Dalam lingkungan kerja, kita tak kan pernah terhindar dan tidak dapat menghindari lingkungan kerja toksik. Hal itu karena lingkungan kerja toksik adalah bagian dari dinamika dalam ruang atau lingkungan di mana kita bekerja.Â
Alih-alih menghindari, justru yang ada kita akan terus berhadapan, tanpa bisa kita hindari. Lingkungan kerja toksik itu mungkin bisa jadi ancaman, tapi sekaligus tantangan dan juga peluang.Â
Bagi personal yang selama ini dalam area zona nyaman mungkin bisa jadi ancaman, karena zona nyamannya terganggu akibat adanya toksik dalam lingkungan kerjanya. Namun bagi personal yang dinamis dan selalu siap menghadapi perubahan, lingkungan toksik bisa jadi malah menjadi peluang.Â
Peluang di sini bukan soal memanfaatkan situasi, atau menjadi sumbu kompor yang menambah panas atau beracunnya lingkungan tempat kita bekerja, namun peluang untuk mengubahnya menjadi energi yang positif, mengubahnya atau menghilangkan toksik di sekitar lingkungan kerja kita.Â
Lingkungan kerja toksik bisa jadi lahir karena adanya rutinitas yang membosankan, sistem yang stagnan dan tidak ada perubahan, juga stagnannya peluang karir staf bawahan. Lingkungan kerja yang monoton, pimpinan yang otoriter, aturan yang kaku, kinerja yang memble dan sebagainya.Â
Intinya, lingkungan kerja toksik itu bukan masalah personal, tapi ini soal yang berhubungan dengan soal sistem dan mekanik, soal organisasi, bukan soal individu atau personal.Â
Oleh karena soal organisasi, soal sistem, soal mekanisme, lingkungan kerja toksik dipicu oleh banyak hal, yang berhubungan soal situasional, bukan soal perilaku individual.Â
Kondisi yang negatif saling memicu munculnya toksik, baik dari yang sebagian bahkan sampai menyeluruh, menjadi toksik untuk seluruh lingkungan kerja.Â
Kondisi lingkungan kerja toksik itu bisa menjadi sesuatu yang disadari, bisa juga menjadi situasi yang tidak disadari. Lalu, memicu lahirnya kondisi situasional yang menyeluruh. Akhirnya lingkungan kerja toksik menjadi wabah untuk semua orang yang berada di lingkungan itu.Â
Kondisi lingkungan kerja toksik yang disadari awal kemunculannya, bisa jadi dapat diminimalisir, tentu harus ada niat baik semua orang. Kadang kala ketakberdayaan secara personal mengakibatkan lingkungan kerja toksik yang disadari tak dapat dicegah atau tak dapat dihambat penyebarannya.Â
Lebih celaka lagi, lingkungan kerja toksik yang awalnya tidak disadari, jika dibiarkan terus menjalar, dianggap hanya sebagai kondisi lumrah yang tak perlu dirisaukan, akhirnya terjadi pembiaran.Â
Bahkan pimpinan dalam situasi lingkungan kerja seperti itu, juga tidak mengambil peran, atau bahkan memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadinya. Kondisi ini tentu menjadi pemicu budaya kerja yang negatif.Â
Lingkungan kerja toksik bisa terjadi di mana saja, baik di lingkungan instansi pemerintah maupun di perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, ataupun di lingkungan kerja lainnya.Â
Seperti yang pernah saya bahas, sebenarnya hal itu terkait dengan mentalitas kita sebagai personal yang berada di lingkungan kerja seperti itu, dan setiap hari juga bersentuhan dengan lingngan tersebut.Â
Baca juga :Â Mentalitas, Kunci Membangun Budaya Kerja Efektif di Instansi Pemerintah
Bagaimana pun lingkungan kerja toksik dapat mempengaruhi mentalitas para personal yang bekerja di lingkungan tersebut.Â
Dalam artikel sebelumnya, saya katakan bahwa mentalitas adalah kunci membangun budaya kerja yang efektif.Â
Bagaimana pun budaya kerja yang positif dan efektif terletak pada mentalitas para pelaku birokrasi itu sendiri. Aparat Sipil Negara atau ASN yang bekerja di dalamnya. Hal ini juga berlaku bagi organisasi di luar pemerintah, artinya lingkungan kerja manapun.Â
Lingkungan kerja yang positif, tentu akan menciptakan budaya kerja yang positif pula atau sebaliknya, budaya kerja positif menciptakan lingkungan kerja yang positif pula. Namun, lingkungan kerja toksik akan menciptakan pula budaya kerja toksik, dan sebaliknya.Â
Meski demikian, ada energi positif dari mentalitas kita sebagai personal dalam lingkungan kerja manapun. Melalui pengelolaan energi positif dari mentalitas kita, maka lingkungan kerja toksik pun dapat menjadi peluang untuk kita lebih maju, bahkan mengubah dari toksik menjadi lingkungan kerja yang kondusif atau positif.Â
Saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya, dalam menghadapi situasi atau lingkungan kerja toksik. Dalam kategori ini pengalaman saya tentang lingkungan kerja toksik, menjumpai banyak hal situasi toksik, antara lain:
- Lingkungan kerja, di mana rekan kerja lebih banyak menyampaikan keluhan daripada menunjukkan proses kerjanya yang positif
- Lebih banyak mendengar berita negatif tentang kinerja pimpinan terdahulu, sehingga di matanya, pimpinan selalu negatif
- Adanya keluhan soal kecemburuan-kecemburuan antar staf, yang diakibatkan oleh kebijakan pimpinan yang tidak bijaksana
- Akibat adanya kecemburuan antar staf, mengakibatkan timbulnya gap atau kesenjangan sosial di lingkungan kerja
- Prestasi kinerja staf yang jalan di tempat alias tidak ada kemajuanÂ
- Komunikasi antar staf yang tidak optimal, dan sebagainya
Kondisi lingkungan kerja toksik itu bagi sebagian personil mungkin biasa saja, atau bahkan ada yang merasa diuntungkan. Tentu dalam sekilas pandangan mata, lingkungan kerja toksik seperti yang saya sebutkan menjadi ancaman bagi berlangsungnya roda organisasinya.Â
Bagaimana lingkungan kerja toksik sebagai ancaman dapat berubah menjadi tantangan dan peluang?Â
Berikut, beberapa hal yang saya lakukan dalam menghadapi lingkungan toksik, antara lain:Â
1. Membangun mekanisme komunikasi yang efektif
Komunikasi efektif di antaranya dibangun dengan cara membuka dialog dan diskusi dengan terbuka dan sikap kekeluargaan.Â
Hal ini penting, karena lingkungan kerja, bukan semata-mata hubungan impersonal, urusan kerja melulu namun lingkungan kerja juga seperti lingkungan keluarga.Â
Hal ini karena setiap harinya kita berhubungan secara sosial dan kemanusiaan. Ada pergaulan sosial di dalamnya, ada komunikasi personal dan juga ada hubungan timbal balik antara individu yang menimbulkan kepekaan atau empati, tidak semata-mata berhubungan dengan tuntutan kerja.
2. Membangun lingkungan kerja yang kondusif dengan cara menerapkan mekanisme informal
Hal yang penting dan sering dilupakan oleh kita adalah soal mekanisme informal, artinya tidak selalu baku dan mengikuti aturan hitam putih dimana lingkungan kerja menerapkannya. Tanpa melanggar aturan formal, sebenarnya mekanisme informal bisa kita lakukan.Â
Contoh kecil dan sederhana, adalah tidak selalu pengambilan keputusan dalam sebuah rapat, harus dilakukan di dalam ruangan kantor yang kaku.Â
Sesekali sambil kongkow-kongkow, ngopi bareng di bawah pelangi senja, atau di bawah kaki gunung dengan pemandangan yang aduhai, bisa kita lakukan. Seberat apapun, keputusan itu harus diambil.Â
Dengan bahasa yang sederhana, suasana penuh kekeluargaan dan di lokasi yang asri, menyejukkan, dengan sajian kuliner sederhana dan alakadarnya, sambil bebas ngopi dan tidak perlu berbiaya mahal, bisa kita lakukan.Â
Kondisi ini membuat lebih rileks, dan komunikasi antar personal bisa lebih santai dan lebih damai, juga dalam suasana batin yang lebih menyejukkan. Dengan cara ini, mungkin hubungan antar personal yang kaku dan penuh gap, bisa lebih cair.
3. Berusaha menunjukkan bahwa kita sebagai Individu yang bisa menjadi role model
Sebagaimana yang pernah saya ulas, menjadi role model itu sangat penting, sehingga apa yang kita kerjakan, bernilai positif dan patut ditiru oleh personal yang lain.
Berandai-andai, kita sebagai pimpinan dan merasa kita tidak bisa menjadi role model, setidaknya kita bisa menunjuk staf bawahan kita menjadi role model. Dengan cara ini, maka setiap personal bisa saling berkompetisi untuk tampil menjadi yang terbaik atau menjadi lebih baik.Â
Kondisi ini, lambat laut menjadi mekanisme organik,menjadi keseharian, sehingga lingkungan kerja toksik, semakin dapat dikelola menjadi lebih baik.
4. Disiplin, taat aturan dan bertanggung jawab: mengubah toksik menjadi vitamin dalam lingkungan kerja
Hal terakhir, yang bisa kita lakukan untuk mengubah lingkungan kerja toksik adalah dengan cara mendisiplinkan diri dan taat aturan.Â
Jika kita termasuk dalam lingkungan kerja toksik, menghadapi berbagai kondisi negatif seperti itu, maka cara yang paling baik adalah dengan mengubah diri kita sendiri dulu.Â
Berusaha tampil menjadi pribadi yang disiplin dan taat aturan, adalah cara kita menunjukkan bahwa kita adalah individu yang bertanggung jawab. Disiplin dan taat aturan adalah standar minimal untuk setiap individu dalam menghadapi lingkungan kerja toksik.Â
Dengan disiplin dan taat aturan, kita tidak akan mudah terpengaruh dengan situasi yang negatif tersebut. Justru dari diri kita sendirilah, energi positif itu akan lahir.Â
Mengubah lingkungan kerja toksik yang penuh racun kimiawi menjadi vitamin semangat, bertanggung jawab, berkinerja baik dan berperilaku positif. Disiplin dan taat aturan bukan berarti menjadi invidu yang kaku, formal dan serba hitam putih.Â
Namun, disiplin dan taat aturan adalah bertanggung jawab pada diri sendiri, karena melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab sesuai mandat yang diterima.Â
Dengan mampu menjadi pribadi yang disiplin dan taat aturan, maka semua tanggungjawab dapat dipikulnya, sesuai yang dimandatkan. Siap menghadapi berbagai perubahan, berani keluar dari zona nyaman, dan mampu mengubah dunia.Â
Demikian, semoga bermanfaat
Salam Hormat
Mas Han, Manado 3 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H