Beragam regulasi untuk menjaga pertumbuhan perekonomian nasional bergerak kearah positif, harus berjibaku karena catatan dua kali kontraksi, secara teknis ekonomi Indonesia masuk dalam resesi. Catatan data dari Kementerian Bidang Ekonomi, perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2020, menunjukan pertumbuhan ke arah negatif.Â
Kuartal I 2020 masih tumbuh sebesar  2,97 persen (yoy), tetapi memasuki kuartal II 2020 terkontraksi menjadi 5,432 (yoy) sebagai puncak kelesuan ekonomi. Memasuki Kuartal Ke III, konstraksi berkurang menjadi 3,49 persen, karena dilonggarkannya "ikat pinggang" PSBB.
Dalam sengkarut pandemi, Pemerintah tetap berkomitmen terhadap Pembangunan Berkelanjutan untuk memberikan akses pembangunan yang adil dan inklusif untuk menjaga lingkungan dan sosial dalam aktifitas ekonomi sesuai aturan RPJMN 2020 -- 2024.Â
Dalam rilis pers, 15 Juni 2021, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, menjadikan situasi pandemi menjadi momentum yang tepat untuk mengevaluasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola serta menerapkan berbagai kebijakan pemulihan ekonomi yang memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan pembangunan berbasis lingkungan dengan mendorong penerapan ekonomi hijau dalam industri keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menawarkan roadmap keuangan berkelanjutan, sebagai kerangka acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif, berkontribusi posistif dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Stimulan lainnya terimplementasi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Â dengan penyempurnaan lebih dari 80 UU untuk mendorong kemudahan berusaha dengan tetap mengedepankan aspek kelestarian lingkungan.Â
Khusus untuk lingkungan hidup dan kehutanan terdapat 3 UU yang disempurnakan yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Â Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.
Menjaga Komitmen Penting
Dalam kurun waktu sejak disepakati Paris Agreement, komitmen kita dalam menjaga lingkungan mengalami "godaan" baru, karena kesepakatan itu berisi komitmen, sekaligus peluang. Bersama 195 negara, Indonesia menyepakati penurunan emisi karbon (dekarbonasi) di atmosfir secara bertahap dari 2030, 2040,2045, hingga zero emisi pada 2050.
Dekarbonasi menciptakan sebuah dilema baru; pengejaran target dekarbonasi melalui transisi energi coklat-fosil menuju energi hijau-energi terbarukan.Â
Namun sisi lainnya, transisi itu membutuhkan banyak logam baru seperti Logam Tanah Jarang (rare earth element) dalam jumlah yang pasti sangat signifikan, untuk kebutuhan pembuatan panel surya, baterai mobil listrik atau kontribusi lain untuk pemenuhan produk sehari-sehari dengan basis LTJ, seperti elektronik, medis dan militer.Â