kompas.com
Sebuah Ingatan
Pagi tadi aku menyusuri lagi pinggiran kota, jalanan terasa lenggang. Penuh dengan ribuan daun luruh, karena Desember ini, hujan turun bergantian. Kemarin panas menghujam begitu terik, tapi pagi ini hujan rintik-rintik. Jalanan dengan barisan mahoni bersisian dengan para pejalan kaki, menunggu matahari. Hari ini juga tanggal 26 Desember, seperti 2004, 17 tahun lewat, seperti dejavu, sebuah ingatan, seperti ada tapi tiada.
17 tahun lalu, di tanggal 26 Desember 2004, pagi Minggu sekira pukul 07:58:53 Indonesia bagian Barat, Aceh nanggroe-ku di guncang gempa besar, 9,3 skala Richter. Magnitudenya di Pulau Simeulue, di kedalaman 30 kilometer jauhnya di dasar laut, mematah garis lempengan laut dalam 1.000 kilometer panjangnya.
Dan setelahnya, kami biasa akan mengenangnya dengan mengingat dalam doa, di pusara para syuhada, yang disetiap makamnya tak bertanda kecuali hamparan hijau rerumputan. Di tempat sunyi yang jauh lainnya, mereka semua berdoa di meunasah, di surau kecil, agar Tuhan memberi tempat lapang, indah disana. Untuk Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Kakek, Nenek, Paman, Bibi, Keponakan, sepupu, dan semua saudara yang tak lagi bisa dikenali, kecuali dalam ingatan.
Suasana sendu, haru, dan setengah hari habis untuk doa, dan air mata. Pagi hari akan berhenti sejenak, barulah siang ketika matahari sepenggala tingginya, hari akan kembali. Hari ini ternyata sama seperti 17 Tahun lewat, Minggu ketika semua orang berlarian, dalam galau dan gelap awan dengan iringan bangau yang ketakutan.
"Air laut naik!", teriakan panik bersahutan, diikuti deru bah setinggi tiang bendera, pohon kelapa, dan gedung-gedung dengan lantai-lantai yang tak terbilang.
Setelahnya kami tahu, tentang gelombang pasang tinggi, tapi kami tak pernah begitu mengenalnya. "Tsunami".
Kami biasa menyebutnya dengan lugu, Ie Beuna, Alue Bulok, atau Smong, untuk menyebut satu kata lain "tsunami".
26 Desember 2004
Sabtu kemarin seluruh kegiatan kantorku di WWF berakhir, aku bilang akan membereskan semua urusan administrasi, tapi kata orang Kuala Tripa, biarlah besok saja, setelah hilang penatnya. Tapi aku angsurkan juga, beberapa ikat uang tanda jadi itu, aku bilang aku tak mau pusing mengingatnya. Dan sisanya kusisip di tas jinjing, sebelum akhirnya pulang.
Malam minggu begitu penat, jadi kuonggok puluhan amplot dengan lipatan uang. Notebook, menyala terang, tak berkedip dengan deretan Excel yang mulai membosankan. Tapi tak urung kujamah juga, hingga malam larut dan anak-anak tak lagi terdengar suara, begitu sunyi tapi tak bertanda sama sekali.
Pagi itu, aku tak juga menyentuh onggokan berkas, kuputuskan untuk mandi, menyiram dengan kesegaran dan berharap hangat matahari hari ini akan bersahabat. Â Sebuah Vespa Piagio, biru, sudah kuposisikan untuk segera membawa kami pergi. Anak istriku, kugoda untuk berkemas. Engkol pertama, tak menghidupkan Vespa biru, begitu juga hentakan engkol seterusnya. jadi aku tinggalkan dengan kesal, seperti onggokan dan kupaksakan menikmati sarapan pagi.
Tiba-tiba, sebuah hentakan keras, seperti ayunan, meliukkan dinding dan menjatuhkan benda-benda, layaknya kaca. Lemari besar berayun, jadi ku tarik siapa yang didekatnya dan kubawa keluar. Di jalanan, puluhan orang tak kukenal berlari tergesa, dengan pucat pasi  tanpa terompah, dan baju seadanya. Air laut naik!", teriaknya keras berulang-ulang. Aku berlari ke belakang, kembali kedepan memastikan apa maksudnya. Mana airnya?.
Aku berada di titik 5 kilometer jauhnya dari tsunami itu, di minggu pagi saat kejadian. Tapi aku menyaksikan sendiri ombak setinggi dua lantai, mengejar, menyapu bangunan di belakang kami yang berlarian. Apapun tak bisa dibawa, karena hilang ketika hantaman itu terjadi.
Air Laut Naik!
50 meter di depan, di antara bangunan sekolah air berwarna hitam, meliuk bergemuruh, melintasi bangunan, menabrak dinding pembatas, sebelum akhirnya tumpah memenuhi seluruh lapangan bola, lapangan basket dan kebun-kebun yang dipenuhi jagung, cabai, yang sebentar lagi hendak dipanen.
Tak kurang hanya dari 15 menit setelah hentakan guncangan gempa, dan terjangan tsunami, Aceh  rata kehilangan lebih dari 18.207 rumah. Hantaman gelombang tsunaminya setinggi 30 meter, lebih dari tiga gelombang, dan sauara kami di Meulaboh, menjadi episentrum  bencana paling mematikan. Bumi Teuku Umar, melata kosong tanpa benda, dengan pephonan kelapa melandai, kosong tak berdaun.
Di sini, kami masih berbilang kali mengucap syukur dan beruntung, benteng-benteng bangunan sekeliling membantu memecah tsunami, hantamannya tak lagi tinggi. Dalam kedalaman air yang terus naik, kami bertahan, hingga bisa menjejak daratan tinggi jauh dari gelap air.
Aku sempat berbalik,  menilik rumah, untuk menemukan ibu, segera menariknya, dan membawanya ke jalan berharap ada tumpangan yang bisa membawanya jauh, terakhir sempat  kulihat istri dan anak duduk di pick terbuka yang sedang menderu, tengah melambai. Aku bersyukur dalam panik, karena teringat kala itu istriku sedang mengandung 8 bulan anak kedua kami.
Di saat hendak berlari menjauh, justru beberapa ibu tua, masih tertatih di belakang, aku berbalik untuk kedua kalinya, kali ini aku berusaha mengendong sebisanya, menaikkan ke atas kendaraan tersisa yang dipenuhi perempuan dan anak-anak, sementara para laki-laki berlarian menjauhi tsunami, dibelakangnya. Baru beberapa meter air sudah menyambar, meskipun tak sederas tanah 50 meter di depan dengan barisan perumahan menjadi peredam deras tsunami.
Dalam air yang mulai meninggi kami tak lagi peduli dengan arus listrik yang tiang-tiangnya roboh dihantam air. Satu kilo, jauhnya ketika air melandai, dan badan kuyup dengan hitam lumpur.
Aku menarik nafas pertamaku keras, sejenak ketika duduk mencakung di pinggiran tugu kampus. Mengikut keramaian, setelah mencari keluarga tak kutemukan. Menerobos masuk Hall Kampus, sejenak menikmati hidangan resepsi yang batal dan ditinggalkan para pengantin dan pengiringnya yang panik.
Ketika kembali ke rumah beberapa jam setelahnya, aku mendapati rumah kosong, seisi rumah berganti apapun yang tak kubayangkan. Batang kelapa 5 meter panjangnya, meja kursi asing, ratusan ikan, ular hitam yang kebingungan dan berlarian diantara kaki-kaki kita tak peduli, sapi yang melenguh kebingungan, dan itik yang berteriak tak pelu, dengan puluhan galon, tabung biru gas dan korban luka berteriak, dalam serakan kayu-kayu menggunung ribuah bilah banyaknya.
Aku tergagap, mengigil ketika ingat pagi, ketika bencana terjadi, dan kami berencana ke laut setelah seminggu penat kerja. Beruntung, gagal, karena Vespa Biru tak hendak bergerak dan menderu. Bayangkan jika kita jadi pergi dengan riang, bersenandaung, turut menyaksikan laut surut, lantas mungkin kita tinggal nama, dan mungkin terpampang di dinding museum di ruang tinggi menjulang dengan nama-nama para syuhada.
Setelah Tsunami Reda
Aku naik ke lantai dua, karena tak ada yang tersisa di tanah. Apapun tak lagi bisa dikenali, kebun-kebun menghilang, berganti kepingan rumah, pepohonan dan kawat menjuntai dipenuhi para korban luka.
Sementara kabar teman selamat dari kota bercerita, tentang patahan didasar samudera, yang memancing, dan menyurutkan air laut surut dengan cepat. Rentang waktu tak kurang beberapa menit, seluruh daratan, pantai tiba-tiba airnya menyurut hingga satu kilometer jauhnya.
Ketika itu ikan, permukaan pantai berkarang, yang sembunyi dalam deru ombak, dan tak pernah terlihat tiba-tiba mengering. Ribuan orang bersuka cita berlarian berebut ikan-ikan yang menggelepar, ribuan jumlahnya.
Namun selang beberapa menit, air laut berketinggian 30 meter, begitu cepat laksana jet, berkecepatan 100 mps atau 360 km/jam dengan suara dentuman menyerbu daratan.
Daratan pantai-pantai Aceh dengan cepat tersapu gelombang dahsyat, dalam hitungan menit korban yang kemudian ditemukan tak lagi berbilang, tak kurang 170.000 orang menjadi syuhada. Di Samudra Hindia, Sumatra, Kepulauan Andaman, Thailand, India Selatan, Sri Lanka, sebagian Afrika, sekitar 230.000 orang tak diketahui nasibnya dalam gelombang, hingga 14 negara banyaknya. Bangunan di pantai lebur-hancur, hingga lima kilometer jauhnya.
Tsunami Aceh dicatat dalam peristiwa dunia, tsunami terbesar kedua dalam 100 tahun terakhir, Â sejak gempa besar melanda Chile dengan kekuatan 9,5 skala Richter.
Menunggu Harapan Baik
Malamnya kami mencari titik untuk mengungsi dan mencari dapur darurat untuk mendapatkan makan malam, sambil terus mencari. Di bawah jembatan yang menghubungkan kampus, ke arah kota, saya menemukan mobilpick up terbalik, warnanya persis sama dengan yang mmebawa rombongan istri dan anak, kami sudah berkali-kali memastikan tapi tak satupun orang atau apapun tersisa, mobil dalam keadaan hancur.
Dengan harapan yang hampir putus asa, saya kembali ke posko dan menunggu semuanya. Menurut kabar dari orang-orang, istri dan anak katanya selamat, tapi sekarang posisinya sedang dalam pengungsian di daerah Indrapuri. Daerah yang jauhnya setengah jam perjalanan. jadi saya berpikir selama mereka aman, sudahlah, jadi saya tak menyusul kesana karena tak satupun kendaraan yang beroperasi di malam hari.
Malam itu saya habiskan tidur dipondok, satu-satunya tempat yang tersisa karena seluruh ruangan lain di gedung terisi anak-anak dan perempuan. Termasuk para korban yang tengah mendapat perawatan medis.
Pagi sekali, ketika air genangan tsunami sudah mulai surut, tinggal setinggi leher, kami kembali ke perumahan melihat situasi, apalagi ada kabar, para pencuri yang entah datang dari mana memanfaatkan situasi untuk mengambil apa saja yang dianggap layak dicuri.
Setelah bersusah payah, kami sampai di rumah, dan memutuskan malam itu untuk tinggal di lantai dua dengan beberapa orang, tapi semakin air surut, ternyata begitu banyak korban yang semakin terlihat, diantara perasaan takut dan iba, kami memutuskan hanya menolong yang masih selamat, sementara yang sudah tiada kami biarkan menunggu pertolongan tim khusus, kami hanya memberitahukan di mana saja titik para korban yang sudah kami tandai.
Beruntung siangnya, semua anggota keluarga terkumpul dan semuanya selamat. saya juga mendapat kabar, ternyata tim dari kantor WWF Indonesia, tempat saya bekerja, sudah menyebarkan selebaran mencari stafnya untuk dievakuasi. Ada bantuan dari WWF Internasional yang mengharuskan kami harus dievakuasi.
Maka seluruh anggota keluarga yang berhasil di temukan kontaknya sebanyak 14 orang, kami dievakuasi menggunakan Boing 747 Jumbo Jet, Garuda, ke Medan. Lucunya ketika mendapatkan tiket pesawat persis seperti kita membeli karcis bioskop. Tinggal menyebut berapa orang dan kemudian tim dari WWF, memberikan tiketnya seberapa banyak yang diminta. Begitu mudahnya.
Di Medan sudah ada tim penjemput menunggu,dan membawa kami ke hotel yang sudah dipesan, maka disanalah kami tinggal selama hampir sebulan sambil menunggu situasi aman dan kesiapan istri untuk melahirkan.Â
Tapi menjelang kelahiran, ternyata istri minta kembali ke Aceh, seperti biasa permintaan "jabang bayi" yang tidak bisa ditolak. Maka kami mengusahakan penerbangan kembali ke Aceh dengan menggunakan pesawat yang sama, beruntung, setelah info dokter yang akan menangani persalinan di Banda Aceh mengkonfirmasi bersedia membantu, kami berangkat dari Medan.
Ketika sampai di Banda, sambil menunggu persalinan, saya mengontak tim pembersih rumah yang disediakan pemerintah dari Jerman, untuk mensterilisasi rumah. Sehingga dalam seminggu rumah sudah layak untuk ditinggali, meskipun lingkungan disekitarnya masih dalam kondisi belum pulih dan bersih.
Permintaan aneh
Seminggu setelahnya, kami mencoba tinggal di rumah, aneh, hampir setiap malam ada saja hal aneh. Istri yang tidak bisa memejamkan mata, katanya karena gongongan anjing, ternyata keesokan harinya ia bisa menunjukkan titik dimana ditemukan korban yang tersembunyi dan belum dievakuasi tim khusus.
Bahkan hampir sepanjang malam istri bermimpi bertemu para korban, sehingga pada suatu hari menjelang maghrib, ia minta diantar ke pinggiran kota, padahal suasana sudah semakin gelap dan lampu jalanan sudah tak ada yang berfungsi. Bahkan jejeran korban yang belum dievakuasi masih bertumpuk di pinggir jalan, sehingga ketika melintas kita harus berhati-hati agar tidak mengenainya.
Anehnya setelah istri melihat kondisi itu, dan pulang ke rumah, ia dapat tidur nyenyak dan tidak diganggu mimpi lagi. Tapi karena kejadian itu saya memutuskan mengevakuasi keluarga ke tempat yang jauh lebih aman. Sambil menunggu hari
Gempa Kedua dan Putera Kedua
Malam ketika memutuskan untuk membawa istri ke ruang persalinan, waktu baru menunjukkan pukul 8 malam.
Gempa besar lain menyusul terjadi pada 28 Maret 2005, menambah jumlah korban di Nias, sebuah pulau di barat Sumatera Utara dan pulau Simeulue, disebelah selatan Aceh. Gempa Bumi Sumatra 2005 terjadi pada pukul 23.09 WIB pada 28 Maret 2005. Pusat gempanya berada di 2° 04′ 35″ U 97° 00′ 58″ T, 30 km di bawah permukaan Samudra Hindia, 200 km sebelah barat Sibolga, Sumatra atau 1400 km barat laut Jakarta, sekitar setengah jarak antara pulau Nias dan Simeulue.
Kami tengah bersiap hendak membawa istri kebali ke kamar untuk beristirahat, karena ternyata belum ada tanda-tanda, baru beberapa menit terlelap, tiba-tiba gempa besar terjadi, seluruh air di dalam bak mandi bergerak dengan keras. Lampu tiba-tiba padam, dalam kondisi panik karena baru terlelap saya berusaha untuk membantu istri keluar dari ruangan.Â
Tapi setelah beberapa menit mencarinya, kami tak menemukan kami segera keluar karena gempa juga sebentar-sebentar berulang. Ternyata istri sudah menunggu di bawah dalam kondisi panik. Ternyata istri yang dalam kondisi hamil besar dan menunggu persalainan saja bisa lebih gesit lari menuruni tangga di banding kami semua.
Arus orang yang panik untuk menjauh dari titik tsunami semakin mengular, jalanan macet dan tidak memungkinkan untuk masuk dalam arus kemacetan. satu-satunya jalan, kami bertahan di klinik dan jika terjadi tsunami kami akan memilih naik ke lantai tiga. Dan ternyata pilihan kami tidak salah, karena istri kemudian melahirkan tak lama setelah kejadian itu.
Tsunami itu memberi kenangan yang mengerikan, namun juga menakjubkan dengan kehadiran anggota kelurga baru. Dan hingga sekarang putera kedua kami selalu dijuluki "anak tsunami", karena kisahnya lari dari kejaran tsunami, dievakuasi ditempat yang jauh dengan orang tak dikenal dan tinggal di tempat orang yang tidak dikenal pula. Tapi ia lahir sehat .
Kami bersyukur karena dalam catatan ini , kami semuanya selamat, tapi jauh di sebalik itu tidak sedikit sanak keluarga lain kehilangan satu atau dua , bahkan ada yang hilang seluruhnya. Satu-satunya cara mengenang adalah dengan mengirimkan doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H