Meskipun, persinggungan soal itu tak mungkin diabaikan begitu saja. Atau tak mungkin benar-benar dapat saya hindari dalam perbincangan dalam artikel ini.Â
Sebentar, sebentar. Saya jeda dulu soal ini. Sekali lagi, saya tidak akan mengulas hal-hal yang serius.Â
Soal regulasi tata kelola, izin pembukaan hutan, moratorium kelapa sawit, dan sebagainya. Tidak. Pembaca bisa menemukan informasi itu di tempat lain.
Jika pembaca ingin mengetahui lebih jauh soal yang serius antara kepentingan korporasi, pelestarian lingkungan dan juga kepentingan masyarakat terdampak, silakan berselancar saja ke dunia maya. Atau berdiskusi lah dengan Mbah Google.Â
Saya yakin, urusan hutan, perkebunan kelapa sawit, pelestarian lingkungan, hak Ulayat masyarakat dan komponen-komponen lain yang bersinggungan, sudah banyak informasi yang tersedia, juga kasus-kasus resistensi yang terjadi antar para pihak.Â
Sekali lagi, dalam artikel ini, saya hanya akan membahas hal-hal yang sederhana, seputar hubungannya antara memasak tanpa minyak dengan gaya hidup ramah lingkungan. Baik kita bisa memulai dari sini.Â
Berapa banyak kebutuhan minyak kelapa untuk mengolah masakan yang kita konsumsi sehari-hari?Â
Kebutuhan per liternya untuk setiap keluarga, erte,erwe, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, antar negara, dan seterusnya.Â
Barangkali kita tidak akan memperoleh angka yang pasti, saking banyaknya kebutuhan konsumsi minyak kelapa itu. Per hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Kita bisa bayangkan, banyak sekali bukan?Â
Sebanyak itu pulalah kebutuhan produksi minyak kelapa harus disediakan. Oleh produsen, perusahaan ataupun negara penghasil minyak kelapa (sawit).Â