Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sebagai "Raja Baterai Listrik", Zero Emisi Indonesia, Kenapa 2070?

8 Januari 2022   22:26 Diperbarui: 11 Januari 2022   23:06 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

autonetmagz.com

CNBC Indonesia.com
CNBC Indonesia.com

Dua momentum besar abad 21, infeksi SAR-CoV-2 dan Perjanjian Paris-Paris Agrement (2015), menambah daftar panjang pekerjaan rumah kita dalam mandat menjaga bumi. Satu setengah tahun sejak Indonesia mengonfirmasi infeksi SAR-CoV-2 pertama pada 2 maret 2020, serangan virus ini telah menjangkau episentrum yang luas. Bahkan sejak ditemukan pada tahun 1960-an (HcoV-229E) telah bermutasi ke level enam (2019-nCoV-SAR-CoV-2, novel coronavirus).

Kesehatan masyarakat  mengalami krisis dramatis, pendidikan mengalami kemungkinan loss learning, berkah demografi mengalami kejutan mendadak. Bank Dunia mencatat, sejak 1871 sampai 2020, sudah ada 14 resesi ekonomi global yang terjadi. 

Resesi terberat pada tahun 1931 mengguncang 83,8 persen negara di dunia, namun resesi global tahun 2020 memecahkan rekor menghantam 92,9 persen negara. Dan diam-diam, dalam blunder pandemi, politik juga berkontribusi mengatasi sekaligus memanfaatkan momentumnya, menambah panjang resesi.

Masa depan anak Indonesia terancam akibat pandemi COVID-19 yang berkepanjangan. Pendidikan mengalami stagnasi yang kritis, bahkan dalam jangka panjang learning loss sedang mengancam kita. Bisa jadi kita akan kerja keras, seperti Jepang paska kehancuran Hiroshima dan Nagasaki di PD II. 

Terdapat 4,3 juta anak tidak mendapatkan pendidikan sekolah dan 2,3 juta anak tidak bisa baca tulis. Ditutupnya sebagian besar sekolah membuat risiko ini menjadi jauh lebih tinggi, terutama bagi anak dari keluarga pra-sejahtera. Sebagian terancam dinikahkan dini, harus bekerja, atau tidak memiliki akses belajar jarak jauh.

Dalam kerangka kebijakan ekonomi keputusan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PDBB) sejak April 2020 berdampak luas pada proses produksi, distribusi, dan kegiatan operasional lainnya yang pada akhirnya menganggu kinerja perekonomian dan berdampak pada tingkat kemiskinan dan pengangguran yang bertambah. 

Badan Pusat Statistik dalam Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020, menunjukkan, sektor ketenagakerjaan tergerus, dampaknya 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari 203,97 juta orang penduduk usia kerja terdampak pendemi. Jumlah pengagguran meningkat sejumlah 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang. 

Jumlah pekerja formal turun 39,53 persen menjadi 50,77 juta orang dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, jumlah pekerja informal melonjak 60,47 persen menjadi 77,68 juta orang. (kompasmedia.com).

Langkah preventif

Beragam regulasi untuk menjaga pertumbuhan perekonomian nasional bergerak kearah positif, harus berjibaku karena catatan dua kali kontraksi, secara teknis ekonomi Indonesia masuk dalam resesi. Catatan data dari Kementerian Bidang Ekonomi, perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2020, menunjukan pertumbuhan ke arah negatif. 

Kuartal I 2020 masih tumbuh sebesar  2,97 persen (yoy), tetapi memasuki kuartal II 2020 terkontraksi menjadi 5,432 (yoy) sebagai puncak kelesuan ekonomi. Memasuki Kuartal Ke III, konstraksi berkurang menjadi 3,49 persen, karena dilonggarkannya "ikat pinggang" PSBB.

Dalam sengkarut pandemi, Pemerintah tetap berkomitmen terhadap Pembangunan Berkelanjutan untuk memberikan akses pembangunan yang adil dan inklusif untuk menjaga lingkungan dan sosial dalam aktifitas ekonomi sesuai aturan RPJMN 2020 -- 2024. 

Dalam rilis pers, 15 Juni 2021, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, menjadikan situasi pandemi menjadi momentum yang tepat untuk mengevaluasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola serta menerapkan berbagai kebijakan pemulihan ekonomi yang memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan pembangunan berbasis lingkungan dengan mendorong penerapan ekonomi hijau dalam industri keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menawarkan roadmap keuangan berkelanjutan, sebagai kerangka acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif, berkontribusi posistif dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.

Stimulan lainnya terimplementasi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja,  dengan penyempurnaan lebih dari 80 UU untuk mendorong kemudahan berusaha dengan tetap mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. 

Khusus untuk lingkungan hidup dan kehutanan terdapat 3 UU yang disempurnakan yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41  Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.

Menjaga Komitmen Penting

Dalam kurun waktu sejak disepakati Paris Agreement, komitmen kita dalam menjaga lingkungan mengalami "godaan" baru, karena kesepakatan itu berisi komitmen, sekaligus peluang. Bersama 195 negara, Indonesia menyepakati penurunan emisi karbon (dekarbonasi) di atmosfir secara bertahap dari 2030, 2040,2045, hingga zero emisi pada 2050.

Dekarbonasi menciptakan sebuah dilema baru; pengejaran target dekarbonasi melalui transisi energi coklat-fosil menuju energi hijau-energi terbarukan. 

Namun sisi lainnya, transisi itu membutuhkan banyak logam baru seperti Logam Tanah Jarang (rare earth element) dalam jumlah yang pasti sangat signifikan, untuk kebutuhan pembuatan panel surya, baterai mobil listrik atau kontribusi lain untuk pemenuhan produk sehari-sehari dengan basis LTJ, seperti elektronik, medis dan militer. 

Apalagi kebutuhan LTJ menjadi buruan 195 negara, sehingga negara pemilik jenis logam ini, mungkin akan menaikkan harganya secara eksponensial sesuai demand pasar.

Salah satu opsi untuk menjangkau target dekarbonasi adalah melalui elektrifikasi. Mengurangi penggunaan energi fosil dengan mengurangi jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) secara simultan dan menawarkan alternatif elektrifikasi dengan energi terbarukan dengan basis surya, bayu, air dan alternatif lain non migas. Mendorong alih guna energi dengan mengenalkan PLTS di atap rumah.

Opsi ini akan membuat harga migas melambung dan masyarakat beralih ke energi terbarukan. Sekalipun ini sebuah opsi yang tidak sederhana, karena pengalaman panjang kita dengan kebijakan fluktuasi harga migas, memicu gejolak sosial dan harus diikuti kebijakan penyerta untuk meredamnya. 

Namun perlahan dapat merubah kita dari konsumen menjadi produsen sumber elektrifikasi untuk rumah tangga, maupun industri dan secara perlahan tidak lagi tergantung sepenuhnya pada migas dari fosil.

Dilema berikutnya, jika kebutuhan logam sebagai medium transisi menuju energi terbarukan tak bisa lagi bisa dipenuhi, termasuk melalui opsi ekonomi sirkular yang fokus pada pemanfaatan barang yang lebih hemat dan panjang masa pakainya, juga menggunakan daur ulang sebagai alternatif mengatasi boros energi. Hanya saja dengan posisi ekonomi sirkular kita yang belum optimal, butuh kerja keras dan komitmen memastikan ekonomi sirkular bisa menopang transisi energi kita .

Hal itu pula yang menyebabkan Indonesia, memilih tahun 2060 sebagai batas dekarbonasi karena begitu banyak sektor yang harus diperbaiki, termasuk memenuhi syarat memberlakukan pajak karbon dan perdagangan karbon.

Penambangan LTJ adalah opsi paling akhir setelah impor tak mencukupi. Meskipun Indonesia memiliki kandungan LTJ sangat potensial, sehingga berpeluang menjadi "raja baterai listrik", namun hingga saat ini belum dieksploitasi. 

ICHI.Pro.com
ICHI.Pro.com

Bahkan jika penambangan darat gagal, pertambangan di dasar laut yang kaya mineral bisa dilakukan,namun akan sangat berbahaya, karena banyaknya biota laut yang belum teridentifikasi, terutama jenis yang dapat menyimpan CO2 dan justru akan membuangnya ke atmosfer jika terganggu aktifitas penambangan logam di dasar laut. Seperti Bill Gates bilang, bahkan sendawa dan kentut sapi berkontribusi memperburuk atmosfir kita. Karena food’s carbon footprint atau jejak karbon makanan mereka,  setiap satu kilogram (kg) sapi potong dapat menghasilkan 60 kg emisi GRK (kgCO2e). 

referensi; 1, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun