Ketika sampai di Banda, sambil menunggu persalinan, saya mengontak tim pembersih rumah yang disediakan pemerintah dari Jerman, untuk mensterilisasi rumah. Sehingga dalam seminggu rumah sudah layak untuk ditinggali, meskipun lingkungan disekitarnya masih dalam kondisi belum pulih dan bersih.
Permintaan aneh
Seminggu setelahnya, kami mencoba tinggal di rumah, aneh, hampir setiap malam ada saja hal aneh. Istri yang tidak bisa memejamkan mata, katanya karena gongongan anjing, ternyata keesokan harinya ia bisa menunjukkan titik dimana ditemukan korban yang tersembunyi dan belum dievakuasi tim khusus.
Bahkan hampir sepanjang malam istri bermimpi bertemu para korban, sehingga pada suatu hari menjelang maghrib, ia minta diantar ke pinggiran kota, padahal suasana sudah semakin gelap dan lampu jalanan sudah tak ada yang berfungsi. Bahkan jejeran korban yang belum dievakuasi masih bertumpuk di pinggir jalan, sehingga ketika melintas kita harus berhati-hati agar tidak mengenainya.
Anehnya setelah istri melihat kondisi itu, dan pulang ke rumah, ia dapat tidur nyenyak dan tidak diganggu mimpi lagi. Tapi karena kejadian itu saya memutuskan mengevakuasi keluarga ke tempat yang jauh lebih aman. Sambil menunggu hari
Gempa Kedua dan Putera Kedua
Malam ketika memutuskan untuk membawa istri ke ruang persalinan, waktu baru menunjukkan pukul 8 malam.
Gempa besar lain menyusul terjadi pada 28 Maret 2005, menambah jumlah korban di Nias, sebuah pulau di barat Sumatera Utara dan pulau Simeulue, disebelah selatan Aceh. Gempa Bumi Sumatra 2005 terjadi pada pukul 23.09 WIB pada 28 Maret 2005. Pusat gempanya berada di 2° 04′ 35″ U 97° 00′ 58″ T, 30 km di bawah permukaan Samudra Hindia, 200 km sebelah barat Sibolga, Sumatra atau 1400 km barat laut Jakarta, sekitar setengah jarak antara pulau Nias dan Simeulue.
Kami tengah bersiap hendak membawa istri kebali ke kamar untuk beristirahat, karena ternyata belum ada tanda-tanda, baru beberapa menit terlelap, tiba-tiba gempa besar terjadi, seluruh air di dalam bak mandi bergerak dengan keras. Lampu tiba-tiba padam, dalam kondisi panik karena baru terlelap saya berusaha untuk membantu istri keluar dari ruangan.Â
Tapi setelah beberapa menit mencarinya, kami tak menemukan kami segera keluar karena gempa juga sebentar-sebentar berulang. Ternyata istri sudah menunggu di bawah dalam kondisi panik. Ternyata istri yang dalam kondisi hamil besar dan menunggu persalainan saja bisa lebih gesit lari menuruni tangga di banding kami semua.
Arus orang yang panik untuk menjauh dari titik tsunami semakin mengular, jalanan macet dan tidak memungkinkan untuk masuk dalam arus kemacetan. satu-satunya jalan, kami bertahan di klinik dan jika terjadi tsunami kami akan memilih naik ke lantai tiga. Dan ternyata pilihan kami tidak salah, karena istri kemudian melahirkan tak lama setelah kejadian itu.