Dalam gempita berkesenian saat ini, kita mestinya harus mampu menjawab pertanyaan besar tentang ‘nasib’ para seniman kita. Apakah kita masih ‘memiliki’ para tetua seni yang masih berjaya saat ini?, Jika iya, apa pekerjaan utama mereka?. Bagaimana kita menjaga tradisi agar tak jatuh ke tangan lain. Bagaimana ia menghidupi dirinya dalam masa tuanya?.
Apakah hanya sekedar mentas dari panggung ke panggung demi mencari sesuap nasi? Atau mereka hadir sebagai orang penting pekerja seni yang mengamati, mendengarkan dan meluruskan gerak yang salah, sehingga seni tetap bergerak pada ritme yang sama semenjak mula dilakukan.
Apa ekspektasi yang dapat kita raup dari peran para tetua seniman kita selama mereka masih bisa berkontribusi melambungkan dunia seni kita yang makin diminati antar bangsa?.
Banyak dari mereka dengan kesenimannya, dengan kecintaannya pada tradisi menjadi orang yang ditinggalkan. Sesungguhnya kita semua telah melakukan kesalahan besar, jika mengganggap mereka para sepuh seni kita hanya menjadi bagian dari pentas kegembiraan dan bahan pertunjukkan. Menjadi “orang biasa” dengan talenta dan “muatan” tradisi aslinya yang terpenjarakan.
Sangat absurd, karena kita yang mengakui mencintai Aceh menyia-nyiakan kesempatan besar ini. Ini menjadi musabab kita kehilangan tidak saja para tokoh sejarah namun juga kehilangan karya masterpiece mereka.
Itu pula mengapa dalam kekinian seni kita, hampir tak menemukan kembali seperti kisah trobador besar sekaliber Adnan PM Toh yang karya uniknya menjadi pelengkap puzzle besar karya seni Aceh dan Indonesia.
Kisah Biola Aceh Sebuah Potongan Puzzle