Di saat hendak berlari menjauh, justru beberapa ibu tua, masih tertatih di belakang, aku berbalik untuk kedua kalinya, kali ini aku berusaha mengendong sebisanya, menaikkan ke atas kendaraan tersisa yang dipenuhi perempuan dan anak-anak, sementara para laki-laki berlarian menjauhi tsunami, dibelakangnya. Baru beberapa meter air sudah menyambar, meskipun tak sederas tanah 50 meter di depan dengan barisan perumahan menjadi peredam deras tsunami.
Dalam air yang mulai meninggi kami tak lagi peduli dengan arus listrik yang tiang-tiangnya roboh dihantam air. Satu kilo, jauhnya ketika air melandai, dan badan kuyup dengan hitam lumpur.
Aku menarik nafas pertamaku keras, sejenak ketika duduk mencakung di pinggiran tugu kampus. Mengikut keramaian, setelah mencari keluarga tak kutemukan. Menerobos masuk Hall Kampus, sejenak menikmati hidangan resepsi yang batal dan ditinggalkan para pengantin dan pengiringnya yang panik.
Ketika kembali ke rumah beberapa jam setelahnya, aku mendapati rumah kosong, seisi rumah berganti apapun yang tak kubayangkan. Batang kelapa 5 meter panjangnya, meja kursi asing, ratusan ikan, ular hitam yang kebingungan dan berlarian diantara kaki-kaki kita tak peduli, sapi yang melenguh kebingungan, dan itik yang berteriak tak pelu, dengan puluhan galon, tabung biru gas dan korban luka berteriak, dalam serakan kayu-kayu menggunung ribuah bilah banyaknya.
Aku tergagap, mengigil ketika ingat pagi, ketika bencana terjadi, dan kami berencana ke laut setelah seminggu penat kerja. Beruntung, gagal, karena Vespa Biru tak hendak bergerak dan menderu. Bayangkan jika kita jadi pergi dengan riang, bersenandaung, turut menyaksikan laut surut, lantas mungkin kita tinggal nama, dan mungkin terpampang di dinding museum di ruang tinggi menjulang dengan nama-nama para syuhada.
Setelah Tsunami Reda
Aku naik ke lantai dua, karena tak ada yang tersisa di tanah. Apapun tak lagi bisa dikenali, kebun-kebun menghilang, berganti kepingan rumah, pepohonan dan kawat menjuntai dipenuhi para korban luka.
Sementara kabar teman selamat dari kota bercerita, tentang patahan didasar samudera, yang memancing, dan menyurutkan air laut surut dengan cepat. Rentang waktu tak kurang beberapa menit, seluruh daratan, pantai tiba-tiba airnya menyurut hingga satu kilometer jauhnya.
Ketika itu ikan, permukaan pantai berkarang, yang sembunyi dalam deru ombak, dan tak pernah terlihat tiba-tiba mengering. Ribuan orang bersuka cita berlarian berebut ikan-ikan yang menggelepar, ribuan jumlahnya.
Namun selang beberapa menit, air laut berketinggian 30 meter, begitu cepat laksana jet, berkecepatan 100 mps atau 360 km/jam dengan suara dentuman menyerbu daratan.
Daratan pantai-pantai Aceh dengan cepat tersapu gelombang dahsyat, dalam hitungan menit korban yang kemudian ditemukan tak lagi berbilang, tak kurang 170.000 orang menjadi syuhada. Di Samudra Hindia, Sumatra, Kepulauan Andaman, Thailand, India Selatan, Sri Lanka, sebagian Afrika, sekitar 230.000 orang tak diketahui nasibnya dalam gelombang, hingga 14 negara banyaknya. Bangunan di pantai lebur-hancur, hingga lima kilometer jauhnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!