Mohon tunggu...
Eko Prabowo
Eko Prabowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://wustuk.com\r\n\r\nhttps://soundcloud.com/rakjat-ketjil-music

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Musik 2009: Acoustology - Life Breaks Free

30 April 2011   17:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dr. Ian Malcolm, ahli matematika pemuja teori Chaos dalam film Jurassic Park (1993), mengungkapkan pemikirannya ketika melihat demikian banyak dinosaurus yang akhirnya membebaskan diri dari taman impian di pulau Isla Nublar: "If there is one thing the history of evolution has taught us it's that life will not be contained. Life breaks free, expands to new territory, and crashes through barriers, painfully, maybe even dangerously." Dan sesungguhnya, itulah yang terjadi di Acoustology Sabtu malam lalu.

Energi kehidupan dalam lagu-lagu Pearl Jam tak kuasa tertampung dalam format akustik. Black Code, Perfect Ten, Alien Sick, Reza cs, hingga Sonic Wood, tiada satu yang kuasa mengekang ledakan energi dari puluhan lagu yang meluncur deras.

Bagaikan memiliki kehendak bebasnya sendiri, sebuah free will, deretan lagu tersebut menghantam, menggulung laksana ombak samudera. Membebaskan diri dari bentuk akustik. Menjadi bentuk lain yang tidak akan dikenali, jika tidak kita alami sendiri.

Pukul 8 malam, Black Code mengawali perhelatan di BB's Cafe Menteng ini dengan empat nomor maut: Light Years, Immortality, Smile, dan Sad. Band bentukan milis yang super mendadak ini, yang terdiri dari Iroel, Faizal, Agus, Deppy, dan Arie, menyambut tantangan panitia dengan tangan terbuka. Tema acara kali ini tak lain adalah: melepaskan semua lagu-lagu yang sebelumnya tidak umum dimainkan. Karena saya, dan mungkin juga Anda semua, percaya sepenuhnya bahwa perjalanan Pearl Jam tidak berhenti di album Ten. Dan, menurut hemat saya, Black Code sukses besar menjawab tantangan tersebut.

Saya melewatkan dua nomor pertama karena harus menerima beberapa telepon dari teman-teman yang menanyakan arah. Teman-teman yang sebelumnya tidak saya kenal. Teman-teman yang bersilangan jalan dengan saya karena memiliki minat yang sama, Pearl Jam. Termasuk didalamnya adalah Denny Suteja, yang rela menempuh jarak Jakarta-Bandung menggunakan travel, sembari membawa istri tercinta yang tengah hamil delapan bulan.

Namun ketika Smile berhembus hingga ke pintu keluar, saya segera berlari menaiki tangga menuju lantai dua.

Benarlah! Iroel tengah asik meniupkan jiwanya melalui harmonika. Sementara Hasley, vokalis Perfect Ten yang ikut nimbrung di nomor manis ini, menggoyangkan tubuh menunggu giliran meneriakkan kerinduan pada verse kedua. Dan audiens, yang bahkan pada saat itu pun ternyata sudah nyaris mencapai angka 100, menyambut dengan gegap gempita ketika akhirnya lagu mencapai chorus.

Bersama mereka mengumandangkan kerinduan. Mungkin kepada pacar. Mungkin teman. Mungkin juga orang tua yang lama tak berjumpa. Atau sebaliknya, anak yang hilang entah kemana. Karena malam itu memang usia tidak lagi relevan. Anak ingusan hingga om-om campur aduk, perawan hingga emak-emak ganas menghentak, menggumpal menjadi kesatuan yang berteriak lantang: "I miss you already... yeah... I miss you always..."

Berikutnya adalah Perfect Ten. Lagi-lagi, ini adalah band yang sebelumnya tidak pernah terlihat di acara komunitas Pearl Jam Indonesia. Band bentukan para die hard fans Pearl Jam ini terdiri dari Irsya, Hasley, Dedi, Didit, Ino, dan Arie. Ya. Arie. Gitaris yang juga menggawangi Black Code.

Jujur saja, saya tidak mampu sepenuhnya mengingat urutan lagu yang mereka mainkan. Malam itu agaknya saya cukup banyak pikiran.

Namun demikian, Indifference jelas masuk sebagai lagu pertama dari mereka yang menerobos jiwa saya. Tanpa iringan drum dari Irsya, yang memang masih menyusun peralatannya, lagu ini mengalir begitu menekan. Suasana temaram yang memang menjadi ciri khas BB's sangat serasi dengan muramnya lirik serta alunan musik lagu ini. Seolah terbawa ke alam frustrasi, audiens menyambut Hasley bersahutan melafalkan lirik yang sangat dicintai oleh si bengal Dennis Rodman: "I'll swallow poison until I grow immune... I will scream my lungs out 'till it fills this room..."

Betterman menjadi menu manis selanjutnya. Jauh-jauh hari Irsya sudah mempromosikan lagu ini kepada saya. Ini adalah versi live at Atlanta '94, dimana menu drum masih dominan. Berbeda dengan hasil akhir di Vitalogy yang ternyata memangkas banyak sekali bagian drum. Versi ini adalah yang paling ramai. Versi yang dimainkan dengan mulus oleh Perfect Ten.

Dedi menggantikan Hasley di nomor Present Tense dan Garden. Dua nomor magis, yang kebetulan sekali, sangat saya sukai. Dan, kalau ini bukan kebetulan, dua nomor ini belum pernah dimainkan di acara komunitas Pearl Jam Indonesia sebelumnya. Benar-benar membius. Dua nomor yang mengajak kita semua berpikir ulang tentang hidup. Tentang jalan yang telah dilalui. Tentang apa makna sebenarnya dari keberadaan kita semua disini.

Mengacu pada tema acara, dua lagu ini adalah jawaban yang tidak main-main dari Perfect Ten. Present Tense sama sekali bukan hits yang terkenal. Bukan lagu sejuta umat. Tapi nyatanya malam itu sebagian besar audiens, yang jumlahnya sudah mencapai 150 orang saat lagu ini digelar, mampu mengimbangi dengan fasih. Gayung bersambut. Die hard bertemu die hard. Alhasil, semua lagu dilahap dengan rakus hingga tandas tak berbekas. Mulai Evenflow, Wishlist, hingga Leaving Here yang terdengar genit.

Apa yang saya sebutkan di awal, dengan membawa-bawa tokoh fiksi segala, mewujud di lagu pamungkas. Lagu yang sesungguhnya tidak masuk dalam setlist resmi Perfect Ten, karena terpaksa saya potong berhubung sudah melampaui kuota. Thanks god anak-anak ini cukup keras kepala!

Semangat kehidupan yang demikian liar mengalir tak terbendung. Dimulai dari belakang drum set milik Irsya, terus menyebar ke seantero panggung merasuki Didit, Ino, dan Arie, bermuara di Hasley yang kemudian memuncratkannya ke seluruh penjuru ruangan. Kepada audiens yang memang semakin larut. Bersama kami menunggangi gelombang dahsyat dari gemuruhnya suara keindahan bernama Porch.

Jadilah akhirnya Hasley dinobatkan sebagai korban malam itu. Diusung keliling ruangan oleh audiens. Dikorbankan di altar kejujuran bermusik. Dan layak kiranya, jika pada akhirnya dia mendapat ciuman penuh gairah dari istri tercinta, yang malam itu mengenakan baju bergambar alpukat, di penghujung penampilannya yang luar biasa.

Saat tenang sebelum badai menjelang. Itulah Alien Sick. Dengan pengalaman tampilnya selama ini, mereka menurunkan tempo sejenak. Memberi kesempatan pada tulang-tulang tua ini untuk memulihkan diri dari kelelahan yang mulai menghampiri. Jessy, seperti biasa, dengan anggun menyampaikan salam. "I just want to scream... Helloooo!!!" Dan kami, audiens yang malam itu demikian terpesona serta bahagia, menyambut dengan koor super kompak sembari duduk manis di lantai.

Suasana santai terus berlanjut. I'it, drummer Dua Sisi yang malam itu kebagian jatah membelai jimbe, setia menemani Olitz dan Pronky mengiringi dongengan Jessy. Sebuah dongeng merdu tentang Neil Young. Figur penting dalam kehidupan Eddie Vedder, yang (saya rasa) tidak pernah berhenti mencari figur bapak pengganti.

"Know a man... His face seems pulled and tense..." Ah, akhirnya lagu ini muncul juga. Lagu yang selalu berdengung di kepala saat saya mengendarai motor cupu menembus angin dini hari. Lagu yang dijanjikan akan dinyanyikan Pheps Respito suatu hari nanti. Off He Goes.

Perkusi menjadi menu selanjutnya. Tidak heran mengingat malam itu adalah Irsya yang duduk di belakang drum set Alien Sick yang sudah dingin ditinggal pergi Dicky. In My Tree dan WMA memantul dalam keremangan. Dua nomor dinamis yang benar-benar manis.

I Am Mine, In Hiding, River of Deceit, hingga Yellow Ledbetter menjadi suguhan dari Alien Sick kemudian. Namun yang paling melekat di kepala adalah Given to Fly. Entah sudah berapa belas kali saya menikmati lagu ini dalam versi live. Tetap saja, setiap kalinya terasa sangat bermakna. Sebuah anthem mengenai kerelaan memberi. Kerelaan berkorban demi sesuatu yang lebih baik.

Saya merasa, mungkin dunia kita akan menjadi sedikit lebih baik, jika kita semua menjadi sedikit lebih senang memberi. Seperti halnya titik aneh yang kadang terlihat di langit itu. A human being that was given to fly...

Reza cs masuk mengisi jeda sebelum badai penghabisan. Footsteps dan Angel, dua nomor yang benar-benar hanya bisa dipahami oleh die hard fans Pearl Jam, mengalir mulus. Kadar kecintaan Reza sendiri sudah tidak perlu ditanya. Sesaat sebelum tampil, dia harus mengantar ibundanya ke rumah sakit. Bro, thanks untuk kemunculannya.

Lima belas menit menjelang jam sebelas, kegilaan mulai lepas. Rombongan bule yang sejak awal ikut bernyanyi dan moshing, semakin menjadi-jadi. Uap tubuh dan asap rokok membubung. Alkohol dan keringat silih berganti masuk dan keluar tubuh. Dua ratus jiwa yang bebas bersatu dalam satu nafas. Menunggu. Menanti kemunculan sang pamungkas. Suara kayu yang digadang-gadang akan meniupkan panggilan kepada seribu nyamuk merah. Sonic Wood.

Saatnya telah tiba...

Ryo membuka penampilan Sonic Wood dengan nomor magis. Release.

Tak perlu banyak sapa. Audiens yang memang sudah menanti langsung menyambut. Menyahut mantap mengumandangkan koor layaknya para biksu dari negeri atap langit, Tibet. "Ooohhh... Ooohhh..."

Nito, Alex Kuple, Adhit, Ryo, dan Made adalah lima laki-laki yang tidak boleh ditantang. Ketika undangan untuk memainkan lagu-lagu yang belum pernah dimainkan sebelumnya datang, sekonyong-konyong setlist mewujud dalam bentuk yang mengerikan: Comatose, Severed Hand, Come Back, Red Mosquito, hingga Guranteed muncul sebagai kandidat. Dan memang tepat seperti itulah yang kemudian dimainkan!

Tidak berhenti disitu. Bahkan Got Some, lagu dari album ke-9 Pearl Jam berjudul Back Spacer, yang hingga hari ini belum ketahuan tanggal rilisnya, juga disikat!

Pukulan drum Made dalam intro Severed Hand terdengar empuk dan sangat pas membuka sesi terakhir malam itu. Audiens, dan semua performer dari empat band sebelumnya, larut dalam upacara jingkrak-jingkrak tiada akhir bersama gerombolan bule yang sudah bertelanjang kaki dan mulai melayangkan sikut tanpa ampun.

Corduroy, yang mengingatkan saya pada seorang sahabat nun jauh di Surabaya, yang baru saja dikarunia seorang putra, menelusup kedalam jiwa. Demikian indah Ryo membawakannya. Demikian mulus Sonic Wood mengiringinya. Demikian bahagia kami melumatnya.

Dan akhirnya, lagu yang sudah demikian lama dipersiapkan. Red Mosquito!

Entah ini kebetulan, atau kesialan, lagu ini rasanya cocok sekali dipersembahkan bagi Haikal, Anda Bunga, dan anak dari Alex Kuple, yang semuanya sedang berjuang menghadapi demam berdarah. Meskipun, tentu saja, tema lagu ini tidak ada kaitannya dengan penyakit gara-gara gigitan nyamuk keparat itu.

Di nomor ini saya mengkhususkan diri untuk diam dan sepenuhnya menikmati permainan gitar Nito. Sejak pertama kali melihat permaianannya dengan sungguh-sungguh di Grungecoustic (edit: yang benar adalah Acoustic Rendition on PJ's Songs) dua tahun lalu, inilah saat dimana saya benar-benar terpuaskan. Solo gitar yang mengawali lagu, menengahi, dan mengakhirinya, luar biasa indah. Mengalir, menyentak, menggigit. Menimbulkan luka beracun yang teramat nikmat di hati.

Kemanjaan para die hard semakin menemukan muaranya. Soon Forget dan Guaranteed mengalir kemudian. Ryo turun dan duduk bersama audiens di lantai. Petikan gitar yang bening mengalir laksana kucuran air terjun yang jernih. Meluncur jatuh kedalam jiwa kami yang semakin panas menjelang tengah malam. Sebuah perenungan indah dari Eddie Vedder.

Wajah akrab yang sudah demikian lama saya kenal muncul kemudian. Che, yang berulang tahun sehari sebelumnya, untuk pertama kalinya membawakan Ocean secara live di panggung. Benar-benar penuh penghayatan. Setelah sebelumnya dia membawakan Alive dengan sangat-sangat fasih.

Usut punya usut, ternyata Cupumanik tidak pernah bersedia membawakan lagu ini di panggung. Tidak heran jika jauh-jauh hari Che sudah memesan lagu tentang surfing ini pada Alex Kuple. Dan Sonic Wood, seperti juga semua performer malam itu, nyata-nyata merupakan gerombolan yang sangat menikmati tantangan. Tidak ada kata tidak bagi Pearl Jam. Semua disikat!

Dan, tolong dicatat, solo gitar dalam Alive kali ini menjadi yang terdahsyat dari semua versi yang pernah saya lihat secara live. Tidak heran jika kemudian gerombolan bule yang ternyata hapal semua lagu malam itu memberi penghormatan kepada Nito. Sebuah bentuk nyata bahwa persahabatan, sebagai bagian terindah dari kehidupan, menemukan jalannya sendiri melalui musik.

Tenggorokan sudah mulai kering ketika Jimmo KJP berduet dengan Ryo. Rearview Mirror dan Animal adalah menunya. Dan seperti gerombolan musafir padang pasir, kami mereguk dua lagu itu dengan rakus!

Hentakan Made pada drum, jalinan gitar Adhit dan Nito, dentuman bass Alex Kuple yang nyaris selalu duduk santai sepanjang perhelatan, dan duet vokal penuh tenaga dari Ryo serta Jimmo menghantarkan kami ke alam lain.

Tepian panggung, yang menjadi batas antara performer dan audiens, mendadak hilang ketika Ryo turun ke lantai. Liar tak terkendali! Akustik sudah berganti. Tak ada lagi. Ini adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Betapa energi Rearview Mirror dan Animal terlampau dahsyat untuk dikungkung dalam balutan akustik. Drop the leash dan semua pun lepas!

Gelombang meninggi dan mencapai puncaknya pada Comatose. Riot!

Sejujurnya, saya tidak punya kosa kata yang memadai untuk menggambarkan jalannya lagu yang dibagian awal diperkenalkan oleh Nito sebagai, "lagu lembut, duduk saja..." Asal tahu saja, di nomor inilah saya mendapat kenang-kenangan dari si bule yang terlampau asik ber-moshing ria.

Koor bersama terus berlanjut hingga lewat tengah malam.

Reza maju membawakan Come Back. Kemudian beramai-ramai Iroel, Hasley, Dedi, Che, Ryo, Reza, dan Jimmo membawakan Daughter, Jeremy, WMA (untuk kali kedua), Black, Hunger Strike, hingga Rocking in The Free World.

Pukul setengah satu dan usailah perhelatan itu. Konser akustik yang berubah bentuk menjadi sesuatu yang sungguh berbeda.

Seperti halnya hidup, yang berliku menuju bentuk yang paling ideal. Bagaimanapun halangan yang dihadapi, akan selalu mampu menemukan jalan. Life breaks free.

Seperti itu jugalah Pearl Jam, yang tengah bersiap mengumbar energi kehidupannya di album ke-9 akhir tahun ini. Tak peduli kemasan apa yang membungkus, energi dalam lagu-lagunya senantiasa merembes keluar. Muncrat kemana-mana. Membasahi jiwa kita semua.

Life breaks free. Itu jugalah kiranya inti dari perhelatan kita kali ini. Acoustology.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun