"Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari. Hingga hilang pedih perih... Aku mau hidup seribu tahun lagi..."
Itulah puisi Chairil Anwar yang disisipkan Robi di penghujung penampilannya, jam dua pagi. Sejujurnya, jika grunge, atau setidaknya rock, di negeri ini dimainkan seperti Navicula semalam memainkannya, jangankan seribu tahun lagi, sampai matahari padam pun ia akan selalu terdengar. Akan selalu terasa. Menemani hidup kita semua. Memberi makna melalui tawa dan juga air mata.
Grunge Gods II, yang kali ini berlokasi di Prost Beer House di bilangan Kemang, seolah ingin mengukuhkan keinginan tersebut. Sebuah pertunjukan daya hidup dari band-band pengusung rock dan grunge yang meskipun hidup penuh penderitaan, disingkirkan dari hingar-bingarnya industri musik bernilai trilyunan rupiah, namun tetap menolak kematian. Bahkan pembuka upacara pemujaan kebebasan berkarya malam itu pun adalah Besok Bubar, rock band yang sesungguhnya sudah benar-benar bubar, namun bangkit dari kuburan demi menjawab panggilan Grunge Gods edisi kedua ini!
Membuka dengan Diskriminasi, Besok Bubar menggebrak audiens dengan kebebasan ekspresi. Amar, si vokalis berambut gondrong layaknya Cornell di era Louder Than Love, memuntahkan paru-parunya hingga puas.
Beberapa nomor milik sendiri dan Soundgarden digeber tuntas. Auidens yang masih terbilang adem-ayem pun mulai merespon. Tidak ganas memang. Belum ada yang terbang melayang seperti yang nanti terjadi berulang-ulang. Namun energi malam itu sudah mulai terasa membakar. Terlebih ketika Amar merelakan gitarnya digaruk oleh audiens di tepi panggung. Jadilah si gitar itu terombang-ambing di pelukan penonton. Meraung-raung tidak karuan dijamah oleh sekian banyak jemari, hingga akhirnya kembali ke pangkuan si pemilik. Untung kembali! Kalau tidak, benar-benar bubar deh!
Respito menjadi menu berikutnya. Rock band yang kerap mengkampanyekan batik ini menyuguhkan nomor-nomor beragam. Mulai Stone Temple Pilots hingga Pearl Jam. Mengundang gitaris tamu, mereka menunjukkan keberanian dengan membawakan Blood. Terus terang, menurut pendapat saya yang bukan musisi, ini adalah lagu yang sulit.
Namun yang benar-benar muncul ke permukaan adalah Freedom. Lagu cadas milik mereka sendiri. Mantap! Suara gitar yang menderu mengiringi jeritan vokal yang seolah menumpahkan semua kesangsian dalam jiwa. Melihat ekspresi wajah Pheps ketika meneriakkan "Freeeedoooommmm!!!", rasanya memang ada sesuatu yang penting, dan mendesak, yang ingin disampaikan. Sayangnya saya tidak tahu sama sekali bagaimana wujud lirik lagu ini secara lengkap.
Malam itu dilanjutkan dengan Sonic Death. Kehadiran vokalis cewek yang sekaligus pembetot bass di band ini sedikit menyejukkan audiens yang sudah menunjukkan tanda-tanda bakal kalap. Apalagi dia membuka dengan: "Oh ya, ini kenalkan..."
Gerrr... Sahutan-sahutan jail beterbangan di udara. Saya rasa malam itu memang banyak jomblo berkeliaran di sekitar panggung. Bagaimana mungkin ajakan kenalan seperti dilewatkan begitu saja?
Sayangnya saya tidak menyaksikan penampilan mereka secara tuntas. Bukan apa-apa, saya terpaksa keluar ruangan karena tidak tahan dengan asap rokok. Maklum, saya kan memang mudah terharu. Mata saya selalu berkaca-kaca jika ditempatkan dalam ruangan penuh asap rokok.
Menyegarkan diri selama 15 menitan di luar, saya masuk kembali dan disuguhi penampilan langka. Bagaimana tidak? Stigmata, yang sudah tidak pernah terlihat selama dua tahun belakangan, tampil dengan kekuatan penuh. Minus penggebuk drum, yang malam itu posisinya digantikan oleh istrinya Joshua.
Sesi ini adalah yang paling tertib. Tidak banyak moshing terjadi di depan panggung. Semua audiens seolah hanyut dalam nostalgia. Bernyanyi bersama, mengenang kejayaan Stone Temple Pilots yang lagunya Plush pernah dikira single milik Pearl Jam oleh sebagian orang.
Gudang senjata dikosongkan. Semua hits milik Stone Temple Pilots dimainkan. Dari Unglued hingga Interstate Love Song. Lagu yang diplesetkan menjadi Cinta Antar Kota Antar Propinsi, oleh sebagian anak milis PJId yang berbaris rapi di depan bartender.
Satu lagu milik mereka sendiri, Stigma Pagi Hari, disuguhkan di penghujung penampilan, yang ternyata batal menjadi akhir karena audiens meneriakkan encore. Setelah sekian lama hilang, kembalinya Stigmata memberi kesegaran tersendiri. Seolah penegasan bahwa grunge memang belum mati. Dan mungkin takkan pernah mati. Setidaknya di hati kita, gerombolan kucel yang jiwanya merdeka.
Bulan sudah menggelinding menuju tengah malam ketika Alien Sick tampil. Dilengkapi dengan gitaris tambahan: Javier, dan bintang tamu: Anda, mereka menyerbu tanpa ampun. Musik yang disuguhkan benar-benar menghantam seperti ingin merontokkan dada.
Dua nomor dari album anyar mereka, Lost In Friday, digeber tanpa putus. Disusul kemudian dengan Zero yang legendaris. Jurus pembuka yang maut.
Anda tampil memukau dalam dua nomor sakral, Would milik Alice in Chains dan maskot Grunge Gods: Spoonman milik Soundgarden. Inilah saatnya luapan energi menyeruak. Menghantam kiri-kanan. Dari penampil turun ke penonton, kembali lagi ke atas panggung. Memantul ke segala penjuru ruangan. Menyelusup ke dalam jiwa.
Tubuh-tubuh terlempar, melayang dalam pengertian sesungguhnya, diantara lengkingan suara gitar, disela teriakan Anda yang mempertanyakan alurnya kehidupan. "So I make a big mistake... Try to see it once my way...".
Kegelisahan di dada semakin memuncak ketika ia memprovokasi penonton dengan mantra dalam Spoonman: "Come on will I get out... Come on will I get out...", sementara Pronky, Dicky, Olitz, dan Javier satu per satu maju dengan permainan individu yang matang.
Kegilaan tengah malam mencapai puncaknya ketika audiens, sembari bertabrakan kiri-kanan, terlempar dan melayang, koor bersama seperti satu jiwa meneriakkan refrain dari Slave milik Silver Chair. "Want to be your soldier... Want to be your slave!!!"
Saya tidak dapat membayangkan apa kelanjutan malam itu seandainya Olitz cs memutuskan untuk menggempur lagi. Mungkin hanya ada satu solusi: BAKAR!!! Untungnya mereka cukup pengalaman untuk meredakan letupan energi yang semakin menjadi, dan menyudahi penampilan malam itu dengan Kedua, sebuah nomor keras namun harmonis dari album yang sama, Lost In Friday.
Jeda sejenak dan Konspirasi pun menghantam. Grunge band yang merupakan side project gagasan Edwin Cokelat ini menggempur dengan beberapa nomor anyar yang rencananya akan masuk dalam album debut mereka. Lelah, Lelaki, Korup, Black, Simfoni Duka dan satu nomor lagi yang saya tidak tahu judulnya, dibawakan mulus tanpa henti. Hanya sekali dua saja diselingi oleh ceramah tengah malam dari Che.
Pertama kali menyaksikan Lelah dibawakan secara live adalah di panggung mini Hai di bilangan Jalan Panjang. Keras. Grunge total!
Kali ini, mereka membawakan dengan lebih apik. Vokal Che yang mengingatkan saya pada bagian awal Once-nya Pearl Jam seolah berkejaran dengan cabikan gitar Edwin yang menderu. Bising. Namun sekaligus juga merdu. Apalagi bagian refrain yang mengalun panjang. Terkesan pop dan sepertinya enak untuk dinyanyikan bersama. Seandainya saya tahu liriknya!
Penonton lebih banyak diam memperhatikan dan mengambil gambar selama Konspirasi beraksi. Deretan lagu yang belum familiar menjadi alasan utama. Moshing dan koor kecil-kecilan terjadi ketika Them Bones-nya Alice in Chains serta Down-nya Stone Temple Pilots digeber. Namun yang paling menarik adalah edisi akapela dari medley Alive dan Yellow Led Better milik Pearl Jam.
Iseng-iseng Edwin memainkan intro Alive yang langsung disambut oleh semua audiens. Terutama warga milis PJId yang memang sejak sore menantikan lagu-lagu Pearl Jam (yang sialnya memang seperti alergi untuk dibawakan!). Sampai refrain pertama, ketika Che dan audiens sudah menyatu, tiba-tiba petikan berubah menjadi intro Yellow Led Better. Makjang! Dan benar-benar kurang ajar, di bait pertama petikan gitar menghilang! Alhasil audiens berakapela melanjutkan lagu. Barulah pada refrain pertama, yang sekaligus penghujung lagu, Edwin muncul kembali mengiringi. Nice touch!
Semua sudah lelah ketika Zu muncul mengusung Animal. Sesuai dugaan, dan juga ekspektasi, mereka membawakannya dengan interpretasi bebas. Menjadikan Animal terdengar familiar sekaligus berbeda. Ketiga pemuda Bandung ini memang selalu beda. Pagi itu pun, dalam balutan masalah teknis yang datang silih berganti, mereka mampu menyajikan nomor-nomor yang terdengar enak. Sederetan cover version yang terdengar baru. Redefinisi. Itulah Zu.
Seolah menanti datangnya badai, semua penonton cenderung tenang selama Zu berada di panggung. Bahkan ketika Aryo Wahab, Dendi Kunci, dan Ipang BIP maju membawakan Interstate Love Song pun audiens tetap diam. Keheningan yang mengawali sebuah badai sempurna. Badai dahsyat bernama Navicula.
Kalau Anda gemar Led Zeppelin, tentu tahu jurus memanggil arwah milik Jimmy Page yang diperdengarkan di bagian awal Black Dog. Demikianlah yang dilakukan Navicula pagi itu.
Satu nomor instrumen dihembuskan ke udara Prost Beer House yang sudah beku dengan keheningan. Dengan keingintahuan yang demikian dalam tertahan. Kebisuan yang terdengar ramai di kepala. Karena berkecamuk pertanyaan: seperti apa wujud Navicula? Apakah mereka memang pantas digelari The Last Gentlemen of Grunge?
Dan nuansa instrumen yang dimainkan ini seolah membawa kenangan serta kekuatan dari tanah yang jauh. Dari tanah dewata. Tanah yang aneh karena disana berdiam masyarakat pesisir yang membalikkan tubuhnya dari laut dan memilih untuk berserah pada kebesaran gunung.
Bagaikan sebuah pernyataan dalam diam. Kami sudah datang. Dengarkanlah...
Dan benarlah. Audiens mendengar. Menyerap. Merespon. Menggelora. Menggila!
Menghitung Mundur, Supremasi Rasa, Zat Hijau Daun, Abdi Negri, Aku Bukan Mesin, Televishit, dan sederet nomor maut lainnya meluncur bagai peluru. Cepat. Keras! Dentuman bass, derapan drum, cabikan gitar yang menderu, teriakan yang seperti suara dari neraka, semua menyatu. Semua mendesing cepat. Satu belum selesai dicerna, sudah tiba yang kedua. Tiga belum selesai, sudah datang lima. Benar-benar seperti berondongan peluru. Yang terbang ke segala arah. Ke atas. Ke bawah. Ke dalam dada.
Dan korbannya adalah jiwa kami. Yang serasa tercabik. Diangkat ke angkasa lalu dibanting kembali. Terperangah. Terpesona. Tergugah amarah yang tersimpan apik dalam muntahan lirik-lirik menggugat. Dahsyat!
Dalam kebisingan, kekerasan luar biasa, kemarahan yang membara, Navicula terdengar merdu. Terlihat indah. Terasa benar kedamaian musiknya. Bersatu bersama audiens yang memuja.
Bagaikan angin siklon, Navicula menyentuh lautan manusia di depan panggung yang serta-merta menggelora. Tubuh-tubuh menggeletar. Berteriak bersama. Satu nada. Tubuh-tubuh bertabrakan. Beterbangan. Seolah dipermainkan oleh nada-nada ganas yang berkekuatan dewa. Dihempaskan. Diangkat. Dihempaskan lagi.
Mungkin inilah grunge, yang tidak mampu didefinisikan dengan baik oleh kebanyakan orang. Terutama saya. Mungkin kita memang tidak perlu mendefinisikannya. Sia-sia. Alami saja. Rasakan. Inilah grunge. Yang tidak perlu definisi supaya eksis. Yang tidak butuh pengakuan supaya ada. Karena dia memang ada. Terdengar. Terasa. Hingga seribu tahun lagi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H