Seorang kolega sahabat arkeolog Syahruddin Mansyur, suatu waktu berdiskusi dan mengajak saya untuk menulis artikel ilmiah bareng. Kemudian berlanjut dengan membentuk tim kecil yang memiliki minat yang sama. Alhasil, tim penulis tentang topik museum pertanian pun terbentuk. Gagasan cerdas dengan aktual yang juga saya senangi, berkaitan dengan pangan dan pertanian.
Sebagai arkeolog dan museolog, maka gagasannya tidak jauh-jauh dari bidang kepakarannya. Ia ingin menuangkan gagasannya tentang pendirian museum pertanian, sebagaimana idenya juga tentang museum negeri.
Dua topik, dimana saya beberapa kali diajaknya berdiskusi. Kali ini tentang museum pertanian. Gass poll, sebuah artikel ilmiahpun digarap.
Antara Museum dan Pertanian
Ide tentang keterkaitan antara museum dengan pertanian, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru, katanya. Berbagai museum yang menampilkan segala hal terkait aspek pertanian telah hadir dan berbagi pengetahuan tentang bagaimana pertanian di masa lalu dan perkembangannya hingga dewasa ini.
Herbert A. Keller (1945), dari “The Agricultural History Society” yang berpusat di Washington, D.C. misalnya, telah mengembangkan ide tentang pendirian “Living Agricultural Museums”, juga “The Farmers Museum” yang disponsori oleh New York Historical Association, menyajikan tentang sejarah pembangunan pertanian di Amerika termasuk perkembangan teknologinya.
Sebelumnya, pada dekade akhir abad ke-19, museum yang mengkhususkan pada sejarah kehidupan pedesaan dan industri agraria bermunculan dan telah menginisiasi bagaimana aspek pertanian dan kemajuan teknis industrinya menjadi bagian dari kehidupan pedesaan di Eropa.
Demikian juga bentuk-bentuk kolaborasi lain, seperti, American Farm School bekerjasama dengan Archaeological Museum of Thessaloniki dan Archaeological Museum of Heraklio di Yunani, mengembangkan berbagai program edukasi untuk menanamkan rasa kepedulian dan kecintaan terhadap warisan yang berkaitan dengan pertanian.
Menurut Pak Undink, demikian saya biasa memanggil, gagasan tentang museum pertanian di Indonesia diharapkan mampu memberi kontribusi, tidak hanya pada konteks pembangunan pertanian di Indonesia, tetapi juga memberi kontribusi pada aspek pembangunan berkelanjutan di tingkat global.
Baca juga : Refleksi Hari Museum Nasional: Melestarikan Pusaka Budaya...
Pada akhirnya, kontribusi terhadap arah perkembangan museum yang diharapkan mampu bergerak mengikuti isu-isu global tentang pembangunan berkelanjutan, khususnya krisis iklim sekaligus isu krisis pangan.
Diskusi kami mulai dengan membahas keterkaitan antara peran museum dan urgensinya bagi pelestarian lingkungan (bagian ini saya akan menulis terpisah untuk edisi yang lain di Kompasiana ini). Juga mendiskusikan soal beberapa contoh kasus unsur-unsur kebudayaan yang berkaitan dengan tradisi pertanian nusantara sebagai warisan masa lalu.
Tak lupa, tentang bagaimana menempatkan peran museum dalam hubungannya dengan konsep new museology, yang mengedepankan peran sosial masyarakat sebagai publik museum.
Menggagas museum pertanian adalah upaya merawat memori kolektif warisan budaya pertanian nusantara yang sudah sangat tua.
Pertanian adalah peradaban panjang nusantara yang hari-hari menghadapi tantangan global, kris pangan, kris iklim dan sebagainya.
Kita ambil contoh saja di Sulawesi, situs-situs arkeologi yang menampilkan tradisi neolitik, sebagai zaman dimulainya tradisi olah pangan, diantaranya adalah Lembah Karama, Kalumpang, Sikendeng, dan Minanga Sipakko di wilayah Mamuju.
Temuan-temuan arkeologi yang menunjukkan milestone tradisi neolitik adalah beliung persegi, kapak lonjong, gelang batu, mata panah, pemukul kulit kayu, dan tembikar hias.
Peradaban Panjang Budaya Pertanian di Indonesia
Keseluruhan jejak arkeologis menunjukkan sisa aktivitas budaya cocok tanam dan bukti sebaran ras Austronesia. Inovasi neolitik yang diduga datang dari Cina selatan melalui Taiwan dan Filipina selatan yang merupakan jalan migrasi Austronesia. Salah satu situs di wilayah Mamuju, yaitu situs Minanga Sipakko bahkan menunjukkan awal domestikasi tumbuhan (padi), yang disebut berasal dari 3.500 BP atau sekitar 1550 SM dan menjadi salah satu yang tertua di Asia Tenggara.
Sementara itu, masyarakat Papua yang hidup secara berkelompok mengembangkan strategi penghidupan dengan konsep gabungan antara meramu dan sistem cocok tanam berpindah. Kawasan pegunungan tengah misalnya, masyarakat secara umum mengandalkan kehidupannya dalam pertanian subsistensi dengan membudidayakan tanaman jangka pendek yang tidak terlalu memerlukan pemeliharaan.
Menurut catatan dalam buku Ekologi Papua tahun 2012, penelitian-penelitian arkeologi menunjukkan bahwa masyarakat Papua diduga telah mengenal pertanian sekurang-kurangnya sejak 6.950 sampai 6.440 tahun yang lalu di daerah Kuk di Lembah Wahgi, Papua New Guinea dan 7.800 tahun yang lalu di Lembah Baliem.
Baca Juga : Megalitikum di Minahasa Selatan, dari Olah Pangan..
Periode berikut, dimana budaya perundagian melanjutkan tradisi neolitik ditandai dengan hadirnya peralatan yang terbuat dari logam (terutama besi dan perunggu). Massifnya produksi berbahan logam ini menandai perkembangan teknologi peralatan sehari-hari manusia termasuk pertanian, dan membuka jalan bagi kebangkitan pertanian.
Teknologi peralatan pertanian ini memudahkan manusia untuk membuka lahan-lahan pertanian baru, meski belum dapat dipastikan, apakah bentuk ekstensifikasi pertanian ini merupakan jenis pertanian padi kering (ladang) atau padi basah (sawah). Periode ini dapat dikatakan sebagai awal bagi revolusi pertanian dimana produksi pangan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan era sebelumnya.
Sistem pertanian padi basah semakin tampak jelas sekitar abad ke 9–10, sebagaimana dapat kita saksikan pada relief-relief di Candi Borobudur yang menggambarkan tradisi pertanian masyarakat Jawa kuno.
Pandangan lain menyebut bahwa periode awal perkembangan pertanian di Indonesia mulai dapat diamati sejak abad ke-8 dan semakin berkembang pada abad ke-10. Meski secara kronologi, periode ini dapat saja berbeda dengan wilayah yang lain, namun hal ini telah menandai babak baru kemajuan pertanian di Indonesia.
Baca Juga : Manusia Oluhuta, Petani Pertama di Daratan Gorontalo?
Selanjutnya, kemampuan manusia mengatur sistem irigasi (yang dapat memastikan kebutuhan air bagi pertanian padi basah), semakin memperjelas periode revolusi pertanian. Hal ini, sebagaimana dapat kita lihat pada fitur-fitur arkeologi di Trowulan, serta sistem pengelolaan irigasi pertanian pada masa Sultan Ageng Tirtayasa di Kesultanan Banten.
Demikian juga sistem irigasi sederhana di daerah-daerah yang dekat dengan sumber air, seperti sungai dan danau. Sistem irigasi yang diduga merupakan pengetahuan irigasi kuno memanfaatkan sumber air dari sungai adalah anjir, handil dan saka, khususnya untuk sistem pertanian lahan pasang surut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Situs pemukiman kuno di wilayah Kalimantan Selatan, misalnya Situs Pati Muhur menunjukkan hasil pertanggalan setidaknya dari abad ke 13-14. Sementara itu, sistem irigasi sederhana yang bersumber dari danau, seperti tampak di dataran rendah Sulawesi Selatan dekat Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang merupakan lembah subur Walennae. Salah satu situs di daerah ini, yaitu situs Allangkanange - Wajo, Sulawesi Selatan memiliki temuan phytolith sekam padi yang berasosiasi dengan tinggalan arkeologi dengan hasil pertanggalan sekitar abad ke-13.
Jejak arkeologis lain yang menunjukkan kontinuitas budaya bercocok tanam adalah tinggalan arkeologi yang diidentifikasi sebagai temuan-temuan megalitik, seperti; lumpang batu, batu berlubang (dakon), dan struktur batu lainnya. Temuan-temuan arkeologi megalitik ini, ditemui di daerah-daerah pertanian subur, di Sulawesi Selatan, yaitu Kajang di Bulukumba, Soppeng, Wajo, dan Toraja.
Selain itu, persebaran budaya megalitik yang disebut memiliki korelasi dengan budaya bercocok tanam ini dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Nusantara, diantaranya; Way Sekampung, Lampung, Bondowoso, Jawa Timur, Minahasa Selatan, Lembah Besoa, Sulawesi Tengah, dan Gunung Srobu di Jayapura.
Museum Pertanian: Merawat Memori dan Identitas
Demikian kayanya, warisan pengetahuan dan sekaligus warisan peradaban pertanian di Nusantara. Warisan kekayaan itu perlu dirawat dalam memori kolektif generasi bangsa. Dalam kerangka itulah diperlukan penyebarluasan pengetahuan pertanian bagi seluruh masyarakat intra-generasi dan antar-generasi.
Maka menggagas “Museum Pertanian” yang didukung dengan program-program yang diarahkan pada pengenalan warisan budaya dapat membentuk generasi yang lebih peduli pada tradisi pertanian berwawasan pelestarian lingkungan.
Melalui gagasan ini kesadaran publik (ekologi manusia) dan kesadaran politik (ekologi politik) dapat ditumbuhkan untuk menerapkan perubahan menuju pembangunan pertanian berkelanjutan. Pada sisi yang lain, mampu menumbuhkan semangat refleksi dan berbagi pengetahuan kepada publik.
Akhirnya, artikel singkat di Kompasiana ini adalah bacaan ringan hasil diskusi kecil dengan arkeolog dan peneliti, Syahruddin Mansyur, yang menulis karya tulis ilmiah tentang Museum Pertanian.
Artikel tersebut saat ini dalam proses untuk diterbitkan oleh Center for Culture and Frontier Studies, Universitas Brawijaya (CCSF UB) dan Asosiasi Museum Indonesia Daerah Jawa Timur (AMIDA JATIM). Semoga bermanfaat.
***
Demikian, salam budaya, salam lestari.
Salam Hormat.
Wuri Handoko. Jakarta, 12 Desember 2023
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H