Apalagi kebutuhan LTJ menjadi buruan 195 negara, sehingga negara pemilik jenis logam ini, mungkin akan menaikkan harganya secara eksponensial sesuai demand pasar.
Salah satu opsi untuk menjangkau target dekarbonasi adalah melalui elektrifikasi. Mengurangi penggunaan energi fosil dengan mengurangi jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) secara simultan dan menawarkan alternatif elektrifikasi dengan energi terbarukan dengan basis surya, bayu, air dan alternatif lain non migas. Mendorong alih guna energi dengan mengenalkan PLTS di atap rumah.
Opsi ini akan membuat harga migas melambung dan masyarakat beralih ke energi terbarukan. Sekalipun ini sebuah opsi yang tidak sederhana, karena pengalaman panjang kita dengan kebijakan fluktuasi harga migas, memicu gejolak sosial dan harus diikuti kebijakan penyerta untuk meredamnya.Â
Namun perlahan dapat merubah kita dari konsumen menjadi produsen sumber elektrifikasi untuk rumah tangga, maupun industri dan secara perlahan tidak lagi tergantung sepenuhnya pada migas dari fosil.
Dilema berikutnya, jika kebutuhan logam sebagai medium transisi menuju energi terbarukan tak bisa lagi bisa dipenuhi, termasuk melalui opsi ekonomi sirkular yang fokus pada pemanfaatan barang yang lebih hemat dan panjang masa pakainya, juga menggunakan daur ulang sebagai alternatif mengatasi boros energi. Hanya saja dengan posisi ekonomi sirkular kita yang belum optimal, butuh kerja keras dan komitmen memastikan ekonomi sirkular bisa menopang transisi energi kita .
Hal itu pula yang menyebabkan Indonesia, memilih tahun 2060 sebagai batas dekarbonasi karena begitu banyak sektor yang harus diperbaiki, termasuk memenuhi syarat memberlakukan pajak karbon dan perdagangan karbon.
Penambangan LTJ adalah opsi paling akhir setelah impor tak mencukupi. Meskipun Indonesia memiliki kandungan LTJ sangat potensial, sehingga berpeluang menjadi "raja baterai listrik", namun hingga saat ini belum dieksploitasi.Â
Bahkan jika penambangan darat gagal, pertambangan di dasar laut yang kaya mineral bisa dilakukan,namun akan sangat berbahaya, karena banyaknya biota laut yang belum teridentifikasi, terutama jenis yang dapat menyimpan CO2 dan justru akan membuangnya ke atmosfer jika terganggu aktifitas penambangan logam di dasar laut. Seperti Bill Gates bilang, bahkan sendawa dan kentut sapi berkontribusi memperburuk atmosfir kita. Karena food’s carbon footprint atau jejak karbon makanan mereka,  setiap satu kilogram (kg) sapi potong dapat menghasilkan 60 kg emisi GRK (kgCO2e).Â
referensi; 1,Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI