Belakangan penemuan Situs Bongal di Sibolga Tapanuli, semakin populer dan viral. Berbagai pemberitaan media menghiasi berbagai media baik online maupun media cetak.Â
Tak luput juga perbincangan di berbagai platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube dan sebagainya. Viralnya penemuan Situs Bongal karena berdasarkan hasil analisis Situs Bongal lebih tua dari Situs Lobu Tua, Barus.Â
Dr. Ery Sadewo, Arkeolog dari Kantor Arkeologi Sumatra Utara, saat ini sebagai Peneliti Ahli Madya BRIN, yang belakangan namanya juga kian populer, menjelaskan bahwa Situs Bongal membuktikan adanya bukti peradaban dari Asia Barat hingga Asia Timur setidaknya sejak abad 6 M ditemukan di situs arkeologi ini. Penemuan ini, meretas batas pemahaman yang selama ini kita ketahui, tentang Situs Lobu Tua Barus yang dicanangkan sebagai Titik 0 peradaban Islam di Nusantara.Â
Perbincangan juga mengemuka apakah Situs Bongal bagian dari Situs Lobu Tua atau entitas yang berbeda, berdasarkan jarak dan waktu. Soal ini, arkeolog Stanov Purnawibowo, MA anggota tim riset Situs Bongal mengatakan, bahwa riset ini tidak dalam posisi membangun narasi dikotomis antara situs Bongal dan Lobu Tua.Â
Peradaban yang dinamis dan mengalir seiring zaman membuktikan bawa Situs Bongal dan Situs Lobu Tua, adalah bukti kebhinekaan Nusantara yang telah terbangun sejak awal-awal masehi. Menurut penjelan Eri Sadewo, di situs Bongal ditemukan jejak-jejak peradaban yang didominasi dari Asia Barat.Â
Situs Bongal: Titik Temu Peradaban dari Asia Barat hingga Asia Timur
Secara artefaktual, Situs Bongal membuktikan adanya pertautan dan silang budaya antara pengaruh Timur Tengah, Tiongkok, dan India, jauh sebelum kolonialisasi Eropa di Nusantara. Temuan artafak Batu Fairuz, artafak berbahan kaca asal Persia (Iran), yang diperdagangkan hingga Turki dan Eropa lainnya.Â
Temuan arkeologi asal Teluk Persia lainnya adalah gerabah berglasir, yang menunjukkan ciri artefak yang berasal dari pelabuhan dan stus kota kuno Shiraf, Ar Rayy, Nishapur di Teluk Persia. Selain itu menurut penjelasan Ery, adanya artefak berbentuk kota bahan dari kayu, yang disebut wadah qalam yang berumur 650-710 M.Â
Temuan terbaru tahun 2022, berupa artefak lempengan logam berinskripsi Arab, yang identik menunjukkan aktivitas berciri budaya maritim, yakni Bandar niaga atau pelabuhan.Â
Artefak berciri Asia Barat yang ditemukan di Situs Bongal, menunjukkan lokasi yang terentang sepanjang Laut Merah (Situs Berenike), tempat banyak ditemukan artefak manik-manik kaca romawi hingga Teluk Persia (Ar Rayy, Nishapur dan Mesopotamia).Â
Selanjutnya dari Asia Selatan (India), ciri artefak yang ditemukan antara lain manik-manik batu karnelian, manik-manik batu kalsedon, juga adanya gerabah, yang diduga gerabah arikamedu. Jika benar, gerabah tersebut adalah Gerabah Arikamedu, maka semakin menguatkan bahwa Situs Bongal, berasal dari awal-awal masehi.Â
Ditemukan pula puing papan kayu, bertuliskan huruf pallawa grantha, yang dibaca oleh arkeolog Ery Sadewo berbunyi Shri Yava Raki Tan, yang dari segi paleografinya menurut Eri, berasal dari abad ke 7-8 M.Â
Hal ini diperkuat pula hasil dating di Florida, USA, bahwa potongan papan kayu berinskrip itu berumur antara 668-778 M. Selanjutnya temuan artefak berciri Asia Timur atau Tiongkok, antara lain ditemukan keramik-keramik kuno dari Dinasti Tang, abad 8-9 M yang cukup dominan di Situs Bongal.Â
Temuan artefak barang-barang impor itu berkelindan dengan adanya temuan resin komoditi niaga Nusantara, antara lain Kapur Fansuriah atau Kapur Barus (Kamper). Selain itu adapula temuan resin lain yakni getah damar dan dan kemenyan, yang range waktunya pada pertanggalan 680-750 M, atau bad 7-8 M. Dengan demikian, temuan ekofak resin kampur, kemenyan dan getah damar, memiliki range waktu yang sama dengan temuan artefak di Situs Bongal.
Selain itu, yang menarik adanya temuan ekofak biji pinang, dengan pertanggalan masih menunjukkan abad 7-8 dan biji pala, meskipun dalam jumlah yang minim. Temuan biji pala yang berasosiasi dengan temuan artefak dan ekofak dari abad 7-8 M, membuktikan jauh sebelum koloniasi Eropa sudah ada kontak niaga wilayah Nusantara bagian barat, dengan wilayah timur Nusantara, wilayah utama penghasil rempah biji Pala, yakni Pulau Banda di Kepulauan Maluku.
Aromatik Nusantara : Komoditi Niaga, Medical Civilization dan Poros Maritim Dunia
Berbagai temuan resin aromatik seperti kemenyan, rempah-rempah, termasuk minyak atsiri ternyata merupakan bukti sejarah panjang, bahwa urusan medis kebutuhan tubuh terhadap aromatik tumbuhan itu merupakan jejak peradaban yang panjang. Penulis menyebutnya sebagai aromatic ataupun medical civilization.
Peneliti Ahli Madya BRIN Bidang Biomassa dan bioproduksi, Dr. Aswandi mengatakan, bahwa rempah aromatik pantai barat Sumatra Utara, tepatnya Tapunuli Tengah, merupakan salah satu sentra penghasil aromatik yang dibutuhkan dunia. "Latar sejarah rempah aromatik ternyata memiliki latar sejarah yang panjang," demikian Aswandi menjelaskan.
Menurut Aswandi, kita mendapat gambaran bahwa senyawa aromatik yang dihasilkan oleh gaharu, kemenyam, minyak atsiri dan juga kamper (kapur barus) terutama untuk medis seperti aromatik, kosmetik, kecantikan dan kesehatan, dan medis (pengobatan), sangat lekat dengan kebutuhan manusia di dunia, bahkan di awal-awal peradaban hingga sekarang. Gaharu, Kemenyam dan kamper, bahkan hingga sekarang masih juga digunakan di pusat-pusat ritual di dunia.Â
Pada awal-awal peradaban di Eropa, di Timur Tengah dan juga pada awal-awal peradaban Nusantara, komoditas hasil hutan, seperti gaharu, kemenyan, kamper, dan benzoin ternyata ditemukan dan berasal dari wilayah Tapanuli Tengah. Minyak Atsiri dan rempah-rempah lainnya berdasarkan analisis hasil riset biomassa dan bioproduksi, terbukti meningkatkan vibrasi frekwensi tubuh.Â
Demikian kata Dr Aswandi menjelaskan tentang peran penting rempah-rempah dan komoditi niaga Nusantara di Situs Bongal dan wilayah Tapanuli di Sumtara Utara. Antara titik temu peradaban dan komoditi niaga, menemukan relevansinya.Â
Titik temu peradaban dunia, yang disambungkan oleh komoditi niaga yang dibutuhkan dunia, ditemukan di wilayah Tapanuli, Sumatra Utara.Â
Merujuk penjelasan Aswandi, tentu saja rempah aromatik seperti minyak atsiri, kemenyan, gaharu, bahkan juga kamper, sebagai komoditi niaga utama yang dihasilkan wilayah Tapanuli, Sumatra Utara.Â
Dapat dikatakan bahwa aromatik nusantara, yang ditemukan di Sumtara Utara sebagai komoditi yang mempertemukan berbagai peradaban dunia. Hal ini sekaligus memposisikan wilayah nusantara sebagai poros maritim dunia, sebagaimana konsep yang dicangkan pemerintah Indonesia, melalui nawacitanya.Â
Tentu saja posisi geokultur dan geopolitik Situs Bongal menjadi penting untuk dikaji dalam sudut pandang yang lebih luas. Kajian strategis soal kedudukan Situs Bongal dalam jaringan niaga dan pelayaran Selat Malaka, sebuah selat yang terletak di antara Semenanjung Kra/Semenanjung Melayu (Thailand, Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatra, Indonesia (Aceh, Sumatra Utara, Riau & Kepulauan Riau). Posisi ini penting dikaji dalam perkembangan Keindonesiaan atau Kenusantaraan dalam kancah pergaulan global.Â
Penyelamatan Situs Bongal dan Penetapan sebagai Kawasan Cagar Budaya
Mengingat pentingnya Situs Bongal dalam khazanah peradaban Nusantara, maka Situs Bongal harus diselamatkan. Saat ini ancaman keselamatan situs disebabkan adanya aktivitas tambang emas trasdisional.Â
Rumerahwaty Berutu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Kabupaten Provinsi Sumatra Utara, mewakili pemerintah provinsi sangat mengapresiasi dan sudah memulai tindak lanjuti program pendukungan untuk pengembangan Situs Bongal.Â
Juga tak kalah pentingnya adalah penyelamatan Situs Bongal untuk pengembangan situs untuk kepentingan pendidikan, ekonomi maupun sosial budaya. Ibu Irum, panggilan akrab Kepala Bidang Kebudayaan, juga berharap adanya perbincangan dan percakapan yang intens dari para peneliti untuk pertemuan dengan Gubernur Sumatra Utara untuk memaparkan segala hal tentang hasil penelitian arkeologi Situs Bongal.Â
Eri Sadewo, sebagai ketua tim riset mengharapkan bahwa apresiasi positif dari pihak pemerintah provinsi kiranya dapat segera ditindaklanjuti. Hal yang paling pertama dan utama dilakukan, adalah penyelamatan Situs Bongal dari aktivitas pertambangan, yang tidak hanya di wilayah dataran, namun sudah mulai mengarah ke wilayah perbukitan.
Untuk itu perlu sinergi antara Pemerintah Sumatra Utara, dengan pemerintah pusat dalam hal ini baik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) maupun Direktorat Jendral Kebudayaan, Kemendikbud untuk penetapan Situs Bongal sebagai Kawasan Cagar Budaya.Â
Stanob Purnawibowo menambahkan, untuk menyempurnakan hasil riset, tindak lanjut riset yang penting adalah mengembangkan riset bawah air, untuk mendapatkan temuan arkeologi dibawah air dan melengkapi temuan arkeologi yang sudah ditemukan di atas permukaan tanah. Selain itu juga hal yang tak kalah pentingnya, bagaimana mengembangkan hasil riset, dapat dimanfaatkan secara ekonomi oleh masyarakat di sekitar situs.Â
BRIN, dalam hal ini Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim dan Budaya Berkelanjutan (PR ALMBB) sebagaimana dikatakan oleh Plt Kepala PR ALMBB Marlon NR Ririmasse, Riset Situs Bongal terbukti menawarkan banyak aspek hasil riset, diantaranya adalah koneksitas global relasi peradaban nusantara dan peradaban dunia, aspek keterbukaan dan keberagaman.
Termasuk wawasan baru tentang refleksi inovasi tentang prospeksi produk hasil hutan di masa lalu, yang terus berlanjut hingga hari ini. Selain itu wajah peradaban Nusantara, sebagaimana dari bukti teknologi maritim, membuktikan wajah kebhinekaan nusantara dari Situs Bongal, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.Â
Demikian. Salam Arkeologi...Salam Budaya...Salam Lestari
***
Salam Hormat
Mas Han, 4 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H