Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jangan Asal Hukum, Anak Punya Rahasia yang Tidak Kita Sadari

13 Januari 2022   00:01 Diperbarui: 13 Januari 2022   20:11 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi murid yang mendapatkan hukuman | Sumber: Pexels/RODNAE Productions

Apa pengalaman belajar kamu yang paling menarik ketika masa kanak-kanak?

Maksud saya, kita bukan bicara tentang hal-hal baik saja, ada kalanya kita merasa, dulu kita merasa dipaksa harus berlaku sebagai orang dewasa, padahal kita anak-anak. 

Dulu sebagian kita, belajar ditemani sebilah kayu, rotan kecil yang akan digunakan sebagai alat hukuman. Ini bukan rahasia. Barangkali kalau sekarang, kita akan langsung berhadapan dengan Komnas Perlindungan Anak, kalau urusan belajar membawa-bawa alat hukuman.

Anak-anak adalah manifesto dari orang tua, pemikiran mereka kadangkala berada jauh dari kebijakan kita, namun ketulusan adalah sebuah buah murni yang ada di hati mereka yang sering tak terlihat dan kita abaikan. 

Mereka meng-copy paste perilaku kita, mempelajari bagaimana kita marah, bagaimana kita berbohong, bagaimana kita memecahkan masalah. Entah dengan kelembutan, emosi, kekerasan fisik, apapun itu akan direkam anak-anak.

Termasuk ketika kita mengajarkan anak-anak tentang kewajiban belajar. Ada kalanya orang tua merasa tak sabaran jika melihat anak-anak hanya menggambar, atau sekedar rebahan membaca buku cerita, mendengarkan musik dan sama sekali tidak belajar.

Sebagian kita mengasumsikan belajar seperti yang kita pelajari dahulu, yaitu duduk di meja, entah meja belajar, meja makan, meja tamu, tersedia buku pelajaran, kalau perlu TV dimatikan biar anak-anak fokus pada materi pelajaran. Itu namanya belajar. 

Di sekolah, guru juga memperlakukan rumusan yang sama. Anak-anak yang terlihat gelisah, melamun, tidak mencatat, seperti tidak fokus seperti tidak mendengarkan apa yang yang dijelaskan guru di ruang kelas, langsung dianggap anak bermasalah dengan urusan belajar.

Sehingga, di luar kapasitas guru dalam memahami ilmu pedagogik, spesialisasi mata pelajaran, ada karakter guru yang gampang emosi dan tersulut kemarahan karena hal-hal kecil di kelas dan disekolah. Sehingga bukan sekali saja kita mendengar guru melakukan kekerasan di kelas, dengan melempar anak dengan kapur, penghapus, memukul anak dengan mistar (meskipun di telapak tangan).

Menghukum anak berdiri di depan kelas dengan menjewer telinga, mengangkat sebelah kaki, atau perintah menghadap dinding selama proses pembelajaran karena murid tidak bisa mengerjakan tugas, tidak mengerjakan tugas atau dianggap tidak mau belajar.

Jadi perkelahian murid dan guru, guru mengancam murid, hingga kekerasan fisik adalah pemandangan yang tidak asing di dunia pendidikan kita. 

Kasus-kasus yang muncul, salah satunya karena minimnya pemahaman guru tentang psikologi anak, termasuk soal cara belajarnya saja misalnya. Setiap anak punya rahasia tersendiri. Artinya beda anak, bisa beda cara penanganannya. 

Rahasia 4 Orang Anak

Awalnya kami menyediakan ruang belajar di perpustakaan keluarga, dilengkapi lampu yang cukup, meja belajar, sofa, sehingga anak-anak bisa memilih apakah mau belajar di meja belajar, lesehan atau belajar santai di sofa. 

Seperti orang tua lain, kami juga memakai rumusan yang sama. Belajar ya di meja belajar atau di ruang belajar. Anak-anak yang santai akan ditegur karena dianggap lalai.

Ternyata anak pertama saya punya sebuah rahasia. Ia selalu rangking terbaik di kelas, jika bukan pertama, ya paling kedua. Sehingga ia pernah bercanda, "Bosan rangking satu terus, kepingin rangking lima ah, kasihan teman-teman, jadi bair gantian." 

Ternyata ia hanya bisa belajar dalam suasana sepi.  Jadi di waktu belajar malam, ia memilih membaca santai lalu tidur agak cepat. Di pagi hari ia akan bangun lebih cepat. 

Suatu pagi saya mendapati lampu kamarnya masih terang, jadi saya masuk ke dalam, ternyata ia sedang belajar. 

Namun saya kuatir dan sering menegurnya dan memintanya segera tidur lagi, namun ia tetap melakukan rutinitasnya sedemikian rupa, sehingga terkadang memancing debat kecil. Padahal paginya toh, ia tak pernah terlambat bangun. 

Putera kedua, hampir tak pernah belajar, setiap kali kepergok pasti sedang menggambar doddle, sehingga koleksi gambarnya sudah bisa dibukukan. Tapi setiap kali ditanya, ia hanya menjawab bahwa sudah belajar di sekolah, jadi tak perlu mengulang lagi di rumah. 

Karena penasaran, saya coba buka halaman tanya jawab dan dalam hitungan menit, soal-soal berbentuk choice dijawab hampir sekenanya, tapi semua jawaban benar. 

Saya tanyakan kapan belajarnya, ia menjawab santai, mengenai gunanya kita masuk sekolah setiap hari itu untuk belajar. Ketika guru menerangkan, ketika itulah ia fokus mendengarkan dan mencatat.

Puteri saya yang bungsu, paling anti pelajaran eksakta. Ia suka pelajaran bahasa Inggris, Sejarah, Sosial. Untuk matematika, kita harus berjuang dulu baru ia bisa diajak belajar. 

Tapi jika kita belajar sambil bermain dengan tulisan dan visual, dengan cepat ia dapat memahami dan menangkap substansi pelajarannya, termasuk matematika. Ia tak pernah mau belajar eksak dengan serius, selalu dengan pola sambil bermain.

Ketiganya sampai dengan hari ini tidak pernah mengecewakan dengan urusan rangking. Lagipula kami berpendapat, nilai bukan ukuran mutlak mengukur kemampuan. 

Selama anak-anak bisa memahami matematika dasar bagaimana polanya, berarti ia memahami dengan baik, sekalipun nilainya sedang-sedang saja, begitu juga dengan pelajaran lainnya. 

Intinya mereka paham apa yang mereka pelajari. Bukan berarti nilai seratus matematika pasti IQ-nya luar biasa. Ada faktor lain yang mungkin mendukungnya.

Lain lagi dengan keponakan yang tak pernah bisa diam, setiap kali membuka channel YouTube, ia tak cuma bisa berlenggok, bahkan teksnya dikuasai seperti pemilik bahasa ibunya. Kini di Jerman, mengikut orang tua kuliah, ia tak kesulitan berkomunikasi, dan dengan cepat belajar bahasa berbeda.

Anak-Anak Juga Guru Kita

Dari sana ada pembelajaran penting, bahwa ternyata setiap anak memang memiliki keistimewaan dan perbedaan. Sehingga orang tua yang memaksa anak-anaknya belajar dengan pola yang sama, justru sering menjadi tekanan bagi mental anak. 

Anak-anak merasa, orang tua mereka tidak memahami bagaimana mereka yang sebenarnya.

Ketika menelusuri website di banyak laman, saya menemukan jawaban teka-teki semua rahasia itu. Tentang anak-anak auditori, visual, Ttaktil, dan kinestetik. 

Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri, untuk bisa memahami dunia menurut caranya sendiri. 

Menuruti kepintarannya, menuruti caranya, dan menjadikan dirinya cerdas dengan cara yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. 

Kita seringkali tak menyadari itu, karena kita orang dewasa yang biasa berpikir dengan cara kita sebagai orang dewasa, atau bertindak berdasar pengalaman kita bersama orang tua dahulu. 

Kita lupa, waktu berjalan, ada pembelajaran dan ilmu yang diselipkan Tuhan untuk kita pada anak-anak kita.

Anak auditori umumnya cepat belajar dan memahami hanya dengan mendengarkan, sehingga anak-anak seperti ini cenderung sebagai penghafal yang baik. Mereka mudah merekam apa yang mereka dengarkan, dan mampu mengekplorasi apa yang didengar dengan caranya sendiri.

Anak visual, memaksimalkan daya belajarnya dengan cukup memperhatikan gambar, karena ia berkemampuan spesial dalam melihat. Belajar sambil bermain menjadi salah satu favoritnya. Penguasan materi bisa terpenuhi dengan melihat materi secara detail.

Anak taktil mempelajari segala sesuatu dengan menyentuh. Ia harus merasakan dan menyentuh sesuatu ntuk memahami cara kerja objek yang sedang dipejarinya. 

Ada kalanya anak-anak model ini berkecenderungan membongkar mainan karena penasaran apa yang ada di balik mainan yang ada, sehingga sering dianggap perusak.

Anak kinestetik, belajar dengan melibatkan fisik maupun gerakan tubuh. Mereka cenderung tidak bisa diam, menggunakan tubuhnya untuk mepelajari tempat baru atau konsep baru. Drama, musikalisasi menjadi aktifitas favoritnya.

Bahwa anak-anak ternyata memiliki karunia tersendiri untuk belajar dan mengajarkan kita tentang hidup. Mereka memiliki cara sendiri, sehingga kita harus memahami hal itu, tak cuma mau dipahami, agar bisa menjadi orang tua, guru sekaligus teman buat mereka dalam prosesnya menjadi pribadi dewasa seperti kita.

Mereka adalah guru kita tempat belajar tentang kesabaran, kejujuran, kebaikan, kemurnian hati, sebuah karunia yang sering kita abaikan. Dari mereka kita juga belajar tentang kehidupan.

Referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun