Baginya, tiada keindahan yang mampu menjelma bumi dan langit, kecuali suara dan isi hati Kinanti Asmara.
Suara yang membuat Bayu Angkasa, kehabisan kata-kata, karena kata-kata takkan mampu mengukir betapa indahnya, semua kehidupan yang dibayangkannya. Juga mungkin yang dibayangkan oleh Kinanti Asmara.
Berkata Bayu Angkasa kepada Kinanti Asmara, pada malam yang tak pernah bisa disulam lagi di malam-malam setelahnya: Â
Mengertilah,semua ini tidak seperti hari-hari kemarin. Hari ini...aku seperti melaju dalam rimba malam yang bias, dengan butiran asmara yang kau larutkan di tiap bejana malammu nan kalam.
Kita selalu kehabisan kata, karena semua kata tentang asmara,semuanya akan punah ketika senja dan malam berebut makna yang paripurna.
Dan senja kita yang jingga dengan semburat cahayanya menjemput malam kita,sama seperti cahaya purnama yang merubah menjadi menara laut lepas.
Layaknya patung indah tertatah tangan Monet,malam ini,kau telah menaruhku dalam telapak tanganmu dan memahatku sedemikian rupa,pujangga kata.
Ketika seuntai senyum lesung pipimu menghampiri kekagumanku bersama angin lirih meniup helai rambut yang menari lincah diatas pipi indahmu.
Kita adalah kata sempurna kala selalu berada dalam mimpi yang sama tanpa kita perlu tahu kapan mimpi itu menjelma, sebab waktu bukan kuasa kita.
Rinduku begitu parah, sayangku. "Jem'excuse.Pourtoutà l'heure,"ku punguti kata yang berhamburan di atas pasir Minahasa.Â
Sebelumnya aku minta maaf, hatiku begitu jatuh padamu, kemarin,malam ini,dan nanti.