tabloidbintang.com
Hampir setiap propinsi punya daya tarik kebudayaan sendiri. Di setiap event tertentu, budaya itu akan dihadirkan. Bukan cuma soal eksistensi seni, tapi juga keberlanjutan dan regenerasi. Bayangkan jika generasi milenial tak mengenal Tari Pendet dari Bali, lantas di klaim negeri tetangga dan kita menerima begitu saja atas dasar ketidaktahuan.
kokikata.com
Meskipun kita mungkin punya hari seni untuk mengekspos kesenian, tapi itu cuma seremoni, lantas lanjutannya seperti apa. Semestinya banyak momentum menjadi alasan kita untuk instrospeksi dan berbenah. Ada banyak event, namun esensi dari pertunjukkan itu sering tidak sampai pesannya untuk menguatkan kesadaran akan budaya sendiri.
Dalam pagelaran besar budaya, kita selalu terpaku pada pakem “keramaian”, lalu budaya dan kebudayaan itu sendiri justru menjadi pelengkap penderita pengisi keramaian. Tidak menjadi menu sentral dari pagelaran budaya itu sendiri.
Dalam konteks gelaran budaya, kita mendapati realitas yang sama. Lagi-lagi budaya menjadi gincu dari keramaian pasar, tapi bukan pasar budaya. Sesungguhnya ini adalah realitas paling miris, dalam upaya mengangkat tradisi dan keaslian budaya kita.
Dalam kehadirannya, budaya populer seperti Saman dari Aceh, Pendet dari Bali-pun mengalami penurunan nilai tradisinya. Entah dari sisi pakaian, maupun ritual tata cara menari yang telah berubah.
Tidak saja karena tarian itu telah menjadi “budaya massa”, namun juga niat keberangkatan para penari dan para seniman tidak sepenuhnya lahir dari ideologi dan tradisi asli yang sakral. Bisa sekedar narsisme, termasuk popularitas mondial yang menggoda.
Nasib Para Pekerja Seni Veteran
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!