Bonus demografi menjadi ancaman, jika tak mampu terakomodasi dalam ruang-ruang sosial ekonomi yang ditumbuhkan oleh pemerintah. Pemerintah harus senantiasa hadir menciptakan peluang-peluang kerja, agar usia produktif penduduk juga mampu bersaing di era persaingan global.Â
Bonus demografi adalah satu kondisi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2035, 10 tahun menjelang periode Indonesia Emas 2045 yang diproyeksikan sudah mampu bersaing di dunia global dan menjadi negara maju.Â
Bonus demografi, dengan kelimpahan usia produktif , memiliki keuntungan dan kelemahan yang jika tidak diantisipasi dengan baik akan menimbulkan persoalan lain di masa mendatang.Â
Keuntungan kondisi bonus demografi adalah besarnya angkatan kerja berusia produktif, yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kunci untuk ini adalah SDM unggul, berkualitas dan berdaya saing, serta dikelola dengan optimal potensi yang dimaksud.Â
Bonus demografi harus dijawab dengan kebijakan penyediaan lapangan kerja yang memadai untuk menghindari gap sosial, konflik, dan kemiskinan.Â
Sementara kita berkutat pada bonus demografi, di satu sisi resesi seks juga membayangi pertumbuhan penduduk dunia, termasuk Indonesia di masa yang akan datang.Â
Dua hal yang bertolak belakang, namun memiliki implikasi yang sama dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Menurut Kompas.com, Korea Selatan dinilai mulai mengalami resesi seks setelah mencatatkan angka pernikahan terendah. Pada tahun 2021, pasangan yang memutuskan untuk melanjutkan hubungan dengan membina rumah tangga hanya sebesar 193.000. Sementara di Jepang, angka kelahiran tercatat sebanyak 811.604. Jumlah ini menjadi yang terendah sejak pencatatan pertama kali tahun 1899 (Kompas.com).
Sementara itu, kekhawatiran bayang-bayang resesi seks juga di alami Indonesia. Meningkatnya penundaan pernikahan, terutama di kota-kota besar, merupakan gejala yang paling mudah diamati dari gejala resesi seks yang melanda Indonesia. Demikian menurut Kepala Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo (Kompas. com).
Bisa dibayangkan, bagaimana peluang bonus demografi di tengah tantangannya, jika menghadapi fenomena resesi seks. Saat usia-usia produktif menjadi dominan, lalu dalam waktu bersamaan terjadi pula resesi seks, maka beban para usia produktif akan lebih panjang, karena menanggung beban, berkurangnya sumberdaya yang bekerja.Â
Resesi seks, dalam konteks ini bisa menghambat pertumbuhan penduduk, di satu sisi pertumbuhan penduduk bisa berakibat melambatnya pertumbuhan ekonomi. Menunda pernikahan, artinya menunda setiap penduduk usia produktif menghasilkan keturunan. Hal yang bertolak belakang dengan bonus demografi yang diharapkan.Â