tabengan.com
Menjadi seorang koruptor di Indonesia, rasanya begitu istimewa. Terutama karena mereka punya :privilege, semacam hak istimewa tapi tidak pada tempatnya alias privilege salah kaprah!.Â
Coba bandingkan  dengan maling ayam, begitu tertangkap langsung digebuk massa sampai babak belur, padahal barang curiannya tidak material. Okelah,  anggap saja persoalannya bukan pada "barang curian", tapi pada perilaku "mencuri", maka pencurian sebesar zarah alias atom pun harus ada konsekuensi yang ditanggung.Â
![bisnis.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/12/19/antarafoto-aksi-hari-anti-korupsi-091219-ms-1-2-61be26dc157395572261b952.jpg?t=o&v=770)
Jika "maling ayam" mencuri, bisa jadi karena hendak dijual kembali, dan ditukar dengan beras. Bahkan ditukar minuman tuak bagi yang pemabuk juga cuma jadi seteguk. Malang bagi yang pemadat, sudah mencuri, digebuki, uang hasil jualannya tak cukup beli selinting ganja, apalagi seampul sabu.Â
Bahkan beli se-ons udang sabu saja tak cukup. Artinya kejahatan itu berkaitan dengan urusan pusat ke atas (baca; area perut), bisa perut sendiri, bisa perut anaknya, atau perut anak bini. Cukuplah untuk makan sehari.
Istimewanya Para Koruptor
Bagaimana dengan para koruptor?
Sebuah buku terbitan Ormas Islam terbesar di Indonesia dilabeli, Koruptor Itu Kafir (September;2010), Nah. Padahal kafir itu biasanya dikaitkan dengan perilaku kita menyekutukan Tuhan. Itu artinya kerja seorang koruptor setara dengan kejahatan menyekutukan Tuhan, susah diampuni kecuali dengan Tobat Nasyuha.-tobat serius.Â
Lantas jika seorang koruptor menjadi kafir gara-gara barang curian yang nilai milyaran dan triliunan, apakah iya jika ia dipenjara, maka semua uang hasil korupsinya menjadi halal?.
Kejahatan korupsi itu kejahatan- eksta ordinary crimes, Â jenis kejahatan istimewa. Korbannya, bisa jadi seluruh rakyat Indonesia, atau rakyat satu propinsi atau satu kabupaten, atau satu instansi.Â
Mengapa bisa begitu?.Â
Bayangkan saja, jika dana bantuan untuk mengatasi anak-anak penderita stunting di wilayah Indonesia Timur di korupsi, itu sama saja artinya kita mengurangi jatah seluruh anak-anak penderita stunting di Indonesia timur yang luas sekali.Â
Jika, semestinya anak-anak penderita stunting mendapat satu kaleng susu bubuk merek platinum XYZ, lantas dimanipulasi, diganti dengan merek BCD, turun kelas dan kualitas. Harusnya mereka mendapat sekarung beras 50 kilo, dikurangi jatah menjadi 5 kilo itupun beras bulog paling KW bercampur belatung dan kumbang beras. Betapa jahatnya perbuatan itu.
Tapi apa konsekuensi yang didapat para koruptor?. Apakah ia digelandang dengan tangan terikat setelah dipukuli ramai-ramai, apakah ia dipenjara dalam prodeo yang padat sehingga jatah per 5,4 meter luas penjara diisi dua atau tiga tahanan.Â
Lihatlah aturan luas kamar tahanan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM tahun 2003, tentang pola bangunan unit pelaksana teknis menyatakan standar luas hunian pada lapas maupun rumah tahanan minimal 5,4 meter persegi.
Di Penjara Sukamiskin, dari 556 kamar yang terdiri atas tiga tipe yakni kecil, sedang, dan besar. Hanya 93 kamar yang dinyatakan telah memenuhi standar apabila mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM tahun 2003. Itu artinya ada 463 kamar tidak sesuai peruntukan. Detil rinciannya sebagai berikut;Â
Pertama; kamar tahanan kecil, ukurannya bervariasi mulai 250 cm x 160 cm, 250 cm x 57 cm, 252 cm x 160 cm, 257cm x 156 cm. Mayoritas berada di lantai bawah dengan totalnya 463 sel.Â
Kedua; Kamar berukuran sedang, memiliki ukurannya 309 cm x 250 cm, 323 cm x 240 cm, 325 cm x 245 cm. Kamar sel ini berada di lantai dua dengan total 41 sel. Â
Ketiga; sel yang berukuran besar; yakni 324 cm x 250 cm, 329 cm x 250 cm, 330 cm x 252 cm dan 540 cm x 247 cm. Sel besar ini memiliki 52 ruangan.
Dimana para koruptor ditempatkan?. Di kamar ukuran paling besar, bahkan menurut sumber pemburu berita, kamar itu masih dibobok lagi agar lebih luas, plus fasilitas layaknya mini apartemen.Â
Mengapa mereka "rela" digelandang?. Cara itu adalah formalitas kepada publik bahwa kejahatan telah diungkap, hukum telah dijalankan sesuai amanat undang-undang. Sehingga kompensasinya adalah "kebebasan" jika selesai menjalani masa hukuman.
Mengapa Koruptor Tersenyum?
Inilah contoh perilaku mereka yang sangat "menyakitkan" bagi upaya kita memberantas korupsi, yang tak akan pernah berhenti, dan juga tak akan pernah berhasil. Apalagi sejak kasus "cicak versus buaya", para koruptor jelas menunjukkan jati diri kepada publik, siapa mereka dan betapa kuatnya mereka.Â
Bahkan lembaga anti rasuh paling "keren" di Indonesia, KPK diobok-obok, di isi petinggi baru yang semuanya makin membuat publik tak mengenali, apakah itu lembaga KPK yang dulu kita punya?.
Para koruptor mendapat "hak privilege" yang "diciptakan dan dipaksakan" sebagai warga kelas satu. Berbeda dengan maling ayam yang dikejar untuk digebuk, koruptor di kejar wartawan untuk di foto.
Hak istimewa sosial atau privilese sosial merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, namun tidak dimiliki oleh pihak lainnya. Hak ini bisa muncul dari hasil stratifikasi sosial dengan adanya perbedaan akses untuk memperoleh barang dan mendapatkan layanan yang sama.
Pertama; Digelandang layaknya artis
Sejak di gelandang KPK dari ruang lobby hotel, dari rumah, dari apartemen, dari rumah istri kedua, ketiga dan seterusnya, dari tempat plesiran, dengan prosedur Operasi Tangkap Tangan (OTT). Senyum selalu mengembang-ada yang bilang cengengesan, ketika diburu wartawan. Dengan rompi orange yang bikin tambah percaya diri, bertulisan bordir tebal di punggung "Tahanan KPK".
Lantas sidang diundur karena pemeriksaan berkas, karena sakit dadakan. Bahkan dalam kasus koruptor yang benjol gara-gara menabrak tiang listrik yang tak bersalah, lantas dirawat inap dengan diagnosa hipertensi, vertigo dan diabetes, semua percaya pada tipu muslihat itu.Â
Meskipun pada akhirnya ia mengakui bahwa benar ia bersalah. Pertama, menabrak tiang yang tidak bersalah, dan kedua melakukan tindak korupsi maha dasyat. Semua itu akan dikurangi dengan masa tahanan setelah ketuk palu.(kabar24.bisnis.com)
Kedua; Tinggal di Prodeo Bintang 5
Bayangkan saja, sebuah prodeo tidak saja dilengkapi gadget, jaringan tivi dan komunikasi satelit, fasilitas mini bar, fitness center mini, dan mini badroom luks, maka jadilah prodeo layaknya sebuah mini apartemen. Dan uniknya akses ke prodeo itu luar biasa susahnya, karena harus "dikondisikan" dengan jenis tamunya.
Ketiga; Fasilitas Wisata Plesiran by order
JIka jenuh bisa menggelontorkan "uang titipan", yang nilainya bisa 12 bulan gaji sipir penjara sekali keluar plesiran. Maka tak heran jika bertemu koruptor pajak tengah menonton pertandingan tenis  Wimbledon dengan wig palsu tanpa merasa risih dan bersalah. Atau mampir ke Selandia Baru di waktu weekend, melihat salju turun dan seninnya sudah nangkring kembali di prodeo. Betapa luar biasa hidupnya, plesiran bisa di pesan.
Keempat; Grasi istimewa di Hari Istimewa
Mulai dari bonus grasi 17 Agustusan, Idul Fitri, Natalan hingga karena berperilaku baik selama di tahanan. Ada yang membuat buku, ada yang mengaji, ada yang zikir  tidak henti, ada yang melatih kerajinan, ada yang memanfaatkan keahlian sebagai mentor lintas ilmu, apa saja selama itu dianggap sebagai "passport"-jalan keluar mengurangi masa hukuman.
Kelima; Menerima tawaran Whistle Blower sebagai dispensasi hukuman
Mau tidak mau harus ada "teman" yang dikorbankan, setelah sebelumnya dijanjikan persenan pensiun, minimal cukup untuk dua turunan. Maka mulailah ia berkokok menyebut nama-nama yang mesti harus diseret bersamanya. (dengan fasilitas 4 di atas, sehingga tak perlu berkecil hati).
Keenam; Memilih Tahanan 5 Tahun Demi Hak Politik
Politisi ini sangat takut jika hak politiknya dicabut, mereka bersedia diseret ke meja hijau dengan masa hukuman 5 tahun daripada kehilangan haknya berpolitiknya, jika kelak masih berkeinginan masuk ke dunia politik atau menjadi warga Negara kelas utama. Ingat para penjahat kerah putih adalah mereka yang sangat memahami seluk beluk undang-undang sehingga ia tak perlu kuatir jika harus berurusan dengan pelanggaran pasal-pasalnya.Â
Lantas bagaiman publik yang diluar yang sudah merasa permisif?. Begitu tahanan (mantan tahanan) keluar penjara, sudah disiapkan jemputan, kursi kekuasaan yang lama ditinggalkan dibersihkan, dan perusahaan yang kini bisa dioperasikan dengan namanya sendiri tanpa perlu nama Alias.
Amboi indahnya hidupnya. Sementara para pendukungnya adalah para penjilat yang bahkan gajinya harus diambil setelah jungkir balik banting tulang.
Itulah mengapa begitu banyak orang tergoda untuk korupsi, menghambur uang, menetap di prodeo, karena semuanya akan menjadi begitu mudah dijalani. Pemerintah lebih merasa "ikhlas" menambah jumlah penjara daripada "menghilangkan" para koruptor dari Indonesia. Â Itulah mengapa beda sekali penampilan koruptor di Indonesia-negara kita dengan di China.
Koruptor dengan seragam hitam, bermuka masam dan kusut sekalipun cantik, karena mereka tahu sidang-sidang meja hijau itu hanya penundaan sementara mereka dari hukuman mati yang akan diputuskan di pengadilan resmi. Maka penjara-penjara di China hanya diisi para penjahat, tapi bukan para penjahat ekstra ordinary. Negara dengan lebih dari 1,5 milyar penduduk jika menolerir koruptor, maka hanya akan memenuhi penjara dengan "sampah masyarakat".
Menanggung konsekuensi  memberi makan, tiga kali sehari-minimal seumur hidup. JIka rata-rata mereka berumur panjang, maka pemerintah akan tekor, maka dengan sistem punishment-hukuman mati, penjara hanya ditempati orang-orang  dengan kejahatan normal manusia.
Hukum Dengan Penal Populism?
Bagaimana jika Indonesia memberlakukan jenis hukuman serupa dengan China?. Jelas saja hampir mustahil, mengapa?. Alasannya sederhana, ketika para pengagas dan pengesah undang-undang adalah juga mereka yang berpeluang menjadi pelaku, maka mereka jauh-jauh hari telah menyiapkan "pelampung" jika sesekali mereka tenggelam.Â
Maka undang-undang mereka rancanag, harus bisa "menyelamatkan" mereka. Padahal jika komitmen dan integritas mereka ada dalam idealis setiap undang-unang, maka mereka akan mengesahkan sebuah undang-undang yang langsung ke sasaran untuk menyelamatkan Negara dari para tikus berdasi, yang makan di lumbung padi sendiri, dengan hukuman mati.
Namun Institute Criminal Justice Reform (ICJR), berpendapat pemerintah agar berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan pemberantasan korupsi. Menurut ICJR, hukuman keras selama ini tidak menunjukkan hasil yang diharapkan.Â
Pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Semacam tindakan preventif. Namun sesungguhnya juga sangat riskan dengan kondisi korupsi dan aturan hukum yang lemahnya sudah akut.
Agenda melanggengkan budaya Penal Populism merupakan penghalang terbesar dalam perumusan kebijakan rasional yang berbasis bukti [evidence-based policy].Â
Penal populism secara singkat dapat berarti bentuk kebijakan penghukuman yang keras yang diambil berdasarkan tren sikap masyarakat untuk kepentingan politis semata. Fenomena ini mempunyai dampak buruk yang merusak proses reformasi kebijakan pidana.
John Pratt, Ahli Penalogi mendefenisikan Penal Populism sebagai fenomena ketika kebijakan penghukuman yang keras diambil dengan mengikuti tren populer dari sikap masyarakat dan dengan memanfaatkan rasa gundah masyarakat karena maraknya kejahatan untuk kepentingan politis.Â
Sehingga, pengambilan kebijakan pemidanaan yang bersifat populis bukan bertujuan untuk memperbaiki sistem yang ada karena tanpa disertai pertimbangan-pertimbangan rasional, pelibatan ahli, atau hasil penelitian yang valid, namun semata-mata dilakukan hanya untuk memperoleh simpati dari masyarakat. (icjr.co.id)
Sebuah dilema hukum yang masih belum berpangkal. Padahal betapa panjangnya daftar pejabat "pengidap" pesakitan tindak tipikor itu, yang mestinya di "euthanasia hukum". Coba lihat hasil sebuah survey yang dilakukan Tempo, selama kurun waktu 2004 hingga Mei 2020, KPK mencatat 397 Pejabat politik terjerat korupsi.Â
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono mengatakan, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif tersebut mencapai 36 persen dari total perkara yang ditangani KPK, atau 397 perkara. Kasusnya melibatkan pejabat politik. Anggota DPR/DPRD 257, wali kota/bupati 119. Hingga Mei 2020, terdapat 21 gubernur yang ditangani dalam kurun waktu tersebut.
Data Indonesia Corruption Watch menguatkan dengan menggabungkan jumlah kasus yang ditangani KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, ada 253 kepala daerah dan 503 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Selain itu, data KPK juga menunjukkan bahwa kasus korupsi telah terjadi di 27 dari 34 provinsi se-Indonesia selama 2004-2020. (tempo.com).
Betapa kasus-kasus itu menyebabkan triliun uang menguap, dan milyaran uang untuk mengurus mereka sejak ditangkap hingga mereka mendekam di penjara-penjara prodeo bintang 5. Apakah Pemerintah tidak lelah?. Jelas, tapi uang "panas" itu seperti lingkaran setan berputar di sekitaran para kerah putih. JIka sekarang  pejabat A, besok gentian pejabat B yang menghuni, begitu seterusnya seperti siklus musim yang berganti setiap saat.
Korupsi berasimilasi, bermetamorfosa mengikuti undang-undang yang dibuat para pejabat, selama undang-undang memperlakukan mereka sebagai warga Negara istimewa dan memperlakukan hukum standari ganda , maka korupsi akan makin cetar membahana, Koruptor akan bergantian.
Kapan jadinya para koruptor itu jera dan pemerintah merasa jengah?. Jika para wakil rakyat di gedung dewan tidak tidur diwaktu rapat dan sepakat mengetuk palu mengadopsi cara penyelesaian ala negeri tirai bambu. Jika itu benar terjadi, maka keajaiban dunia akan bertambah satu lagi ke-9. Indonesia negeri tanpa koruptor!!.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI