Pertama; Aceh sejahtera setidaknya telah menawarkan sebuah solusi mutakhir tentang bagaimana melayani publik hingga ke akar yang paling bawah. Layanan kesehatan adalah sebuah pemenuhan hak azasi publik yang menyiratkan bahwa pemerintah bertanggungjawab kepada rakyatnya. Berupaya sebisanya menanggung beban sebagai "pelayan masyarakat". Pemerintah Aceh telah  melengkapinya dengan JKA Plus. Sebuan akses layanan kesehatan yang lebih mudah, berkualitas dan terintegrasi, termasuk santunan dan perhatian bagi paral ansia. Hanya saja optimalisasi rumah sakit yang representatif di setiap kabupaten harus menjadi perhatian serius. Konon lagi dengan ketersediaan dana Otsus. Sangat memungkinkan jika setiap kabupaten memiliki rumah sakit yang representatif, sehingga beban layanan rumah sakit yang komprehensif tidak ditanggung sepenuhnya oleh Rumah Sakit Zainal Abidin sebagai rumah sakit propinsi yang selalu menjadi rujukan akhir.
Kedua; E-planning, E-budgeting adalah sebuah langkah transparansi, yang secara fundamental dimaksudkan untuk memupus titik lemah kita dalam merancang sebuah planning anggaran pembangunan.  Pengembangan sistem informasi digital, dimaksudkan meminimalisir tingkat kecurangan dan tindak koruptif. Jika seluruh lini sektor pembangunan dan layanan publik, dijamin oleh sebuah perangkat sistem yang terintegrasi, maka perubahan dan penyimpangan pembangunan yang tidak efektif di seluruh tingkatan pemerintahan, dapat ter update dan terdeteksi secara cepat. Akses yang dipermudah adalah sebuah cara  untuk control atau manajemen audit yang sangat dibutuhkan untuk mengontrol  anggaran dan implementasinya.
Ketiga; Disisi lain Aceh Carong, adalah upaya capacity building untuk membangun daya saing Aceh di tingkat regional, nasional dan internasional. Dengan sumber daya yang dibekali kemampuan dan kerampilan melalui pendidikan vokasional formal dan non formal. Termasuk dengan melibatkan dayah baik salafi maupun modern sebagai institusi pendidikan tradisional. Garda pendidikan karakter terpenting yang berimpitan langsung dengan masyarakat tradisional dan modern. Dayah mencerminkan citarasa akar budaya Aceh yang hakiki.
Persoalan lokasi terpencil, terasing dan terisolir berkaitan dengan tingkat pemerataan yang belum seimbang, terutama tingkat kompetensi guru yang harus menjadi kebijakan penting dalam tata kelola pendidikan kita.
Jenjang Belajar Sembilan tahun yang belum merata, berkaitan juga dengan tingkat kemampuan sosial ekonomi yang masih menjadi kendala bagi kelompok menengah-bawah untuk mengakses pendidikan sebagai prasyarat Aceh maju dan terbebas dari buta aksara. Sebuah mimpi Aceh Hebat berangkat dari langkah kecil tersebut, sehingga seluruh komponen masyarakat dapat berkontribusi optimal untuk menyumbang kemampuan memajukan Aceh dari sisi dan batas kemampuan terbaiknya.
Keempat; Aceh Energi, sejalan dengan gagasan Aceh Investment Program (AIP), pemerintah mendorong investasi diseluruh lini termasuk sektor energi, dengan memberikan kemudahan layanan berinvestasi bagi para investor dan pihak swasta yang berminat. Persoalan energi listrik yang selalu menjadi ganjalan bagi Aceh adalah sebuah persoalan klasik dan laten yang harus disudahi dengan mendorong pembangunan energi bersih-terbarukan sebagai sebuah solusi. Berbagai alternatif yang didorong adalah energi terbarukan. Dan yang termutakhir adalah potensi pendayagunaan energi Panas Bumi Seulawah dan pembangkit listrik tenaga air (mini dan mikrohidro). Kerjasama yang telah dirintis antara Pemerintah Aceh melalui Badan Pengelola Migas Aceh(BPMA) dengan Pertagas dan Pemerintah Jerman, yang merupakan wujud amanat UUPA, realisasinya harus dikongkritkan untuk mengatasi persoalan krisis energi listrik. Ketersedian energi ini bermultiple effect pada peningkatan investasi baru dibidang ekonomi.
Kelima; Melalui program Aceh Meugoe dan Aceh Meulaot, potensi panjang garis pantai dan hasil tangkapan dan olahan ikan, menjadi potensi yang diharapkan akan menjadi sumber pendapatan pemerintah yang baru dan sumber ekonomi bagi masyarakat yang akan menarik sumber daya dan tenaga kerja kasar masuk dalam ruang kerja mengurangi angka kemiskinan.
Aceh dengan luasan lahan pertanian dan perkebunan yang dimilikinya juga berpeluang menjadi sentra swasembada berbagai jenis komoditi, polanya dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Pemerintah membuka kesempatan membuka pasar melalui skema eksport-import, sedangkan petani menyediakan komoditinya. Luasan Aceh masih memungkinkan dilakukan kebijakan membuka lahan sawah baru dan memenuhi ketersediaan irigasi dan intensifikasi berupa pemutakhiran alat bantu produksi paska panen.
Dalam kaitan dengan pengembangan perikanan, memperbaiki fasilitas dan tehnologi perikanan serta jaringan pemasarannya, seperti Pelabuhan Samudera Lampulo masih harus dioptimalkan. Swakelola oleh pemerintah sendiri harus lebih profesional secara manajerial, atau dengan melibatkan pihak ketiga untuk meningkatkan daya saing, untuk menjamin keberlangsungan investasi sektor perikanan dan kelautan Aceh kedepan.
Persoalan lain terkait jejaring ekonomi adalah ketersediaan telur dan daging sebagai bagian dari mata rantai pasokan (supplay chain) yang masih belum dapat kita penuhi secara optimal. Peran investor dangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan telur dan daging untuk Aceh setiap harinya masih dipasok dari propinsi tetangga. Sementara ketersediaan di tingkat lokal masih belum memadai, sehingga ketergantungan ini secara ekonomis menguntungkan pihak lain, karena jumlah komoditi yang beredar juga berkaitan dengan tingkat serapan ekonomi di Aceh saat ini.
Peningkatan nilai tambah dan akses pasar terhadap produk pertanian, peternakan dan perikanan mampu menyerap tenaga kerja yang besar dan nilai tambah bagi pendapatan petani. Penjualan komoditi mentah, hanya akan memberikan nilai tambah bagi pihak ketiga, sedangkan pengolahan menjadi produk jadi memberi nilai tambah secara ekonomis dan menyerap tenga kerja, menurunkan kemiskinan, meningkatkan daya beli dan mengairahkan pasar dengan tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat produksi yang berjalan normal.