Sebuah dilema hukum yang masih belum berpangkal. Padahal betapa panjangnya daftar pejabat "pengidap" pesakitan tindak tipikor itu, yang mestinya di "euthanasia hukum". Coba lihat hasil sebuah survey yang dilakukan Tempo, selama kurun waktu 2004 hingga Mei 2020, KPK mencatat 397 Pejabat politik terjerat korupsi.Â
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono mengatakan, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif tersebut mencapai 36 persen dari total perkara yang ditangani KPK, atau 397 perkara. Kasusnya melibatkan pejabat politik. Anggota DPR/DPRD 257, wali kota/bupati 119. Hingga Mei 2020, terdapat 21 gubernur yang ditangani dalam kurun waktu tersebut.
Data Indonesia Corruption Watch menguatkan dengan menggabungkan jumlah kasus yang ditangani KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, ada 253 kepala daerah dan 503 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Selain itu, data KPK juga menunjukkan bahwa kasus korupsi telah terjadi di 27 dari 34 provinsi se-Indonesia selama 2004-2020. (tempo.com).
Betapa kasus-kasus itu menyebabkan triliun uang menguap, dan milyaran uang untuk mengurus mereka sejak ditangkap hingga mereka mendekam di penjara-penjara prodeo bintang 5. Apakah Pemerintah tidak lelah?. Jelas, tapi uang "panas" itu seperti lingkaran setan berputar di sekitaran para kerah putih. JIka sekarang  pejabat A, besok gentian pejabat B yang menghuni, begitu seterusnya seperti siklus musim yang berganti setiap saat.
Korupsi berasimilasi, bermetamorfosa mengikuti undang-undang yang dibuat para pejabat, selama undang-undang memperlakukan mereka sebagai warga Negara istimewa dan memperlakukan hukum standari ganda , maka korupsi akan makin cetar membahana, Koruptor akan bergantian.
Kapan jadinya para koruptor itu jera dan pemerintah merasa jengah?. Jika para wakil rakyat di gedung dewan tidak tidur diwaktu rapat dan sepakat mengetuk palu mengadopsi cara penyelesaian ala negeri tirai bambu. Jika itu benar terjadi, maka keajaiban dunia akan bertambah satu lagi ke-9. Indonesia negeri tanpa koruptor!!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H