Menghitung Mundur, Supremasi Rasa, Zat Hijau Daun, Abdi Negri, Aku Bukan Mesin, Televishit, dan sederet nomor maut lainnya meluncur bagai peluru. Cepat. Keras! Dentuman bass, derapan drum, cabikan gitar yang menderu, teriakan yang seperti suara dari neraka, semua menyatu. Semua mendesing cepat. Satu belum selesai dicerna, sudah tiba yang kedua. Tiga belum selesai, sudah datang lima. Benar-benar seperti berondongan peluru. Yang terbang ke segala arah. Ke atas. Ke bawah. Ke dalam dada.
Dan korbannya adalah jiwa kami. Yang serasa tercabik. Diangkat ke angkasa lalu dibanting kembali. Terperangah. Terpesona. Tergugah amarah yang tersimpan apik dalam muntahan lirik-lirik menggugat. Dahsyat!
Dalam kebisingan, kekerasan luar biasa, kemarahan yang membara, Navicula terdengar merdu. Terlihat indah. Terasa benar kedamaian musiknya. Bersatu bersama audiens yang memuja.
Bagaikan angin siklon, Navicula menyentuh lautan manusia di depan panggung yang serta-merta menggelora. Tubuh-tubuh menggeletar. Berteriak bersama. Satu nada. Tubuh-tubuh bertabrakan. Beterbangan. Seolah dipermainkan oleh nada-nada ganas yang berkekuatan dewa. Dihempaskan. Diangkat. Dihempaskan lagi.
Mungkin inilah grunge, yang tidak mampu didefinisikan dengan baik oleh kebanyakan orang. Terutama saya. Mungkin kita memang tidak perlu mendefinisikannya. Sia-sia. Alami saja. Rasakan. Inilah grunge. Yang tidak perlu definisi supaya eksis. Yang tidak butuh pengakuan supaya ada. Karena dia memang ada. Terdengar. Terasa. Hingga seribu tahun lagi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H