DW
Institusi politik-ekonomi yang inklusif merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk meraih kemakmuran yang berkelanjutan. Rezim pemerintahan yang baik dalam suatu negara, bisa membuat negara tersebut melejit dengan pesat dan menikmati manfaat dari lingkaran kebijakan. Sementara rezim yang buruk, perlahan-lahan akan menyeret negaranya dalam siklus lingkaran setan masalah yang tak berujung.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson-pakar pembangunan dunia
Semua gara-gara politik!. Secara provokatif kedua pakar itu ingin menegaskan bahwa hal yang menyebabkan kaya atau miskin suatu bangsa bukanlah faktor geografis atau budaya, melainkan institusi dan politik. Â Pemerintah atau sebuah rezim harus mampu menunjukkan "political will" mereka untuk mengatasi krisis pembangunan yang ada.
Pandangan publik selalu bertumpu pada bagaimana elite penguasa mengutak-atik peraturan demi kepentingannya sendiri dan mengorbankan orang banyak, selama pembangunan tidak berjalan dengan semestinya. Dengan kata lain betapapun baiknya gagasan dan kebijakan ekonomi suatu bangsa, tidak akan mencapai hasil yang maksimal jika tidak diiringi dengan perubahan politik secara fundamental.
Senang tidak senang, otokritik yang coba digulirkan oleh Mantan Menteri Ekonomi Indonesia, Rizal Ramli dalam forum Indonesia Lawyer Club (ILC), harus disikapi dengan kepala dingin. Bahwa menyikapi persoalan Papua dengan bercermin pada Aceh, belum sepenuhnya dianggap sebuah pilihan solusi yang tepat. Apakah lantas kita membantah dengan keras, bahwa apa yang disampaikan oleh Rizal Ramli yang notabene juga berasal dari Aceh sebagai sebuah kesalahan narasi dan wacana?. Atau realitas otokritik itu sungguh sedang dialami dan dilakukan oleh kita?.
Membangun narasi Aceh Hebat dalam bingkai politik-ekonomi yang inklusif, sebagaimana digagas oleh Daron dan James, agaknya harus dicermati sebagai sebuah solusi yang konklusif, brilian, sangat kental karakter ke-Acehannya dan yang terpenting membumi, bukan cek langet.
Bahwa lingkaran setan masalah yang selalu kita hadapi setiap tahun berkaitan dengan pembangunan Aceh, ketersediaan dana, apakah APBA, Otsus, Bagi Hasil Migas, masih berkait erat dengan sengkarut ketidaksepahaman antara eksekutif dan legislatif yang muaranya adalah politik atau lebih tepatnya dibahasakan sebagai politik kepentingan.
Tentu saja kita tidak ingin lingkaran itu akan membelit menjadi benang kusut tanpa ujung. Ada kalanya sebuah rekonsiliasi, bisa saja sebuah revolusi menjadi titik balik dari semua masalah. Mencari dan memahami titik masalah, bukan mencari kesalahan masing-masing pihak, menjadi jalan keluar yang bijaksana membangun sebuah Aceh Baru. Lebih satu dasawarsa lalu telah diwacanakan dalam Konsorsium Aceh Baru, dan kini dalam kaitan momentum Aceh 2020-2025. Momentum perubahan, menjawab pertanyaan besar, akan dibawa kemana Aceh dalam lima tahun mendatang dalam guliran dana berlimpah yang harus dioptimalkan, diberdayakan untuk tinggal landas. Setidaknya gagasan Aceh Hebat menemukan momentum yang tepat, terutama dengan ketersediaan sisa Otsus sebagai jaminannya.
Apa yang sudah digagas pemerintah melalui Aceh Hebat sesungguhnya adalah sebuah lompatan pencapaian dari sebuah solusi gagasan perbaikan atau reinventing, yang sejalan dengan paradigma yang dibangun Daron dan James, bahwa pemerintah harus memainkan peran dalam ekonomi-politik secara inklusif untuk memupus masalah dan melejitkan Aceh. Pemerintah berupaya menjamah semua sisi layanan untuk sebuah mimpibesar Aceh Hebat.
Lima Belas Konklusi
Pertama; Aceh sejahtera setidaknya telah menawarkan sebuah solusi mutakhir tentang bagaimana melayani publik hingga ke akar yang paling bawah. Layanan kesehatan adalah sebuah pemenuhan hak azasi publik yang menyiratkan bahwa pemerintah bertanggungjawab kepada rakyatnya. Berupaya sebisanya menanggung beban sebagai "pelayan masyarakat". Pemerintah Aceh telah  melengkapinya dengan JKA Plus. Sebuan akses layanan kesehatan yang lebih mudah, berkualitas dan terintegrasi, termasuk santunan dan perhatian bagi paral ansia. Hanya saja optimalisasi rumah sakit yang representatif di setiap kabupaten harus menjadi perhatian serius. Konon lagi dengan ketersediaan dana Otsus. Sangat memungkinkan jika setiap kabupaten memiliki rumah sakit yang representatif, sehingga beban layanan rumah sakit yang komprehensif tidak ditanggung sepenuhnya oleh Rumah Sakit Zainal Abidin sebagai rumah sakit propinsi yang selalu menjadi rujukan akhir.
Kedua; E-planning, E-budgeting adalah sebuah langkah transparansi, yang secara fundamental dimaksudkan untuk memupus titik lemah kita dalam merancang sebuah planning anggaran pembangunan.  Pengembangan sistem informasi digital, dimaksudkan meminimalisir tingkat kecurangan dan tindak koruptif. Jika seluruh lini sektor pembangunan dan layanan publik, dijamin oleh sebuah perangkat sistem yang terintegrasi, maka perubahan dan penyimpangan pembangunan yang tidak efektif di seluruh tingkatan pemerintahan, dapat ter update dan terdeteksi secara cepat. Akses yang dipermudah adalah sebuah cara  untuk control atau manajemen audit yang sangat dibutuhkan untuk mengontrol  anggaran dan implementasinya.
Ketiga; Disisi lain Aceh Carong, adalah upaya capacity building untuk membangun daya saing Aceh di tingkat regional, nasional dan internasional. Dengan sumber daya yang dibekali kemampuan dan kerampilan melalui pendidikan vokasional formal dan non formal. Termasuk dengan melibatkan dayah baik salafi maupun modern sebagai institusi pendidikan tradisional. Garda pendidikan karakter terpenting yang berimpitan langsung dengan masyarakat tradisional dan modern. Dayah mencerminkan citarasa akar budaya Aceh yang hakiki.
Persoalan lokasi terpencil, terasing dan terisolir berkaitan dengan tingkat pemerataan yang belum seimbang, terutama tingkat kompetensi guru yang harus menjadi kebijakan penting dalam tata kelola pendidikan kita.
Jenjang Belajar Sembilan tahun yang belum merata, berkaitan juga dengan tingkat kemampuan sosial ekonomi yang masih menjadi kendala bagi kelompok menengah-bawah untuk mengakses pendidikan sebagai prasyarat Aceh maju dan terbebas dari buta aksara. Sebuah mimpi Aceh Hebat berangkat dari langkah kecil tersebut, sehingga seluruh komponen masyarakat dapat berkontribusi optimal untuk menyumbang kemampuan memajukan Aceh dari sisi dan batas kemampuan terbaiknya.
Keempat; Aceh Energi, sejalan dengan gagasan Aceh Investment Program (AIP), pemerintah mendorong investasi diseluruh lini termasuk sektor energi, dengan memberikan kemudahan layanan berinvestasi bagi para investor dan pihak swasta yang berminat. Persoalan energi listrik yang selalu menjadi ganjalan bagi Aceh adalah sebuah persoalan klasik dan laten yang harus disudahi dengan mendorong pembangunan energi bersih-terbarukan sebagai sebuah solusi. Berbagai alternatif yang didorong adalah energi terbarukan. Dan yang termutakhir adalah potensi pendayagunaan energi Panas Bumi Seulawah dan pembangkit listrik tenaga air (mini dan mikrohidro). Kerjasama yang telah dirintis antara Pemerintah Aceh melalui Badan Pengelola Migas Aceh(BPMA) dengan Pertagas dan Pemerintah Jerman, yang merupakan wujud amanat UUPA, realisasinya harus dikongkritkan untuk mengatasi persoalan krisis energi listrik. Ketersedian energi ini bermultiple effect pada peningkatan investasi baru dibidang ekonomi.
Kelima; Melalui program Aceh Meugoe dan Aceh Meulaot, potensi panjang garis pantai dan hasil tangkapan dan olahan ikan, menjadi potensi yang diharapkan akan menjadi sumber pendapatan pemerintah yang baru dan sumber ekonomi bagi masyarakat yang akan menarik sumber daya dan tenaga kerja kasar masuk dalam ruang kerja mengurangi angka kemiskinan.
Aceh dengan luasan lahan pertanian dan perkebunan yang dimilikinya juga berpeluang menjadi sentra swasembada berbagai jenis komoditi, polanya dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Pemerintah membuka kesempatan membuka pasar melalui skema eksport-import, sedangkan petani menyediakan komoditinya. Luasan Aceh masih memungkinkan dilakukan kebijakan membuka lahan sawah baru dan memenuhi ketersediaan irigasi dan intensifikasi berupa pemutakhiran alat bantu produksi paska panen.
Dalam kaitan dengan pengembangan perikanan, memperbaiki fasilitas dan tehnologi perikanan serta jaringan pemasarannya, seperti Pelabuhan Samudera Lampulo masih harus dioptimalkan. Swakelola oleh pemerintah sendiri harus lebih profesional secara manajerial, atau dengan melibatkan pihak ketiga untuk meningkatkan daya saing, untuk menjamin keberlangsungan investasi sektor perikanan dan kelautan Aceh kedepan.
Persoalan lain terkait jejaring ekonomi adalah ketersediaan telur dan daging sebagai bagian dari mata rantai pasokan (supplay chain) yang masih belum dapat kita penuhi secara optimal. Peran investor dangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan telur dan daging untuk Aceh setiap harinya masih dipasok dari propinsi tetangga. Sementara ketersediaan di tingkat lokal masih belum memadai, sehingga ketergantungan ini secara ekonomis menguntungkan pihak lain, karena jumlah komoditi yang beredar juga berkaitan dengan tingkat serapan ekonomi di Aceh saat ini.
Peningkatan nilai tambah dan akses pasar terhadap produk pertanian, peternakan dan perikanan mampu menyerap tenaga kerja yang besar dan nilai tambah bagi pendapatan petani. Penjualan komoditi mentah, hanya akan memberikan nilai tambah bagi pihak ketiga, sedangkan pengolahan menjadi produk jadi memberi nilai tambah secara ekonomis dan menyerap tenga kerja, menurunkan kemiskinan, meningkatkan daya beli dan mengairahkan pasar dengan tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat produksi yang berjalan normal.
Keenam; Aceh Troe, paradigma pembangunan  Aceh harus beranjak dari ketahanan pangan menuju kemandirian pangan. Semua dimungkinkan jika produktifitas pertanian ditingkatkan dan kemudahan akses terhadap bahan pangan dapat dijangkau oleh semua lapisan. Imbas dari Aceh Meugo dan Aceh Melaot berdampak pada sisi ini. Perhatian terhadap pertanian rakyat ditingkat basis harus difokuskan pada persoalan laten; ketersediaan bibit, distribusi yang merata, pupuk dan obat pembasmi hama. Kemandirian pangan dan swasembada pangan dapat menurunkan ketergantungan impor kita dari pihak luar. Kebijakan pemerintah dibutuhkan unutk menjembatani kesenjangan yang ada.
Ketujuh; Aceh kreatif, mendorong potensi masing-masing wilayah berbasis sumber daya lokal dan memproteksinya. Sejalan dengan gagasan One Village One Produk atau gagasan kearifan lokal Pageu gampong. Gagasannya merupakan stimulant yang menjadi tradisi sekaligus kemandirian dengan mendorong komoditi dan potensi setiap gampong. Konektifitas antar gampong melalui basis pendataan yang baik dapat menjadi ledakan potensi ekonomi di masa depan. Terpetakannya  potensi memungkinkan pemerintah Aceh melakukan kerjasama dengan para pihak dan dapat memastikan kapasitas dan produksi yang ada.
Melakukan perlindungan atas produk-produk yang ada dan optimalisasi secara marketing, packaging dan branding, sehingga produk kita dapat bersaing. Sertifikasi produk dan pemberian HAKI atas kekayaan intelektual yang kita miliki menjadi jaminan dapat mendorong tumbunya industri kreatif baru yang potensial.
Kedelapan; Aceh Kaya, saudagar aceh sebagai branding atau merek yang pernah berjaya harus dihidupkan kembali dengan melahirkan rintisan bisnis atau start up yang dikembangkan oleh para entrepreneur muda Aceh. Â Bahkan pemerintah harus mendorong kelahiran petani muda Aceh. Bagaimana para entrepreneur muda Aceh tidak hanya pandai meracik dan mengolah kopi di 1000 kafe di seantero Aceh, namun juga harus didorong menjadi petani kopi professional. Dukungan kemudahan akses permodalan, ketrampilan dan pasar adalah langkah mula yang harus difasilitasi oleh pemerintah, dengan mendorong pihak ketiga, lembaga keuangan dan pembiayaan lokal untuk terlibat aktif dalam pembinaan dan dukungan modal usaha bagi para enterpreneur muda Aceh.Â
Kesembilan; Aceh pemulia, layanan publik yang mencerminkan kesyariatan dalam aplikasinya dengan mendorong layanan cepat, berkualitas dan amanah serta bebas pungli. Melalui sistem pengawasan dan penilaian kinerja atau sistem meritokrasi dan penguatan sumber daya yang berkompeten, merujuk pada Manajemen By Objektif, orang yang tepat pada tempat yang tepat.
Kesepuluh; Aceh Damai menjadi intisari dari paradigma bahwa iklim politik yang sehat adalah prasyarat pemerintah dapat melaksanakan UUPA sesuai prinsip Mou Helsinki secara konsisten dan komprhensif, yang mengarusutamakan damai sebagai basis berjalanya seluruh program pembangunan yang ada. Dan menguatkan akarnya dari ruang sekolah sebagai bagian pendidkan dini tentang perdamaian.
Kesebelas; Aceh Meuadab, mendorong khittah Aceh sebagai Serambi Mekkah, melalui implementasi nilai-nilai keislaman, menguatkan pendidikan berbasis moral, penguatan budaya masyarakat adat, dan penguatan eksisitensi kelembagan institusi keislaman. Keteladan para elite adalah panutan utamanya.
Keduabelas; Aceh Teuga, kaderesasi dan penguatan intensitas dan kualiatas pembinaan olah raga melalui berbagai event yang dilaksanakan oleh pemerintah Aceh, seperti Pekan Olahraga Aceh (PORA) menjadi tolok ukur meningkatnya prestasi.
Ketigabelas; pembangunan berkelanjutan sebagai kerangka ideal pembangunan yang seimbang dengan kelestarian alam. Gagasan Aceh green, moratorium logging adalah implementasi kongkrit yang dilakukan pemerintah Aceh.
Keempatbelas; ketersediaan rumah layak huni yang gencar dilakukan telah dibuktikan dengan membangun ribuan rumah yang diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu yang dilakukan secara bertahap untuk pemerataan dan keadilan.
Kelimabelas; Aceh, Seumeugot, pembangunan infrastruktur masih menjadi salah satu kendala dalam pembanguan secara nasional dan regional. Infrastruktur yang memadai menjadi daya ungkit bagi pembangunan ekonomi secara menyeluruh. Dibangunnya sarana dan prasarana seperti jalur kereta api, jalan layang untuk mengurai kemacetan adalah salah satu dari kemajuan yang telah dicapai oleh pemerintah hingga 2019 sekarang ini.
Untuk keluar dari krisis dan menjadi Aceh Hebat, Aceh bisa belajar dari kisah Korea Utara dan Korea Selatan. Mengapa kedua negara yang secara geografis, budaya, iklim sama, namun anehnya secara ekonomi mereka memiliki perbedaan yang mencolok. Korea Selatan masuk dalam kategori negara termakmur didunia, masyarakatnya menghargai  inovasi dan memberikan insentif untuk kreatifitas dan bakat warganya. Sebaliknya Korea Utara dengan pemerintah yang represif dan institusi ekonomi yang buruk, menyebabkan situasi yang tidak berubah menjadi lebih baik.
Realitas tersebut sekali lagi menegaskan bahwa faktor institusi politik dan ekonomi yang kondusif menjadi prasyarat penting  lahirnya kemakmuran dan kesejahteraan. Jauh meninggalkan paradigm lama faktor geografis, dan kondisi budaya menjadi penentu keberhasilan sebuah pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Dibutuhkan political will dari para elite di pemerintahan kita, agar momentum Aceh Baru 2020-2025 menjadi sebuah realitas, bukan utopia.
Melalui langkah kebijakan pemerintah yang brilian dengan Aceh Hebat, sesungguhnya keberhasilan ada pada kita semua. Semua berkewajiban menjadikan Aceh Hebat bukan hanya menjadi gincu dan slogan. Tentu dengan keras dan doa yang berketerusan, agar niatan mulia kita diijabah oleh yang Maha Murah dan Bijaksana. Krue Seumangat. [hans-acehdigest 2019].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H