Puteri saya yang bungsu, paling anti pelajaran eksakta. Ia suka pelajaran bahasa Inggris, Sejarah, Sosial. Untuk matematika, kita harus berjuang dulu baru ia bisa diajak belajar.Â
Tapi jika kita belajar sambil bermain dengan tulisan dan visual, dengan cepat ia dapat memahami dan menangkap substansi pelajarannya, termasuk matematika. Ia tak pernah mau belajar eksak dengan serius, selalu dengan pola sambil bermain.
Ketiganya sampai dengan hari ini tidak pernah mengecewakan dengan urusan rangking. Lagipula kami berpendapat, nilai bukan ukuran mutlak mengukur kemampuan.Â
Selama anak-anak bisa memahami matematika dasar bagaimana polanya, berarti ia memahami dengan baik, sekalipun nilainya sedang-sedang saja, begitu juga dengan pelajaran lainnya.Â
Intinya mereka paham apa yang mereka pelajari. Bukan berarti nilai seratus matematika pasti IQ-nya luar biasa. Ada faktor lain yang mungkin mendukungnya.
Lain lagi dengan keponakan yang tak pernah bisa diam, setiap kali membuka channel YouTube, ia tak cuma bisa berlenggok, bahkan teksnya dikuasai seperti pemilik bahasa ibunya. Kini di Jerman, mengikut orang tua kuliah, ia tak kesulitan berkomunikasi, dan dengan cepat belajar bahasa berbeda.
Anak-Anak Juga Guru Kita
Dari sana ada pembelajaran penting, bahwa ternyata setiap anak memang memiliki keistimewaan dan perbedaan. Sehingga orang tua yang memaksa anak-anaknya belajar dengan pola yang sama, justru sering menjadi tekanan bagi mental anak.Â
Anak-anak merasa, orang tua mereka tidak memahami bagaimana mereka yang sebenarnya.
Ketika menelusuri website di banyak laman, saya menemukan jawaban teka-teki semua rahasia itu. Tentang anak-anak auditori, visual, Ttaktil, dan kinestetik.Â
Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri, untuk bisa memahami dunia menurut caranya sendiri.Â
Menuruti kepintarannya, menuruti caranya, dan menjadikan dirinya cerdas dengan cara yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya.Â