyak kasus kekerasan yang menimpa anak-anak, mereka kemudian juga menjadi "predator" baru bagi anak-anak lain?. Tidak lain karena disebabkan faktor tersebut.Â
Awalnya mereka coba-coba terhadap kelompoknya yang sebaya, teman dekat, atau kelompok rentan yang lebih kecil dominasinya dibanding mereka, sampai akhirnya mereka terbiasa.Â
Perlakuan itu bisa menguat ketika mereka berada dalam kelompok yang besar. Pelecehan sederhana seperti menggoda orang di jalanan, adalah salah satu bentuk paling sederhana dari dampak kerusakan PFC.
Reaksi yang ditunjukkan anak terhadap stimulan tindak pornografi menjadi tidak logis, karena sebagian dari otaknya dalam kendali emosional dengan  mengorbankan logika.Â
Penelitian  kekerasan seksual anak menemukan bahwa anak-anak korban kekerasan seksual dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Anak dapat melakukan kekerasan seksual pada saudara sekandung, teman sekelas, dan teman sebayanya. Kejadian ini menjadi peristiwa berulang da saling berkaitan. Korban, kemudian beralih menjadi pelaku.
Penelitian para ahli neuroscience dan neuropsychology menyatakan, terdapat bukti klinis bahwa seks dan pornografi sebagai adiksi (DSM/ Diagnostic Statistical Manual of Mental Disroder). Jika anak mulai kecanduan hal-hal yang berbau porno, maka dengan mudah seorang anak melakukan pelecehan seksual, karena memang struktur otak mereka yang belum matang. Anak-anak di sekolah mempraktekkkan perilaku ini kepada anak-anak junior di bawahnya. Ini menjadi semacam uji coba, trial and error, stimulasinya akan meningkat seiring dengan "keberhasilan' eksperimen pornografinya itu.
Kastleman, (2007), juga menyatakan bahwa dibalik penggunaan pornografi melalui internet terdapat 4 (empat) A yaitu Aksesible, Affordable (terjangkau), Anonymous (anonym), Aggressive. Ketika empat unsur itu terpenuhi, peluangnya muncul, maka aksi terebut dapat dilakukan.
4 Tahapan Berbahaya
Menurut Armando(2004), tahapan anak-anak melakukan tindakan sebagai efek dari kecanduan tayangan pornografi hingga dapat berperilaku layaknya predator, meliputi 4 tahapan :Â
Pertama; Tahap Addiction (kecanduan);
Kebiasaan mengakses konten pornografi, sekalipun awalnya dipicu dari ketidaksengajaan, bisa menjadi stimulan yang membuatnya menjadi pecandu. Anak-anak dengan akses mudah dan personal atas gadgetnya, bisa mengalami tahapan ini.Â
Ketika ia mulai menyukai materi cabul (yang bersifat  pornografi),maka ia akan mengulanginya dan terus menerus mencari materi tersebut hingga terpuaskan.Â
Bahkan efek buruknya, seperti halnya candu, jika tidak mengkonsumsi konten pornografi maka ia akan mengalami "kegelisahan". Mereka akan menggunakan kesempatan dan medium yang dimiliki untuk mengakses konten yang dapat memuaskan keinginannnya.
Kedua, Â Tahap Escalation (eskalasi);Â
Efek berikutnya paska kecanduan yang semakin akut dalam mengkonsumsi media porno, anak-anak akan mengalami efek eskalasi. Akibatnya kebutuhan seseorang mengenai materi seksual yang dikonsumsi akan meningkat dan lebih eksplisit atau lebih liar serta menyimpang dari yang sebelumnya sudah biasa ia konsumsi.Â
Ia akan membayangkan sebuah eksperimen, dengan mencari tahu lebh banyak informasi. bahkan adegan dalam film dapat menjadi pemicu idenya tentang bagaimana menjalankan inisiatifnya untuk brtindak ekstrim.Â
Ini sebabnya dalam banyak wacana, penayangan konten dewasa membutuhkan pengawasan dan aturan yang khusus. Namun di era kekinian, hal ini menjadi sesuatu yang sulit dideteksi dan dikontrol.
Ketiga, Tahap Desensitization (Desensitisasi);Â
Ketika anak-anak terbiasa melihat kekerasan, daya sensitifnya terhadap perilaku kekerasan atau tindak kekerasan yang dilakukannya menjadi lebih permisif dan lunak. Ia kehilangan empati, ketika melakukan kekerasan. Dalam hal kecanduan pornografi hal yang sama juga terjadi.Â
Pada tahap ini, materi yang tabu, imoral, mengejutkan, pelan-pelan akan menjadi sesuatu yang biasa. Pengkonsumsi pornografi bahkan menjadi cenderung tidak sensitif terhadap kekerasan seksual. Ia akan bereaksi bisa saja, ketika melihat kasus kekerasan seksual, karena kecenderungan dalam kepribadiannya, ia merasakan sensasi yang sama.
Kempat, Tahap Act-out, yang berbahaya;
Tahapan ini ibarat sebuah kegiatan, adalah tahapan implementasi, dalam sebuah perencanaan. Pada tahap ini seorang pecandu pornografi akan meniru atau menerapkan perilaku seksual yang selama ini ditontonnya di media.Â
Ia melakukan kejahatan dengan didahului latihan-latihan sederhana, seperti pelecehan seksual ringan, dengan mengganggu teman, hingga pada bentuk ancaman dan perlakuan tindak kekerasan sekseual yang ranah hukumnya sudah masuk dalam kategori pidana.Â
Dalam kasus yang terekspose media, anak-anak pelaku kejahatan seksual ini, secara umum karena terpicu konten pornografi dan kemudian tidak dapat mengendalikan diri ektika melihat korban dan adanya peluang. Bahkan ketika ia sudah mengikuti program rehabilitasi atau menjalani hukuman, ia justru sering menjadi residivis dalam aksi yang sama.
Apa kata hukum soal ini?
Undang-Undang No. 44 tahun 2008 pasal 15 mengamanatkan setiap orang berkewajiban melindungi anak  dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi. Selanjutnya, pasal 17 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukanpencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi. Sehingga perlu adanya upaya baik preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif.
Meskipun demikian, definisi pornografi sebenarnya sangat subyektif sifatnya. Anak-anak juga memiliki pemahaman tersendiri, mana yang dianggap pornografi ringan atau berat, akrena mereka belum memiliki pandangan dan penilaian secara khusus, baginya hal itu bisa jadi sma saja.
Kita sering melihat perdebatan sebuah karya seni antara seni dan pornografi yang vulgar. Dalam aturan-aturan agama bahkan lebih rigid lagi dalam menilai dan memahami, mana yang termasuk konten pornografi dan tidak.Â
Karena substansi nilai-nilai, bahkan tindakan atau sesuatu yang mengarah ke arah pornografi saja menjadi sebuah tabu atau larangn. Termasuk pendidikan seks yang masih dianggap sebagai sesuatu yang sakral di negeri kita.
Mungkin yang termasuk pornografi kategori ringan umumnya merujuk kepada bahan-bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif bersifat seksual, atau menirukan adegan seks, yang banyak kita temukan secara masif di banyak konten iklan di media digital.
Sedangkan pornografi berat mengandung gambar-gambar alat kelamin dalam keadaan terangsang dan kegiatan seksual termasuk penetrasi.
Termasuk video kasus-kasus viral tentang tindakan seksual yang sering muncul dalam sebaran berita viral tentang temuan kasus, misalnya kejahatan pacar menyebarkan video porno mantan karena konflik yang sering menjadi menu media.
Masifnya pornografi di media, serta mudah aksesnya, berkebalikan dengan peran orang tua yang semakin kendor saat ini, termasuk kontribusi agama sebagai peredam yang semakin tidak populer di kalangan anak-anak muda saat ini.Â
Meskipun ini menjadi tanggungjawab komunla, rumah, keluarga, dan sekolah teap menjadi medium prioritas yang bisa menjembatani kesenjangan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H