Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money

Elpiji Non Subsidi Naik, "Melon" Jadi Siluman

5 Januari 2022   23:13 Diperbarui: 8 Januari 2022   21:51 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

apahabarcom

85179-demo-buruh-61d69ad406310e5745353342.jpg
85179-demo-buruh-61d69ad406310e5745353342.jpg
suarasulsel

aksi-demo-buruh-dan-mahasiswa-di-jakarta-4-169-61d699f406310e7f88036573.jpeg
aksi-demo-buruh-dan-mahasiswa-di-jakarta-4-169-61d699f406310e7f88036573.jpeg
cnnindonesia

Paradok Dua Kebijakan, Elpiji Non Subsidi Naik, UMR Turun Kelas

Menjelang berakhirnya tahun 2021, ada dua kebijakan Pemerintah yang saling bertolak belakang. Kenaikan UMP 2022 sebesar 5,1 Persen sebagai angin segar bagi para pekerja dan serikat pekerjanya, sekaligus sebagai pertanda keberpihakan pemerintah pada rakyat. 

Di sisi sebaliknya, harga elpiji naik. Pemerintah tetap menaikkan harga gas nonsubsidi, padahal porsi konsumsi nasional pemakaian jenis gas ini mencapai  7,5 persen. Dalam kondisi ekonomi transisi paska mulai terbukanya sekat pembatasan, justru akan menuai masalah baru.

Kekuatiran yang utama adalah  migrasi pengguna gas nonsubsidi ukuran 5,5 dan 12 kilogram ke gas melon 3 kilogram bersubsidi.

Terlepas dari adanya larangan peggunaan gas subsidi untuk bisnis, fenomena yang akan menguat adalah, akan semakin besar persaingan kelompok kecil dalam memperoleh pasokan gas melon untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. 

Karena sejak kebijakan pemerintah melakukan konversi dari minyak tanah menjadi energi yang lebih bersih-gas 3 kilo yang populer dengan sebuatan tabung melon, porsi penggunaan gas jenis ini meningkat pesat di rumah tangga dan industri kecil.

Dalam kondisi konsumsi saat ini masih belum pulih sepenuhnya, gas berkontribusi besar terhadap biaya industri makanan dan minuman serta rumah tangga, akibatnya kenaikan harga barang versi pemerintah justru menyebabkan daya beli masyarakat melemah.

Kelas menengah menjadi pihak yang paling terpukul akibat kenaikan harga Gas ini. Sedangkan kelas bawah, sudah jauh-jauh hari melempar handuk tanda menyerah. 

Sebab, kenaikan harga gas dan kebutuhan pokok yang mengikutinya, tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan yang menggembirakan, termasuk kenaikan UMP terbaru 2021.

Nasib para pekerja yang baru saja mendapat tambahan UMP, harus mengeluarkan biaya ekstra yang jumlahnya lebih banyak dari persentase pertambahannya. Seolah kenaikan UMP, hanya impas untuk menutup biaya kenaikan barang-barang, sembako dan elpiji non subsidi 5,5-12 kilogram saja.

Jadi kalau sebelumnya menggunakan gas 12 kilogram, maka terpaksa harus menukar dengan tabung 3 kilogram. Tapi itupun tidak lagi sembarangan. 

Problem aneh yang justru muncul sejak pemerintah memulai program konversi mitan ke gas melon, "buah melon" itu jadi langka di pasaran. 

Jika tersedia pun harganya sudah dipermainkan. Selama ini, subsidi Elpiji 3 kilogram masih belum tepat sasaran karena selisih harga jual eceran dan patokan mencapai Rp7.000 per tabung. Bahkan karena model subsidi komoditas, atau berbentuk barang, menyebabkan Elpiji 3 kilogram bisa dibeli siapa saja.

Tidak usah jauh-jauh, banyak pelaku bisnis kelas menengah atas juga menggunakan fasilitas subsidi komoditas atau berbentuk barang. Kalangan menengah hingga atas ikut menikmati gas subsidi. Akibatnya yang menikmati subsidi itu justru yang tidak berhak menerima. fasilitas subsidi tabung melon, karena mereka menggunakan produk ini untuk berbisnis, padahal itu menyalahi aturan.

Nah, akan lebih runyam jika mayoritas pengguna LPG 5,5-12, sejak kenaikan harga gas nonsubsidi, kemudian bermigrasi ke gas melon. Maka akan semakin keras persaingan kelas bawah dalam mengantri "buah" melon langka itu. 

Ibarat judul film yang tengah populer di awal tahun ini, Spiderman No Way Home, rakyat tak punya pilihan lain untuk kembali memperebutkan tabung melon sebagai alternatif agar dapur tetap bisa berasap.

Apa langkah pemerintah paling populis dalam situasi migrasi pemakai gas nonsubsidi 5,5-12 kilogram ke gas melon?. Seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, perubahan skema pemberian subsidi gas melon dan minyak tanah yang semula berbentuk barang atau komoditas menjadi subsidi langsung berbasis rumah tangga penerima. Alasannya sangat logis,; 

Pertama; agar mekanisme transformasi kebijakan fiskal itu bisa dirasakan langsung oleh masyarakat dan tepat sasaran. 

Kedua; memutus rantai pelanggaran pemakaian gas subsidi untuk para pelaku bisnis atau kalangan menengah-atas. Bentuknya, transformasi subsidi berbasis orang dalam konteks Elpiji, diarahkan dalam wujud program perlindungan sosial.

Kebijakan subsidi diberikan secara tertutup dalam bentuk nontunai langsung kepada rumah tangga sasaran, yaitu keluarga penerima manfaat, usaha mikro, petani, dan nelayan yang berhak menerima subsisi sesuai dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial milik Kementerian Sosial.

Namun sebagai catatan penting, apakah pemerintah juga sigap mempertimbangkan fenomena hengkangnya para pemakai gas nonsubsidi ke gas subsidi. Sekalipun berlaku kebijakan barang atau komoditas, pemerintah harus diuji ditingkat pasar. 

Meskipun dilakukan pengawasan, mekanisme pasar sering bekerja otomatis. Pasar akan merespon dengan mencari gas subsidi sebagai alternatif, sekalipun harus melanggar larangan. Termasuk memakai gas subsidi untuk bisnis. 

Harus dibuktikan dulu keseriusan pemerintah dalam hal ini, tanpa kenaikan gas nonsubsidi saja, jatah gas melon sudah direbut kalangan menengah-atas apalagi sekarang.

Nah bisa jadi dengan kenaikan UMP yang dibarengi kenaikan harga (inflasi), seperti nasib Spiderman dalam versi  take home pay yang terbatas setelah dipotong pajak dan lain-lain, harus rela antri memilih gas tabung melon dalam antrian yang lebih panjang, itupun jika masih tersisa dan tersedia di pasaran. tabung melon sering hilang seperti siluman  

Nasib rakyat saat ini, layaknya judul film populer itu "No Way Home!". Banyak masalah baru di tahun 2022 yang baru kita jalani,  belum ada jalan keluar-solusinya.  Memulai tahun baru harus dengan bekerja ekstra keras, demi tambahan uang belanja. 

Jika tidak, dengan pendapatan pas-pasan, kemampuan belanja turun, maka bukan tidak mungkin para produsen juga akan menurunkan jumlah produksi untuk merespon lesunya pasar, termasuk mengurangi jumlah pekerja. 

Fenomena ini memicu persoalan baru, bertambahnya lagi jumlah kelompok pengangguran, tanpa penghasilan. 

Siklus ini, buruk bagi perkembangan ekonomi kita yang tengah didorong bangkit dari situasi lesu akibat pandemi. 

Bisa jadi pemerintah sangat terpaksa mengambil langkah kebijakan tidak populis, mengingat  kenaikan ini dilakukan atas dasar penyesuaian harga Contract Price Aramco (CPA) LPG yang terus meningkat sepanjang 2021. Harga LPG non-subsidi naik antara Rp 1.600-2.600 per kilogram.

Nasib Take Home Pay Para Pekerja

antarafoto-tolak-kenaikan-ump-dki-161218-wpa-2-61d6637506310e0efe13b112.jpg
antarafoto-tolak-kenaikan-ump-dki-161218-wpa-2-61d6637506310e0efe13b112.jpg
antaranews.com

Ketika ekonomi kusut di terpa pandemi covid-19, Omicron, kabar gembira kenaikan UMP ternyata hanya sesaat dirasakan karena kebijakan susulan justru memukul kembali "pendapatan" tambahan ke level biasa. 

Besaran UMP sebelum revisi, kenaikannya hanya sebesar 0,8 persen. Untuk Jakarta, jelas sangat memilukan, untunglah ada revisi, sehingga UMP Jakarta, naik 5,1 persen, kenaikan yang lumayan dari angka UMP sebelumnya. 

Dari besaran Rp 4.452.724 (0,8%) naik sebesar Rp 225.667 dari UMP 2021, menjadi Rp4.641.854,-.Acuannya  adalah Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1395 Tahun 2021 tentang UMP DKI Jakarta 2022. 

Selanjutnya, ketika UMP naik, barang ikutan naik dan gas nonsubsidi akhirnya ikut melonjak. Apa ada gunanya, jika nilai uang dinaikkan jika dibarengi inflasi?. 

Kebijakan kenaikan UMP juga tidak serta merta dinikmati semua kalangan. Aturan mainnya, UMP baru akan diberlakukan bagi para pekerja yang belum genap setahun, ia berhak atas UMR baru. Jika ia pekerja lama akan disesuaikan dengan masa kerja. 

Proses penghitungan Take Home Pay-nya juga mempertimbangkan banyak faktor, termasuk penambahan pendapatan rutin, pendapatan insidental serta dikurangi komponen pemotongan gaji. Jadi pengertian take home pay bukan sekedar gaji pokok belaka, karena itu dua hal yang berbeda.

Jadi berapa besaran gaji (brutto) yang bisa dibawa pulang alias Take Home Pay, yaitu jumlah pembayaran setelah mendapat potongan (netto). Seorang pekerja harus memilih tempat kerja yang bisa dihitung masa kerjanya, dan mendapat fasilitas UMP, agar tidak sia-sia, cuma jadi buruh harian belaka.

Inflasi Baru Awal Tahun

Tapi seperti biasa, kenaikan UMP selalu pararel dengan kenaikan beberapa harga kebutuhan pokok selain pangan, termasuk gas elpiji non subsidi juga ikut naik. Kenaikan makin berganda, karena kenaikan gas juga memicu kenaikan sembako dan barang "berbasis" gas.

Dengan kondisi ekonomi paska pandemi, inflasi yang bergerak naik, besaran gaji take home pay para pekerja makin berada dalam posisi dilematis. 

Apalagi dengan penyesuaian harga gas non subsidi, di akhir tahun akan menyumbang inflasi tahun 2022, yang diperkirakan akan tembus 5%, sebagaimana di rilis Center of Economic and Law Studies. 

Ibarat "No Way Home", tanpa solusi yang tepat ,maka jangan heran kalau melihat masyarakat dalam situasi dan kondisi paska pandemi, barisan antrian gas melon akan semakin panjang. Bukan tidak mungkin barisan para pengangguran juga sedang menunggu di antrian berikutnya.

Semoga menurunya pandemi dan berkurangnya sekat yang membuat ekonomi lesu, bisa menjadi stimulan membangkitkan ekonmi kelas bawah. Bagaimanapun, jika kelas bawah masih bisa mengais remah-remah pendapatan, setidaknya kita masih bisa bernafas, meski menggunakan "tabung oksigen".

referensi: 1, 2, 3, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun