Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kementerian Baru, Lembaga Riset Arkeologi Lebih Lincah di Bawah BRIN

8 Mei 2021   17:29 Diperbarui: 13 Juli 2021   10:02 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kementerian Baru, Lembaga Riset Arkeologi Lebih Lincah dibawah BRIN? Sumber: Kemendikbud

Presiden Jokowi sudah melantik Nadiem Anwar Makarim menjadi Mendikbud Ristek dan mengangkat Tri Laksana Handoko sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional. Seturut dengan itu berkembang informasi bahwa lembaga balitbang kementerian akan pindah rumah ke BRIN. 

Beberapa pengamat mengatakan bahwa bergabungnya litbang kementerian ke BRIN merupakan langkah yang baik untuk pengembangan industri berbasis iptek. 

Bagaimana lembaga riset yang bergerak di bidang riset untuk pengembangan budaya, termasuk riset arkeologi? Berikut pikiran-pikiran awal saya melihat kemungkinannya lembaga riset arkeologi akan bergerak dibawah naungan BRIN. 

Sebagaimana dikatakan oleh Kepala BRIN yang baru dilantik, Tri Laksana Handoko, bahwa hasil riset akan dibawa untuk berkonstribusi dalam peningkatan ekonomi. Pernyataan tersebut sangat tepat, bahkan untuk lembaga riset di bidang kebudayaan sekalipun.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional beserta 10 Balai Arkeologi di seluruh Indonesia, selama ini terkesan terombamg ambing dalam berbagai dinamika perubahan kementerian. 

Di Era pemerintahan SBY, kebudayaan berada di rumah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada masa itu, riset arkeologi diarahkan hasilnya untuk pengembangan pariwisata. 

Selanjutnya, setelah era SBY, kebudayaan satu atap dengan pendidikan di rumah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, oleh karena itu riset arkeologi diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan peningkatan pendidikan, juga penguatan karakter. 

Selama ini Puslit dan Balar dianggap bekerja di wilayah hulu, yakni melakukan penelitian arkeologi dan pengembangannya, lalu kemudian direkomendasikan untuk pemanfaatannya oleh BPCB yang melakukan program hilirisasi, salah satunya penetapan dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai cagar budaya. 

Namun, seringkali ada anggapan bahwa pekerjaan Balar dan BPCB seringkali tumpang tindih, keduanya dianggap seperti dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan, sehingga seharusnya kedua lembaga pemerintah itu digabungkan, karena satu pihak Balar bekerja untuk penelitian, sedangkan BPCB bekerja untuk pelestarian sumberdaya arkeologi melalui kebijakan untuk penetapan cagar budaya. 

Namun, karena dua lembaga ini terpisah, bahkan masing-masing dibawah naungan eselon I yang berbeda, sehingga keduanya disibukkan persoalan koordinasi, bahkan ada kesan persaingan karena ego sektoral. 

Bagi kalangan peneliti arkeologi, apa yang dikerjakan oleh para arkeolog pelestari di BPCB, dianggap seringkali overlapping, para arkeolog di BPCB yang semestinya melakukan kerja-kerja pelestarian, namun tak bisa dihindari mereka juga seringkali melakukan eksplorasi dan penelitian, yang dianggap sebagai domain para peneliti arkeologi di Puslit Arkenas dan Balar. 

Sebaliknya bagi para arkeolog di BPCB, kerjaan peneliti tidak pernah tuntas, melakukan penelitian setelah itu banyak kasus ditinggalkan begitu saja, tanpa ada rekomendasi yang jelas. 

Menyikapi persoalan itu, kebijakan penelitian arkeologi dibawah arahan Puslit Arkenas melakukan terobosan baru setidaknya dalam 5 tahun terakhir ini, yakni adanya blue print, yakni rekomendasi kebijakan yang jelas dari hasil penelitian untuk diserahkan ke Direktorat Kebudayaan. Dari hasil rekomendasi kebijakan itulah, maka kebijakan pelestarian sumberdaya arkeologi lebih terarah.

 Demikian pula, juga puslit arkenas dan balar sebagai pengampu program hulu, juga lebih diterima dan dapat dirasakan manfaatnya oleh para pengguna atau user atau stakeholder baik pusat maupun daerah melalui pengembangan program Rumah Peradaban, untuk memasyarakatkan hasil-hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat. 

Meski demikian, di level bawah, program-program BPCB sendiri belum berubah, mereka dalam pelaksanaan tusinya masih melakukan kegiatan eksplorasi arkeologi, pencarian situs dan sebagainya, yang semestinya itu menjadi ranah Puslit Arkenas dan Balar. 

Bagi kalangan peneliti, semestinya arkeolog di BPCB program-programnya lebih menekankan menindaklanjuti rekomendasi hasil penelitian yang dikerjakan oleh Puslit Arkenas dan Balar. 

Fenomena demikian, debat klasik antara para arkeolog yang bekerja di lembaga penelitian maupun arkeolog yang bekerja di lembaga pelestarian masih saja terjadi. 

Namun, sesungguhnya titik awal perdebatan klasik itu, ketika lembaga yang sudah berdiri sejak 1903, itu dipisahkan antara tugas penelitian dan tugas pelestarian. 

Meski demikian, hal itu bukan karena sebab. Adalah R.P Soejono, tokoh yang paling berjasa dalam dunia riset arkeologi di Indonesia. Melalui tangan beliaulah, kemudian lahir Puslit Arkenas dan Balai Arkeologi di Indonesia. 

Inisiatif almarhum R.P Soejono, karena besarnya potensi sumberdaya arkeologi di seluruh Indonesia, namun saat itu belum ada lembaga yang secara khusus bekerja untuk melakukan penelitian arkeologi, dari mulai pencairan situs arkeologi yang baru, penemuan, identifikasi, analisis hingga sebuah situs itu bisa diajukan untuk penetapan sebagai cagar budaya dan dimanfaatkan. 

Inisiatif R.P Soejono saat itu sangat direspon oleh pemerintah pusat, maka sejak saat itu kemudian berdiri lembaga riset arkeologi. Oleh karena itu kemudian menyusul berkembang pula lembaga-lembaga arkeologi yang berperan, khususnya dalam penetapan cagar budaya dan pemanfaatannya. 

Maka sejak saat itu, ada dua lembaga arkeologi yang berdiri terpisah, satu lembaga arkeologi untuk penelitian, yakni Puslit Arkenas dan Balar-balarnya, sedangkan lembaga arkeologi untuk pelestarian terdiri Direktorat Perlindungan Budaya (nomenklatur terbaru sekarang ini) dan BPCBnya. 

Kini dua lembaga itu berada di dua kamar yang berbeda, meskipun masih dalam satu rumah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi se Indonesia, berada dibawah eselon satu Badan Litbang Kemendikbud, sementara Direktorat Perlindungan Budaya dengan BPCBnya berada dibawah Dirjen Kebudayaan.

Kini, setelah terbentuknya Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Ristek, kemanakah lembaga penelitian arkeologi yaitu Puslit Arkenas dan Balar se Indonesia berlabuh. Belakangan menyeruak wacana, kemungkinan Puslit dan Balar akan berada di BRIN. 

Perubahan ini dirasakan sangat sesuai, mengingat bidang arkeologi memang berhubungan dengan soal-soal kebudayaan dan humaniora. Meski demikian, di lapangan pengembangan arkeologi juga identik dengan pariwisata, mengingat arkeologi berhubungan dengan obyek arkeologi dan cagar budaya yang juga dikembangkan sebagai obyek wisata. 

Sementara itu, berdasarkan nomenklatur yang baru, visi misi kelembagaan dan tugas pokok fungsi Puslit Arkenas dan Balar seluruh Indonesia, adalah melakukan penelitian bidang arkeologi yang diarahkan untuk peningkatan pendidikan, karakter dan pemajuan kebudayaan. 

Belakangan juga berkembang, bahwa tema penelitian arkeologi juga diarahkan untuk pembangunan berkelanjutan, yang berhubungan dengan peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan industri dan ekonomi kreatif. 

Dampak dari tema demikian, dituntut adanya inovasi para peneliti, untuk mengembangkan tema dan isu penelitian yang dapat didayagunakan dalam pembangunan berkelanjutan, misalnya saja ekonomi kreatif. 

Berdasarkan pengalaman perjalanan riset arkeologi itu, riset arkeologi juga diarahkan untuk berbagai bidang baik pariwisata, pendidikan, kebudayaan, industri dan ekonomi kreatif serta pembangunan berkelanjutan. 

Dengan demikian, dengan terbentuknya BRIN dan rencanya akan menjadi rumah bagi badan litbang kementerian, tampaknya dapat memberikan ruang yang lebih luas dan bagi para penelitinya memberikan pula ruang yang lebih fleksibel dan leluasa dalam mengembangkan riset-risetnya. 

Nantinya, lembaga riset arkeologi tidak hanya melakukan riset untuk menghasilkan produk manajemen sumberdaya arkeologi untuk pariwisata, sebagaimana ketika dibawah Kementerian Kebudayaan Pariwisata. 

Juga tidak hanya melakukan riset untuk peningkatan pendidikan dan pemajuan kebudayaan, sesuai yang diamanatkan ketika menjadi bagian dari Kemendikbud. 

Dibawah BRIN, lembaga riset arkeologi dapat lebih lincah melakukan riset arkeologi yang diarahkan untuk mencakup berbagai bidang yang dapat dihasilkan,baik untuk pengembangan pariwisata, pendidikan, kebudayaan, namun juga dapat dikembangkan untuk pengembangan industri kreatif dan pembangunan berkelanjutan (Suistainable development Goals, SDGs). 

Di bawah BRIN lembaga riset arkeologi baik Puslit Arkenas maupun balar, tidak harus berkutat dengan anggapan yang tumpang tindih selama ini dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), yang berada di bawah Dirjen Kebudayaan, juga koordinasi diantara kedua lembaga tersebut, yang sama-sama mengelola sumberdaya arkeologi, baik urusan penelitian maupun pelestariannya. 

Jika wacana bahwa seluruh Badan Litbang Kementerian, akan diarahkan ke dalam rumah baru, yakni BRIN, maka Puslit Arkenas dan Balar se Indonesia, yang awalnya berada di Badan Litbang Kemdikbud, terbuka kemungkinan akan pindah ke rumah baru yakni BRIN. 

Kita tunggu saja, kemana puslit arkenas dan balar akan berlabuh. Yang pasti, bagi para peneliti arkeologi di puslit arkenas dan balar tidak akan berubah tugas dan fungsinya, yakni melakukan penelitian arkeologi untuk mengungkap kebudayaan nusantara. 

Selain itu juga berpikir pengembangannya untuk pendidikan dan penguatan karakter, jati diri bangsa, pemajuan kebudayaan, peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan pariwisata, industri dan ekonomi kreatif juga pembangunan berkelanjutan. Semua itu menjadi ranah penelitian dan pengembangan sumberdaya arkeologi. 

Pada intinya, peneliti arkeologi akan tetap dituntut untuk berkarya mengungkap budaya nusantara untuk pendidikan, kebudayaan, pariwisata, ekonomi kreatif dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, dibutuhkan ruang dan regulasi yang semakin luas dan lincah, untuk para peneliti melakukan riset dan inovasi.

Demikian. Salam Arkeologi..Salam Budaya..Salam Inovasi....Salam Lestari

Salam hormat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun