Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keajaiban Dunia ke-9; Indonesia Negeri Tanpa Koruptor

19 Desember 2021   01:23 Diperbarui: 20 Desember 2021   15:09 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koruptor dengan seragam hitam, bermuka masam dan kusut sekalipun cantik, karena mereka tahu sidang-sidang meja hijau itu hanya penundaan sementara mereka dari hukuman mati yang akan diputuskan di pengadilan resmi. Maka penjara-penjara di China hanya diisi para penjahat, tapi bukan para penjahat ekstra ordinary. Negara dengan lebih dari 1,5 milyar penduduk jika menolerir koruptor, maka hanya akan memenuhi penjara dengan "sampah masyarakat".

Menanggung konsekuensi  memberi makan, tiga kali sehari-minimal seumur hidup. JIka rata-rata mereka berumur panjang, maka pemerintah akan tekor, maka dengan sistem punishment-hukuman mati, penjara hanya ditempati orang-orang  dengan kejahatan normal manusia.

Hukum Dengan Penal Populism?

Bagaimana jika Indonesia memberlakukan jenis hukuman serupa dengan China?. Jelas saja hampir mustahil, mengapa?. Alasannya sederhana, ketika para pengagas dan pengesah undang-undang adalah juga mereka yang berpeluang menjadi pelaku, maka mereka jauh-jauh hari telah menyiapkan "pelampung" jika sesekali mereka tenggelam. 

Maka undang-undang mereka rancanag, harus bisa "menyelamatkan" mereka. Padahal jika komitmen dan integritas mereka ada dalam idealis setiap undang-unang, maka mereka akan mengesahkan sebuah undang-undang yang langsung ke sasaran untuk menyelamatkan Negara dari para tikus berdasi, yang makan di lumbung padi sendiri, dengan hukuman mati.

Namun Institute Criminal Justice Reform (ICJR), berpendapat pemerintah agar berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan pemberantasan korupsi. Menurut ICJR, hukuman keras selama ini tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. 

Pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Semacam tindakan preventif. Namun sesungguhnya juga sangat riskan dengan kondisi korupsi dan aturan hukum yang lemahnya sudah akut.

Agenda melanggengkan budaya Penal Populism merupakan penghalang terbesar dalam perumusan kebijakan rasional yang berbasis bukti [evidence-based policy]. 

Penal populism secara singkat dapat berarti bentuk kebijakan penghukuman yang keras yang diambil berdasarkan tren sikap masyarakat untuk kepentingan politis semata. Fenomena ini mempunyai dampak buruk yang merusak proses reformasi kebijakan pidana.

John Pratt, Ahli Penalogi mendefenisikan Penal Populism sebagai fenomena ketika kebijakan penghukuman yang keras diambil dengan mengikuti tren populer dari sikap masyarakat dan dengan memanfaatkan rasa gundah masyarakat karena maraknya kejahatan untuk kepentingan politis. 

Sehingga, pengambilan kebijakan pemidanaan yang bersifat populis bukan bertujuan untuk memperbaiki sistem yang ada karena tanpa disertai pertimbangan-pertimbangan rasional, pelibatan ahli, atau hasil penelitian yang valid, namun semata-mata dilakukan hanya untuk memperoleh simpati dari masyarakat. (icjr.co.id)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun