Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Para Seniman Pamit, Lalu Dilupakan, Siapa yang Salah?

11 Januari 2022   22:04 Diperbarui: 27 Maret 2022   01:15 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tabloidbintang.com

1562221368-bercerita-dengan-wayang-61ed765c870000103221a1e2.jpg
1562221368-bercerita-dengan-wayang-61ed765c870000103221a1e2.jpg
indonesia.go.id

2018-02-05-40003-1517795669-large-61e063614b660d224778ed22.jpg
2018-02-05-40003-1517795669-large-61e063614b660d224778ed22.jpg
thejakartapos.com

Hampir setiap propinsi punya daya tarik kebudayaan sendiri. Di setiap event tertentu, budaya itu akan dihadirkan. Bukan cuma soal eksistensi seni, tapi juga keberlanjutan dan regenerasi. Bayangkan jika generasi milenial tak mengenal Tari Pendet dari Bali, lantas di klaim negeri tetangga dan kita menerima begitu saja atas dasar ketidaktahuan. 

kokikata.com

Meskipun kita mungkin punya hari seni untuk mengekspos kesenian, tapi itu cuma seremoni, lantas lanjutannya seperti apa. Semestinya banyak momentum menjadi alasan kita untuk instrospeksi dan berbenah. Ada banyak event, namun esensi dari pertunjukkan itu sering tidak sampai pesannya untuk menguatkan kesadaran akan budaya sendiri.
 
Dalam pagelaran besar budaya, kita selalu terpaku pada pakem “keramaian”, lalu budaya dan kebudayaan itu sendiri justru menjadi pelengkap penderita pengisi keramaian. Tidak menjadi menu sentral dari pagelaran budaya itu sendiri.

Dalam konteks gelaran budaya, kita mendapati realitas yang sama. Lagi-lagi budaya menjadi gincu dari keramaian pasar, tapi bukan pasar budaya. Sesungguhnya ini adalah realitas paling miris, dalam upaya mengangkat tradisi dan keaslian budaya kita.

Dalam kehadirannya, budaya populer seperti Saman dari Aceh, Pendet dari Bali-pun mengalami penurunan nilai tradisinya. Entah dari sisi pakaian, maupun ritual tata cara menari yang telah berubah. 

p-sb-1274781318-61e061af80a65a4ea65cf613.jpg
p-sb-1274781318-61e061af80a65a4ea65cf613.jpg
oxalis.wordpres.com

Tidak saja karena tarian itu telah menjadi “budaya massa”, namun juga niat keberangkatan para penari dan para seniman tidak sepenuhnya lahir dari ideologi dan tradisi asli yang sakral. Bisa sekedar narsisme, termasuk popularitas mondial yang menggoda.

Nasib Para Pekerja Seni Veteran

Dalam gempita berkesenian saat ini, kita mestinya harus mampu menjawab pertanyaan besar tentang ‘nasib’ para seniman kita. Apakah kita masih ‘memiliki’ para tetua seni yang masih berjaya saat ini?, Jika iya, apa pekerjaan utama mereka?. Bagaimana kita menjaga tradisi agar tak jatuh ke tangan lain. Bagaimana ia menghidupi dirinya dalam masa tuanya?.

Apakah hanya sekedar mentas dari panggung ke panggung demi mencari sesuap nasi? Atau mereka hadir sebagai orang penting pekerja seni yang mengamati, mendengarkan dan meluruskan gerak yang salah, sehingga seni tetap bergerak pada ritme yang sama semenjak mula dilakukan. 

nusantaranews.com
nusantaranews.com

Apa ekspektasi yang dapat kita raup dari peran para tetua seniman kita selama mereka masih bisa berkontribusi melambungkan dunia seni kita yang makin diminati antar bangsa?.

Banyak dari mereka dengan kesenimannya, dengan kecintaannya pada tradisi menjadi  orang yang ditinggalkan. Sesungguhnya kita semua telah melakukan kesalahan besar, jika mengganggap mereka para sepuh seni kita hanya menjadi bagian dari pentas kegembiraan dan bahan pertunjukkan. Menjadi “orang biasa” dengan talenta dan “muatan” tradisi aslinya yang terpenjarakan.

Sangat absurd, karena kita yang mengakui mencintai  Aceh menyia-nyiakan kesempatan besar ini. Ini menjadi musabab kita  kehilangan tidak saja para tokoh sejarah namun juga kehilangan karya masterpiece mereka. 

Itu pula mengapa dalam kekinian seni kita, hampir tak menemukan kembali seperti kisah trobador besar sekaliber Adnan PM Toh yang karya uniknya menjadi pelengkap puzzle besar karya seni Aceh dan Indonesia.

Kisah Biola Aceh Sebuah Potongan Puzzle

mop2-tampil-di-tv-61dd9b871b796c15fc218cf2.jpg
mop2-tampil-di-tv-61dd9b871b796c15fc218cf2.jpg

kokikata.com

Pertunjukkan seni tradisional Mop-Mop, yang lebih dikenal sebagai Biola Aceh, dimainkan kelompok Merak Jumpa Aceh dari Krueng Mane Aceh Utara. Pertunjukkan seni unik, khas, langka ini dianggap berada diambang kepunahan. Pemain sandiwaranya pun mereka yang sejak tahun 70-80-an menjadi pemain utamanya.

Sebut saja Syeh Maneh, Syeh Kade, Syeh Gani, Syeh Mae, Syeh Ismail, Syeh Budin, Syeh Ishak Bungkah, Syeh Ma’nu, Ampon Sueman, Syeh Abu Bakar Pinto makmur, Syah Adam Pinto Makmur, Syeh Lah pante Raja, Abi Bantu, Syeh Thaleb, Abu Ali Basyah Kembang Tanjong. 

Namun disayangkan di saat gempita pelestarian seni tradisi kuat terdengar serta dana berlimpah, kesenian rakyat seperti mop-mop justru ditinggalkan dan diabaikan. Mungkin dalam hitungan tahun kedepan tradisi dan peran mereka hanya akan tinggal nama dan kisahnya tercerabut dari ingatan kita. Dengan realitas begitu, apakah kita benar telah peduli tradisi?.

Padahal kekuatan seni tutur kita, dapat menjadi media penyampai pesan, tentang perdamaian, pembangunan, seperti yang telah dihidupkan kembali dalam versi terbarunya, Tivi Eng-Ong dari Episentrum Ulhee kareng. 

Pertunjukkan tivi dari kotak sederhana yang pemainnya tidak saja dapat keluar masuk dari kotak, namun juga dapat berinteraksi dengan penonton. Muatanya juga bisa hal sederhana dari urusan keluarga hingga politik tingkat tinggi seperti halnya ketika konflik mendera kita.

Dalam Pagelaran Seni Budaya seperti Pekan Kebudayaan, maupun Gelar Seni Budaya, terasa benar bahwa budaya hanya bagian dari formalitas pertunjukan dan pentas, cuma gincu keramaian. Betul bahwa kita haus akan hiburan, namun tidak juga kita meninggalkan hakikat dari intisari budaya dalam apapun bentuknya, tari, sandiwara, teater dan beragam aktifitas para perupa seni lainnya.

steemet.com
steemet.com

Sang Trobador Adnan PM Toh, misalnya yang membahana dengan seni tuturnya, beruntung masih meninggalkan jejak pada Muda Balia. Bagaimana dengan seniman lainya?, Seorang seniman di tanah tinggi Dataran Gayo, pernah menciptakan alat musik petik tradisional yang diinspirasi oleh indahnya Lut Tawar, setelah penayangan di sebuah stasiun TV swasta setahun lalu, jejaknya hilang.

Justru para pihak di komunitas pertelevisian yang berkepentingan dengan urusan rating siaran tivi yang menjadi penemu pertama, bukan kita. Begitupun dengan kisah pelantun Didong kecil dari Gayo, yang ditemukan Garin Nugroho dan menjadi tokoh sentral dalam satu episode serampai dokumenter filmnya tentang budaya. Jika Garin juga menemukan para veteran Biola Aceh, tentu ini akan menjadi sebuah catatan sejarah seni, tak punah begitu saja dimakan waktu.

Lagi-lagi mereka menjadi pekerja seni yang terabaikan. Terutama dalam omong kosong kita tentang kecintaan atas seni dan tradisi dan berlimpahnya dana bagi pengembangan seni budaya kita. Kiranya banyak sisi budaya kita yang tak tersentuh oleh kepedulian kita.

Sehingga terlantar dan pekerja seninya terlunta-lunta ketika seni tradisionalnya terlupakan dan terkalahkan oleh budaya baru yang gempita dengan panggung glamournya.

Kisah Biola Aceh, sesungguhnya mewakili keprihatinan kita dan melecut kita untuk punya malu dan peduli.  Karena pertunjukannya ternyata tidak kita temukan dalam Pekan Kebudayaan kita, terlupakan oleh para penyelenggara hajatan budaya atau terlibas nafsu keramaian daripada pertunjukkan seni budaya.  

Barangkali benar, bahwa miskomunikasi, bahkan friksi yang terjadi antara para seniman dan para penyelenggaran pesta budaya memang serius adanya. Hal ini harusnya dipahami tidak semata karena seniman butuh tempat manggung, namun ada eksistensi yang terbawa dalam pertunjukkan yang dimainkannya. 

Mereka lebih memahami, seni mana yang harus dihidupkan kembali, diperkenalkan kembali dan mana yang justru menjadi selingan.

Banyak “mutiara”budaya kita yang diam-diam tenggelam, maka parapihak yang katanya mencintai tradisi, haruslah memulai prakarsa menggali kembali budaya kita yang punah. 

Para “pembesar” kita mestinya menjadi penyemangat dan memulai gagasan mencari dan menggali para pekerja seni tua dan memberikan ruang gerak yang besar. 

Sehingga Taman Budaya di setiap daerah, tidak lagi hanya menjadi tempat gedung pertunjukkan, namun juga menjadi basis kekuatan kita menjaga kelestarian budaya, menjadi “Taman Pelestari Budaya”.  Agar budaya kita seperti tak bertuan dan mudah diklaim negara lain karena ketidakberdayaan kita menjaganya. Bahkan mengurus para penjaga seni saja kita alpa.

Kita harus menggempitakan transisi ilmu dari generasi tua kepada seniman belia sebelum kita benar-benar kehilangan pijakan seni tradisi kita. Dengan catatan dimanajemeni dengan serius!.

referensi; 1,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun